Dalam
beberapa kesempatan, Menko Perekonomian memastikan Pemerintah segera
merevisi daftar negatif investasi (DNI) untuk meningkatkan kontribusi
investasi di Indonesia. Usulan yang sedianya akan dilakukan tahun 2013
tersebut, rencananya akan membuka beberapa sektor usaha yang sebelumnya
tertutup bagi investasi asing sektor perhubungan, pariwisata,
telekomunikasi, dan farmasi.
Di sektor perhubungan, beberapa bidang usaha yang akan dibuka bagi asing
misalnya bandara, pelabuhan, dan jasa kebandarudaraan (hingga 100 persen
kepemilikan), terminal darat dan barang (hingga 49 persen kepemilikan),
pariwisata alam (hingga 70 persen kepemilikan), telekomunikasi jaringan
tertutup (hingga 65 persen kepemilikan), serta usaha farmasi hingga 85
persen kepemilikan.
Revisi ini wajib dilakukan demi meningkatkan daya saing nasional serta
memperbaiki iklim investasi, dalam mendukung pencapaian target investasi Rp
390 triliun. Hal ini juga senada dengan road map pengembangan investasi
yang kedepannya diharapkan dapat menjadi saka guru perekonomian nasional,
dengan tetap mempertimbangkan aspek perlindungan terhadap kepentingan
nasional khususnya sektor UMKM.
Definisi DNI
Secara umum, DNI dapat dimaknai sebagai daftar sektor-sektor yang tertutup
seluruhnya atau sebagian, bagi investasi swasta baik asing maupun dalam
negeri. DNI ini didasarkan kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36
Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Berdasarkan Perpres tersebut, yang dimaksud dengan bidang usaha tertutup
adalah bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan
penanaman modal. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah,
bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman
modal dengan syarat tertentu.
Bidang usaha tertutup untuk penanaman modal meliputi antara lain bidang
pertanian, kehutanan, perindustrian, perhubungan, komunikasi dan
informatika khususnya untuk usaha manajemen stasiun monitoring spektrum
frekuensi radio dan orbit satelit, serta bidang kebudayaan dan pariwisata
melalui usaha museum pemerintah, benda purbakala, lingkungan adat, monumen
dan perjudian/kasino.
Rencana usulan revisi DNI tersebut, dalam perjalanannya kemudian
menimbulkan silang pendapat dari berbagai kalangan. Sektor perbankan
menjadi salah satu contoh pihak yang mendukung usulan tersebut, mengingat
pembukaan bidang usaha akan meluaskan pasar produk mereka. Begitu juga
kalangan pengusaha dan masyarakat dengan tetap mengedepankan aspek
efisiensi.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah substansi antara revisi DNI dengan
tujuan perbaikan iklim investasi itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum,
bahwa persoalan mendasar terkait lemahnya iklim investasi di Indonesia
adalah birokrasi, korupsi, dan infrastruktur kurang memadai. Berbagai hasil
survei lembaga internasional pun memperkuat argumentasi tersebut.
Rilis terbaru World Economic Forum (WEF) 2013 misalnya, Indonesia dianggap
sebagai negara dengan performa paling menakjubkan di antara negara G-20
lainnya. WEF juga menganggap Indonesia memiliki kualifikasi memuaskan di 10
dari 12 pilar yang dilombakan, baik dilihat dari upaya perbaikan
infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja, kualitas institusi publik,
swasta, serta efisiensi pemerintahan. Namun, beberapa hal masih menjadi
sorotan utama, khususnya terkait inefisiensi birokrasi, regulasi upah yang
inkonsisten, korupsi, partisipasi perempuan, tingkat keamanan, serta
penggunaan teknologi yang masih rendah.
Laporan Doing Business 2014 tentang hasil publikasi Bank Dunia juga patut
disimak. Kemerosotan daya saing Indonesia lebih banyak disebabkan adanya
penurunan dalam kriteria pengurusan izin mendirikan bangunan, kriteria
pembayaran pajak, memulai bisnis, izin hak merek, serta kemudahan
mendapatkan akses kredit.
Menjadi sangat menarik ketika dalam pelantikannya, Kepala BKPM justru
menyampaikan pendapat untuk lebih mencermati kembali draf revisi DNI,
apakah memang hal tersebut yang dibutuhkan atau justru akan lebih
memfokuskan kepada upaya mengurangi rantai birokrasi perizinan, memerangi
budaya korupsi, serta mengakselerasi percepatan pembangunan infrastruktur
sebagai persoalan mendasar dalam menciptakan iklim investasi yang
bersahabat.
Dalam kondisi sekarang pun, revisi DNI justru berpotensi memperlebar
defisit neraca transaksi berjalan, jika berbagai investasi asing yang
nantinya masuk hanya berorientasi kepada penjualan domestik, bukan untuk
kepentingan ekspor. Jika
benar kondisi ini yang terjadi maka ekonomi Indonesia dapat diumpamakan
dengan istilah ”sudah jatuh tertimpa tangga”, sudah dijajah dengan
investasi asing, masyarakatnya masih diwajibkan membeli produk tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar