“I have many questions, I need some answers soon. Give
me a book, and I'll be over the moon!“
KUTIPAN di atas merupakan suara
hati jutaan anak di India yang mengikuti One Nation Reading Together
Festival di Chennai, India, akhir pekan lalu. Itu sebuah ajang yang sarat
pesan karena diikuti ribuan siswa dari seluruh penjuru India, yang menandai
kebangkitan minat baca siswa yang sangat tinggi dalam 10 tahun terakhir
ini.
Saya setuju dengan argumen yang
mengatakan bahwa suara masyarakat suatu negara akan didengar banyak pihak
jika tradisi membaca sudah menjadi bagian dari jiwa dan budaya mereka.
India sedang berada pada fase tersebut karena baik pemerintah, LSM,
penerbit, maupun para guru di sekolah bahu-membahu menciptakan kesenangan
anak-anak dalam membaca.
Seorang siswa kelas 2 SMP
peserta festival tersebut, Hamza Murtuza Vakharia, berkata bahwa bagi
dirinya, “Reading books is part of our life. With out books, we will be
alone.“ Ungkapan itu menggambarkan betapa kebutuhan membaca telah tumbuh
menjadi sebuah perilaku budaya karena kegiatan membaca sama dengan kebutuhan
berteman dengan siapa saja. Itulah yang tidak kita peroleh dari kondisi
dunia pendidikan kita di Tanah Air.
Negeri ini memiliki beragam simbol budaya dan tradisi yang begitu kuat,
seperti toleransi dan jenis keadaban lainnya. Akan tetapi, tradisi itu
terlihat terseok-seok dan cenderung memudar di masyarakat kita karena salah
satunya disebabkan minimnya budaya membaca bangsa ini.
Diajar menghafal
Minimnya budaya baca bangsa ini,
menurut saya, salah satunya disebabkan kebijakan ujian nasional (UN). Saya
menandai bahwa di banyak hal, tradisi membaca tak tumbuh karena dalam
proses belajar mengajar di sekolah, anak-anak kita lebih banyak diajarkan
untuk menghafal, terutama jenis soal yang akan keluar dalam UN. Tradisi
menghafal itulah yang kemudian akan menghasilkan generasi pelupa karena
lawan kata dari hafal adalah lupa. Sebaliknya, jika tradisi membaca yang
tumbuh, lawan kata dari membaca adalah ingat. Karena itu, mudah disimpulkan
mengapa di tengah-tengah masyarakat kita saat ini timbul gejolak sosial,
politik, budaya, dan sebagainya yang menyebabkan krisis multidimensi karena
generasi yang ada saat ini ialah generasi penghafal kelas berat yang telah
lupa dengan tradisi budaya yang baik seperti toleransi, gotong royong, dan
kesetiakawanan. Saya meyakini hipotesis yang menyebutkan bahwa penyebab
krisis multidimensi saat ini ialah minimnya daya baca masyarakat.
Sebaliknya, generasi pembaca
juga tak tumbuh dengan baik karena belenggu kebijakan pendidikan kita
memang sengaja tak menciptakan kecintaan terhadap membaca. Jika proses
belajar-mengajar terus dipacu dan dipicu ber dasarkan hasil akhir berupa
kelulusan dan ijazah semata, jangan berharap akan tumbuh budaya membaca
yang sehat dan tinggi di kalangan siswa kita. Orientasi terhadap hasil
akhir itu justru menciptakan minim dan rendahnya minat baca siswa dan guru
dalam mengarungi fantasi belajar yang menyenangkan.
Fakta lain juga membuktikan
terputusnya tradisi membaca bangsa ini disebabkan secara budaya masyarakat
kita sesungguhnya belum begitu siap dengan kemajuan di bidang teknologi
informasi. Seharusnya tradisi membaca tumbuh secara paralel dengan
didahului tradisi verbal, baru kemudian masuk ke tradisi melek teknologi.
Namun karena kita lalai dalam menumbuhkan minat dan budaya masyarakat dalam
membaca, kekhawatiran masih akan terus menerpa negeri ini. Ketiadaan budaya
baca yang cukup bisa kita lihat dari minimnya para pengendara motor dan
mobil yang patuh terhadap aturan berlalu lintas.
Jangankan membaca
kebijakan yang ditulis para birokrat ke dalam peraturan perundangundangan
berlembar-lembar, membaca rambu-rambu dalam satu huruf larangan berhenti
(S), larangan memarkir kendaraan (P), dan lainnya saja kita tak mampu
membacanya. Buktinya, ribuan pelanggaran terjadi setiap hari dan semuanya
jelas menunjukkan rendahnya minat baca masyarakat kita.
Di sekolah, jangan ditanya,
minat baca guru dan siswa juga setali tiga uang. Beberapa survei tak resmi
menyebutkan bahwa kemampuan membaca guru dan siswa kurang dari 1 jam per
hari. Lagi-lagi penandanya ialah proses belajar-mengajar kita masih
menjalankan tradisi hafalan yang lebih banyak dari tradisi membaca. Saya
meyakini, jika kita tak mengubah kebijakan UN, jangan berharap akan muncul
dan tumbuh budaya membaca yang tinggi di kalangan siswa sekolah. Kita perlu
mengubah kebijakan UN agar tradisi membaca bisa tumbuh secara maksimal di
lingkungan guru dan siswa.
Tanggung jawab sekolah
Kita perlu membuat kebijakan
semacam One Nation Reading Together agar ada peringatan secara nasional
tentang pentingnya membaca sebagai salah satu alat mempertahankan
kedaulatan Indonesia. Tanpa tradisi dan budaya baca yang baik, ketahanan
nasional akan habis terkikis oleh tradisi teknologi informasi yang liar
karena tak mengenal batas teritorium sebuah negara. Selain itu, penting juga
agar setiap sekolah di Indonesia perlu menggelar agenda Hari Membaca (Reading Day) setiap minggu, yang
diintegrasikan secara khusus penjadwalannya ke dalam siklus
belajar-mengajar siswa.
Kebijakan untuk membangun
perpustakaan sekolah yang memadai juga harus terus dilakukan. Menciptakan
kecintaan siswa terhadap buku tak cukup hanya dengan ceramah dan sekadar
instruksi yang biasa dilakukan para guru. Kita memerlukan banyak buku di
sekolah agar anak tak bertanya-tanya, mengapa kita harus membaca padahal
buku yang harus dibaca tak disediakan sekolah. “There is no friend as loyal as a book,“ kata Ernest Hemingway.
Tanggung jawab sekolah ialah memberikan fasilitas buku bacaan yang cukup
agar anak-anak memperoleh teman-teman perjalanan yang setia setiap saat.
Bangsa ini terlalu besar dan kaya dengan tradisi dan budaya. Hanya tradisi
membacalah yang dapat menjaga kekayaan budaya bangsa dari kepunahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar