Kesehatan
Masyarakat dan Kesigapan Dokter
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 30 November 2013
Meskipun
sudah agak lama, saya sungguh iba jika mengingat kejadian itu. Saat itu
anak saya yang sedang melaksanakan tugas koas sebagai sarjana kedokteran
UGM memberi informasi yang memilukan kepada saya. Di rumah sakit tempat
anak saya bertugas itu, yakni Rumah Sakit Umum Banyumas, ada seorang pria
yang merelakan istrinya meninggal di rumah sakit karena tidak mampu
memenuhi persyaratan administratif untuk mendapat bantuan pengobatan gratis
dari negara.
Pria itu miskin, istrinya sakit dan harus
dioperasi untuk menyelamatkan nyawanya. Pihak administrator rumah sakit
meminta surat keterangan miskin terlebih dahulu sebelum sang istri
dioperasi. Tetapi setelah pontangpanting dari desa ke kecamatan dan terus
ke rumah sakit, ternyata surat keterangan itu dinyatakan belum lengkap
juga. Sang istri tidak bisa ditangani sebelum kelengkapan administrasi itu
dipenuhi. Pria itu menyatakan menyerah, tak bisa memenuhi kelengkapan
administrasi karena tak punya ongkos transpor untuk mengurus ke desanya.
Pria itu tak punya uang untuk naik bus ke
kecamatan, kemudian naik angkot dari kecamatan ke desa, dan naik ojek dari
jalan desa ke rumah pejabat desa yang berwenang mengeluarkan surat
keterangan miskin itu. Uang sebesar Rp200.000 untuk biaya transpor pulang-pergi
dari rumah sakit ke desa tidak dia punyai. Karena tidak ada yang bisa
dimintai tolong, dia pun menyatakan pasrah istrinya tak ditolong. Dia tak
berdaya dan pasrah di rumah sakit itu. Itulah contoh kisah sedih tentang
seorang pasien yang ”dengan tega” tidak segera ditangani hanya karena
alasan administratif.
Kisah tersebut tentu berbalikan dengan kisah
Dokter Dewa Ayu yang karena terlalu cepat mengoperasi pasien di sebuah
rumah sakit di Manado, terpaksa digelandang ke pengadilan pidana dan dijatuhi
hukuman selama 10 bulan. Majelis hakim di Mahkamah Agung menyatakan Ayu
ceroboh dan bersalah. Padahal, Majelis Etik Kedokteran sudah menyatakan
bahwa Dokter Dewa Ayu tidak melakukan pelanggaran prosedur dan etik.
Dalam tiga hari terakhir ini, masyarakat
Indonesia menonton gelombang demo solider, bahkan pemogokan, oleh para
dokter yang memprotes penjatuhan hukuman oleh MA terhadap sejawatnya itu.
Para dokter itu menuntut agar dokter yang dalam melakukan tugas menyebabkan
matinya pasien, apalagi kalau tak terbukti malapraktik, tak dijatuhi
hukuman. Jika dihantui ancaman hukuman dalam menjalankan tugas maka
bisa-bisa para dokter tidak akan berani melakukan tindakan cepat untuk
menolong pasien.
Kasus Dokter Dewa Ayu ini memang tampak
dilematis. Di satu pihak seorang dokter, karena tanggung jawab
profesionalnya, harus melakukan tindakan cepat untuk menyelamatkan pasien,
tidak seperti yang pernah terjadi di rumah sakit Banyumas yang secara
bertele-tele dan birokratis meminta jaminan dan syarat administratif ini
dan itu lebih dulu. Tetapi di pihak lain, seorang dokter yang ceroboh
(mungkin karena terlalu bersemangat untuk menolong pasien) dan melakukan
malapraktik maka dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Mungkin, Dokter Ayu melakukan tindakan medis
yang menyebabkan kematian pasien itu karena didorong keinginannya untuk
memberi pertolongan secara cepat. Namun, hakim di MA menemukan bukti dan
menilai bahwa Dokter Ayu bertindak ceroboh alias bersalah sehingga harus
dihukum. Dilemanya, ada tuntutan yuridis untuk menghukum orang yang
bersalah yang berhadapan dengan tuntutan sosiologis agar pengadilan tak
mudah menghukum dokter yang memberi pertolongan pada pasien.
Untuk kasus penghukuman terhadap Dokter Ayu,
mungkin penyelesaiannya tidak terlalu sulit. Terhukum bisa mengajukan upaya
hukum luar biasa dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK).
Melalui upaya hukum PK inilah, MA bisa meneliti kembali apakah ada novum
atau apakah penerapan hukum oleh hakim MA yang mengadili Dokter Ayu itu
sudah benar atau tidak. Prinsipnya dokter tidak boleh dihantui rasa takut
dihukum dalam mengambil tindakan medis, tetapi juga tak boleh ceroboh
sehingga harus tetap dijatuhi hukuman jika melakukan kesalahan.
Persoalannya terletak pada bagaimana
membuktikan perkara itu di pengadilan. Yang harus lebih diperhatikan oleh
pemerintah adalah bagaimana birokrasi pelayanan kesehatan pada umumnya
dibenahi. Sebab selain contoh yang saya sebutkan di atas, masih sangat banyak
contoh lain di mana orang miskin sepertinya ”dilarang sakit”. Banyak berita
tentang adanya orang yang ditolak, ditelantarkan, atau tidak segera
ditangani oleh dokter karena tidak bisa memberi uang jaminan sebelum
ditangani.
Sering juga kita membaca beritaadanya
orangtuayangmenangis di rumah sakit, karena anak yang baru dilahirkannya
tidak bisa dibawa pulang karena tidak punya uang untuk membayar biaya
persalinan dan pengobatannya. Banyak hal yang memilukan dalam pelayanan
kesehatan. Ini menunjukkan, tugas-tugas konstitusional pemerintah untuk
mencapai tujuan negara telah sangat terabaikan.
Menurut konstitusi salah satu tujuan negara
adalah membangun kesejahteraan umum dan kesejahteraan itu hanya bisa
dipenuhi melalui kecukupan ekonomi, kelayakan pendidikan, dan pelayanan
kesehatan. Pemerintah yang mengabaikan pelayanan kesehatan pada rakyatnya
adalah pemerintah yang mengkhianati tugas konstitusionalnya. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar