HARIAN The Wall Street Journal kemarin menurunkan berita tentang Sido Muncul yang melakukan
penawaran perdana atas 10 persen sahamnya. ''Ini adalah perusahaan obat-obatan herbal pertama yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia,'' tulis The Wall Street Journal.
Di dalam ball room 2 Hotel
Ritz-Carlton-Pacific Place Jakarta, Senin (18/11), saya menyaksikan
kerumunan yang tidak biasa Seorang investor dari BCA mengatakan, ''Ini IPO
teramai yang pernah saya lihat tahun ini.''
Hanya, saat press conference terlihat kurang
rapi. Tampaknya, Sido Muncul atau pihak underwriter kurang mempersiapkannya
dengan baik.
Tetapi, secara keseluruhan, acara tersebut
terbilang ramai. Investor menaruh harapan besar. Sebanyak 1,5 miliar lembar
saham ditawarkan dengan harga awal Rp 540-Rp 660 per lembar untuk mendapatkan
dana ekspansi Rp 1,5 triliun pada akhir tahun ini.
Saham
Itu Intangibles
Di luar ruangan, seorang tamu mendiskusikan
harga perdana yang ditawarkan. Yang satu membandingkan antara nilai aset
dengan harga saham dan menyatakan harga itu ketinggian. Tetapi, seorang
investor lainnya geleng-geleng kepala menyatakan sebaliknya. Orang lain
menyatakan harga itu masih murah atau terlalu murah. Inilah persepsi.
Layaknya harga saham perdana, investor
selalu punya pandangan yang berbeda-beda, bergantung pada persepsi
masing-masing.
Namun, sebagai orang yang pernah menjadi
endorser salah satu produk Sido Muncul pada zaman sulit, saya sedikit
mengerti kekuatan Sido Muncul. Dan tentu saja kelemahan-kelemahan serta
ancaman-ancaman yang dihadapinya. Yang terakhir itu sudah sering saya
sampaikan kepada Irwan Hidayat, CEO Sido Muncul. Dan saya kira, IPO
tersebut adalah salah satu jawabannya dari sekitar 5 tahun pergulatan yang
dia pikirkan.
Menurut hemat saya, kekuatan Sido Muncul ada
pada harta-harta tidak terlihatnya, yang dalam manajemen disebut
intangibles. Sayangnya, hampir semua analis terfokus pada analisis aset
tangible dengan menghitung segala sesuatu yang ''tampak'' pada
laporan-laporan keuangan. Padahal, intangibles itu tidak pernah tampak
dalam neraca keuangan, laporan rugi laba, cash flow, maupun business plan.
Intangibles pulalah yang menentukan harga
saham, yang membedakan ''nilai buku'' (book value) dengan ''nilai pasar''
(market value). Intangibles itulah pembentuk persepsi. Sebab, intangibles adalah
segala sesuatu yang melekat pada manusia yang tidak bisa dibeli dengan
uang, tidak bisa diperoleh dalam tempo sekejap. Namun, sekali didapat, ia
bisa diekspansi dan diperluas.
Brand
image, customers loyalty, distributors loyalty, trust, skill, corporate
culture, innovation, entrepreneurship, knowledge, patent, dan sebagainya adalah intangibles. Jadi, itulah yang membuat sebuah usaha tidak bisa
direplikasi begitu saja. Sido Muncul ada sejak 1940-an dengan pengetahuan
yang terakumulasi dalam sebuah proses yang melekat internal dan eksternal.
Kembali ke Sido Muncul, saya ingin mengajak
Anda melihat lebih dari sekadar data. Tengoklah betapa kuatnya hubungan
yang dimiliki dengan para stakeholder-nya saat ia menggelar mudik Lebaran
untuk para pengecer jamu. Selain pionir, ia menjadi pelaku mudik Lebaran
yang paling besar dan paling dihormati.
Penyelenggaraannya rapi, dilepas
pejabat-pejabat publik terkemuka dan dihadiri puluhan endorser-nya yang
menjadi bintang iklan dua produk unggulannya: Tolak Angin dan Kuku Bima.
Harap maklum, tidak banyak produk yang
secara aktif membuat iklan yang setiap 3-6 bulan diperbarui. Selain
ditaburi selebriti, iklan-iklan Sido Muncul didukung talent yang beragam,
mulai akademisi, pengusaha, menteri, dan budayawan.
Perhatikanlah bagaimana pesaing-pesaingnya
berupaya ''mencantelkan'' brand-nya dengan tema-tema yang dibuat Sido
Muncul. Lihat saja tema orang pintar yang terus diikuti pendatang-pendatang
baru. Namun, sebagai penabuh genderang, ia sama sekali tidak terganggu
tiupan seruling dari pencantel-pencantel merek itu.
Dengan hubungan antaranggota keluarga yang
kompak, Sido Muncul keluar sebagai pemenang. Ia jauh mengungguli
produsen-produsen jamu yang jaya pada era sebelumnya. Dulu kita mendengar
Jamu Jago, lalu disalip Nyonya Meneer sampai keluarga itu terpecah dua,
lantas muncullah Air Mancur. Tetapi, mereka tidak bertahan lama. Jadi,
andaikan keluarga Sido Muncul ikut pecah, hampir pasti nasibnya pun akan
serupa. Apalagi kalau intangibles-nya
lemah.
Jadi, go
public jelas merupakan salah satu jalan untuk mengatasi masalah
kemungkinan pudarnya usaha karena keributan dalam usaha keluarga (family business). Sebab, mereka yang
tidak bisa bersatu memiliki kemudahan untuk keluar dengan melepas
saham-sahamnya ke publik. Go public bagi family business yang berhasil juga merupakan alat untuk
''menjual'' intangibles yang
selama ini tak dihargai, tak terlihat, dan tak diperdagangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar