Jangan
Lagi Kecewakan Rakyat
FS Swantoro ; Peneliti dari Soegeng Sarjadi
Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 22 Januari 2014
PEMILU Legislatif dan Pemilihan Presiden
2014 sudah di depan mata. Gerak langkah partai politik berikut calon anggota
legislatif mulai tampak ingar-bingar dari sekarang. Pemilu 2014 punya arti
penting karena akan berlangsung suksesi kepemimpinan nasional.
Dalam kaitan itu, layak mengutarakan dua
hal berikut ini. Pertama; bagaimana para elite dan partai politik
mengampanyekan kembali semangat gotong royong yang mulai hilang dari tradisi
kehidupan masyarakat. Kedua; bagaimana partai pemenang Pemilu 2014 mampu
membangun pemerintahan yang merakyat dan dapat menyelesaikan berbagai
persoalan bangsa.
Semangat gotong royong yang merupakan nilai
dasar Pancasila kini meluntur, setelah terdesak paham individualisme yang
liberal. Kondisi itu membuat kehidupan politik serbauang dan transaksional.
Uang menjadi segalanya dalam transaksi politik yang terlihat secara kasat
mata baik pada saat pemilu, pilpres, maupun pilkada.
Kememudaran semangat gotong royong
mengakibatkan kemelemahan identitas dan jati diri bangsa. Padahal, dominasi
gaya hidup kapitalis yang hedonis dan konsumtif itu sama sekali tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa. Karena itu, keberadaan Pancasila sebagai ideologi
dan dasar negara, serta simbol identitas dan pemersatu bangsa, harus terus
dijaga.
Problem
Berat
Lebih dari itu, pilihan pada sistem
demokrasi yang kita jalankan selama 15 tahun itu pun harus diarahkan untuk
menjaga keberkelangsungan NKRI yang berdasarkan gotong royong, sesuai dengan
budaya bangsa. Untuk itu, perlu terus mengampanyekan demokrasi yang
menghargai kesetaraan, kebersamaan, dan kebebasan pada kalangan elite
politik, partai partai, dan masyarakat akar rumput.
Itu penting mengingat landasan gotong
royong dalam berdemokrasi akan membuat check and balances di antara lembaga
negara menjadi dinamis. Keinginan mengampanyekan semangat gotong royong itu
akan menjawab persoalan yang kompleks, dibanding ketika Boedi Oetomo 1908
lahir sebagai penggerak kebangkitan nasional atau Soempah Pemoeda 1928
sebagai tonggak kebangsaan Indonesia.
Kita tidak memungkiri problem yang dihadapi
saat sekarang amat berat, karena untuk duduk bersama membangun mimpi bangsa
makin sulit pada kalangan elite dan partai politik. Akibatnya, semangat
gotong royong jadi melemah dan konflik sosial terjadi di beberapa
daerah dengan beragam latar belakang. Konflik sosial itu sangat bertolak
belakang dengan budaya gotong royong yang justru menawarkan kebersamaan dan
saling berbagi di antara warga masyarakat.
Sementara pertikaian itu menimbulkan
ketakutan warga akibat kencangnya tarikan berbagai kepentingGan elite
politik. Dalam pertarungan itu, posisi rakyat selalu terjepit padahal suara
mereka selalu dibutuhkan pada saat pemilu. Realitasnya setelah pemilu usai,
elite politik lebih asyik dengan kepentingannya, meninggalkan, bahkan
membohongi rakyat. Lihat kasus korupsi yang melibatkan elite Partai Demokrat,
Golkar, atau PKS sekarang ini. Itulah cermin bening kondisi politik kita,
yang sungguh mengecewakan, dan menyinggung rasa keadilan rakyat.
Kebiasaan elite meninggalkan rakyat itu
merupakan mimpi buruk bagi masyarakat kita, karena sulit menghasilkan
konsolidasi demokrasi yang mendorong keterwujudan kesejahteraan rakyat.
Kenyataan itu merupakan langkah mundur, dibanding semangat kebersamaan
generasi pendahulu yang mampu melahirkan tonggak sejarah seperti Boedi Oetomo
1908, Soempah Pemoeda 1928, hingga kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Di luar itu, tantangan sekarang memang
berat seperti mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial, lapangan kerja dan
pengangguran. Belum lagi, biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal, serta
korupsi yang kian menggurita di semua lini kehidupan, dan penegakan hukum
masih jalan di tempat, jauh dari harapan rakyat.
Kita pun masih menghadapi tantangan
struktural, seperti defisit neraca transaksi berjalan sejak 2011 dan angkanya
melampaui 4% dari PDB, padahal idealnya hanya 2% dari PDB. Selain itu,
kemelemahan rupiah terhadap dllar Amerika, kini sudah menembus angka Rp
12.200 per dolar AS. Itu sekaligus peringatan buat pemerintahan
mendatang.
Realitas itu sudah dirasakan dua tahun
terakhir, sehingga butuh solusi jangka pendek dan jangka panjang, sekaligus
meletakkan arah pembangunan yang tepat sesuai visi jangka panjang. Kini
saatnya seluruh komponen bangsa, terutama elite politik dan calon pemimpin
negeri ini untuk duduk bersama mencari solusi guna mengatasi berbagai
persoalan dan membangun pemerintah yang kuat yang dipercaya rakyat setelah
Pemilu 2014.
Pemerintahan yang kuat ini tidak harus
otoriter seperti Orde Baru dan tidak dijalankan hanya dengan satu dukungan
dari partainya saja. Terlebih kondisi sekarang sulit menghindar dari
keharusan membentuk koalisi kecuali mampu memenangi pemilu secara mayoritas
seperti Golkar pada era Orde Baru. Hanya saja koalisi yang dibangun bukan di
jajaran kabinet, melainkan di parlemen sehingga pemerintahan mampu menjalankan
tugas dengan baik dan benar.
Sekadar pembanding, rasanya kita perlu
menengok ke belakang, tatkala para pendiri bangsa memproklamasikan
kemerdekaan, jalan membangun negara dan bangsa didasari pada pilihan
demokrasi yang tepat dan bernas. Para pendiri bangsa yakin demokrasi adalah
sistem yang terbaik, untuk membangun negara yang baru merdeka. Karena itu,
sehari setelah merdeka bangsa Indonesia menetapkan konstitusi yang roh
demokrasinya sangat kental.
Begitu pula, ketika diganti dengan
Konstitusi RIS atau UUDS 1950, roh demokrasinya tetap melekat pada bangunan
negara. Namun pada era reformasi terjadi liberalisasi politik yang ditandai
dengan serbabebas yang nyaris ekstrem, hingga kebablasan.
Transisi demokrasi yang bergulir 15 tahun
silam, belum seluruhnya tuntas. Itulah sebabnya dalam mempraktikkan demokrasi
kita masih ada pada tahapan prosedural dan belum substansial, sehingga kerap
muncul kegaduhan politik. Untuk mewujudkan demokrasi substansial, perlu
memberdayakan seluruh komponen bangsa. Pasalnya, rakyat sering kecewa dan
menilai mengapa dalam praktik demokrasi sekarang muncul konflik sosial secara
masif di beberapa daerah secara masif.
Tantangannya ke depan bagaimana
kesejahteraan rakyat cepat terwujud. Karena itu, dua hal berikut layak
digarisbawahi. Pertama; demokrasi yang dijalankan secara partisipatif akan
menjadi motor penggerak pembangunan. Demokrasi yang mengedepankan partisipasi
akan menjadi simpul komunitas rakyat dalam berpolitik dan bernegara
berdasarkan konstitusi.
Kedua; membentuk pemerintahan koalisi dua
atau tiga partai, ideal guna menghindari kegaduhan seperti sekarang. Ke
depan, kita butuh pemerintahan yang mampu menggerakkan kekuatan bersama,
seluruh komponen bangsa dari pusat hingga daerah. Kuncinya ada pada Pemilu
dan Pilpres 2014 yang jujur, adil, dan demokratis. Karena itu, jangan lagi
mengecewakan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar