Dalam
suatu diskusi informal dengan penulis, seorang calon anggota legislatif
yang juga tetangga, menyatakan kesulitannya membuat pesan bagi warga di
daerah pemilihannya. Dia ingin punya beberapa kalimat yang bisa diingat
publik yang sekaligus merujuk kepada sosok dirinya.
Entah dia sadari atau tidak, persoalan yang dihadapinya ini sebenarnya
tidak hanya sekadar bagaimana menyusun kata-kata unik, namun juga bagaimana
bisa meyakinkan publik bahwa dia layak dipilih. Bukan jalan yang mudah bagi
para calon anggota legislatif, selevel tetangga itu, untuk bisa meraih
dukungan publik. Pertama, mereka para politikus “junior”, belum dikenal
publik. Boleh saja mereka punya visi yang lebih maju dan mulia dari para
seniornya. Namun, hanya dirinya sendiri dan orang-orang di sekelilingnya
yang mengetahui. Bagaimanapun juga, reputasi belum mereka miliki.
Mereka tak ubahnya orang yang baru saja memiliki akun Twitter dan memulai
perjuangan menggaet follower. Kedua, tingkat kepercayaan publik yang begitu
rendah pada politikus. Jadi meskipun para politikus baru punya rencana
hebat untuk mengerek reputasinya, dia harus pula menghadapi kenyataan tak
menguntungkan terkait citra kaum politikus yang begitu buruk di mata
masyarakat. Publik menganggap politikus sebagai pihak yang bertanggung
jawab pada berbagai kekisruhan di Indonesia.
Apalagi dari berbagai kasus korupsi terakhir, semakin gamblang peranan
politikus dalam aksi pencurian uang negara. Ketiga, ketidakpercayaan publik
pada pemilihan umum itu sendiri. Ini tantangan yang pasti tidak ringan
untuk dilalui. Meski seorang calon memiliki kemampuanuntukmembangun
kompetensi diri sedemikian rupa, dan mampu menempatkan dirinya di jajaran
politikus terpercaya dan bersih, namun semua itu menjadi kurang berarti
manakala publik tak mau lagi menggunakan hak pilihnya.
Ketiga hal di atas adalah tantangan serius bagi para politikus muda yang
memang punya niat mulia membela rakyat, sekaligus menjalankan fungsi
legislatif sesuai paham demokrasi dan kedaulatan rakyat. Mereka harus
melakukan dobrakan. Tak bisa jika hanya mengandalkan kecakapan berpolitik
pas-pasan tanpa visi yang kuat. Tak bisa pula jika mereka hanya mengikuti
langgam politik konvensional kurang bermutu yang selama ini dijalankan oleh
partai politik yang ada, yang lebih menjunjung tinggi kedaulatan partai dan
golongan.
Para calon wakil rakyat memiliki tanggung jawab moral untuk memecah
kebuntuan yang ada, di mana masih marak para pemilik suara yang enggan
menggunakan haknya. Mereka enggan memilih wakilnya di parlemen yang akan
mengawasi jalannya pemerintahan. Padahal, demokrasi tidak akan berjalan
secara efektif sebagai sarana memastikan kedaulatan rakyat jika para
pemilik suara tidak mau menggunakan haknya memilih wakilnya di parlemen.
Tanpa partisipasi pemilik suara dalam pemilu, makan langkah menuju citacita
kemerdekaan tidak akan terwujud.
Dengan beban memanggul tanggung jawab moral seperti di atas jelas bukan
perkara ringan bagi para calon legislatif. Jadi, jelas pula modal yang
harus mereka miliki adalah visi kuat membangun bangsa. Karena itu, idealnya
para wakil rakyat adalah orang-orang yang punya kompetensi untuk misi
berlevel tinggi ini, yang bisa ditunjukkan dengan otak pintar dan cerdas,
iman kuat, kehidupan sosial dan pribadi yang sehat, dan berorientasi kepada
publik.
Orang dengan profil seperti di atas jelas tak akan mendahulukan hal-hal
sepele yang kurang dewasa, seperti antara lain memasang banyak-banyak
gambar wajahnya di pinggir jalan, apalagi harus dengan mencuri start.
Mencermati tingkat polah para calon wakil rakyat dalam mempromosikan
dirinya sungguh membuat miris. Bagaimana tidak? Merekalah yang bakal
mewakili rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Tapi, lihatlah,
banyak di antara mereka tak jelas rekam jejaknya dalam mengabdi untuk
publik luas, bahkan untuk komitasnya sendiri.
Sangat kebetulan juga, hanya berjarak tiga rumah dari tetangga yang caleg
itu tinggal mantan anggota DPR RI. Saat masih menjabat dulu, bapak ini
hampir-hampir tak pernah bergaul dengan tetangga. Bahkan sopirnya sempat
beberapa kali kena teguran keras warga karena suka ngebut bawa mobil
berlabel logo DPR RI di plat-nya di jalanan komplek perumahan kami.
Idealnya seorang calon anggota legislatif adalah orang dengan rekam jejak
perjuangan yang panjang dan tanpa lelah dalam membela kepentingan publik.
Dia tak cukup hanya seorang dermawan yang bagibagi bingkisan setiap bulan
ke panti asuhan atau panti jompo. Tak cukup juga jika dia seorang pemilik
media lokal yang menggunakan medianya untuk memberitakan aktivitas
sosialnya. Dia pun tetap tak layak meski memimpin organisasi massa kalau
justru lebih tersohor karena kegarangannya sebagai penjaga keamanan
pihak-pihak tertentu yang membayarnya.
Menilai kompetensi para calon wakil rakyat mestinya juga menjadi pekerjaan
rumah yang cukup serius bagi pekerja lembaga masyarakat sipil pemantau
pemilu. Jika setidaknya dalam beberapa kali pemilu terakhir ada yang
menginisiasi daftar politikus hitam, ada baiknya juga dimunculkan daftar
nilai bagi para caleg yang sudah masuk DCT. Nilai ini berdasarkan
kompetensi dan prestasi mereka dalam berjuang bagi publik, serta jejak
moralitas. Bagaimanapun juga usaha menyelamatkan perbaiki kualitas pemilu
harus tetap dilakukan demi kebaikan negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar