Kamis, 21 November 2013

Revisi DNI dan Perbaikan Iklim Investasi

Revisi DNI dan Perbaikan Iklim Investasi
Joko Tri Haryanto  ;   Pegawai PKPPIM, BKF Kementerian Keuangan
SINAR HARAPAN,  20 November 2013



Dalam beberapa kesempatan, Menko Perekonomian memastikan Pemerintah segera merevisi daftar negatif investasi (DNI) untuk meningkatkan kontribusi investasi di Indonesia. Usulan yang sedianya akan dilakukan tahun 2013 tersebut, rencananya akan membuka beberapa sektor usaha yang sebelumnya tertutup bagi investasi asing sektor perhubungan, pariwisata, telekomunikasi, dan farmasi. 

Di sektor perhubungan, beberapa bidang usaha yang akan dibuka bagi asing misalnya bandara, pelabuhan, dan jasa kebandarudaraan (hingga 100 persen kepemilikan), terminal darat dan barang (hingga 49 persen kepemilikan), pariwisata alam (hingga 70 persen kepemilikan), telekomunikasi jaringan tertutup (hingga 65 persen kepemilikan), serta usaha farmasi hingga 85 persen kepemilikan. 

Revisi ini wajib dilakukan demi meningkatkan daya saing nasional serta memperbaiki iklim investasi, dalam mendukung pencapaian target investasi Rp 390 triliun. Hal ini juga senada dengan road map pengembangan investasi yang kedepannya diharapkan dapat menjadi saka guru perekonomian nasional, dengan tetap mempertimbangkan aspek perlindungan terhadap kepentingan nasional khususnya sektor UMKM.

Definisi DNI
Secara umum, DNI dapat dimaknai sebagai daftar sektor-sektor yang tertutup seluruhnya atau sebagian, bagi investasi swasta baik asing maupun dalam negeri. DNI ini didasarkan kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Berdasarkan Perpres tersebut, yang dimaksud dengan bidang usaha tertutup adalah bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah, bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu. 

Bidang usaha tertutup untuk penanaman modal meliputi antara lain bidang pertanian, kehutanan, perindustrian, perhubungan, komunikasi dan informatika khususnya untuk usaha manajemen stasiun monitoring spektrum frekuensi radio dan orbit satelit, serta bidang kebudayaan dan pariwisata melalui usaha museum pemerintah, benda purbakala, lingkungan adat, monumen dan perjudian/kasino.  

Rencana usulan revisi DNI tersebut, dalam perjalanannya kemudian menimbulkan silang pendapat dari berbagai kalangan. Sektor perbankan menjadi salah satu contoh pihak yang mendukung usulan tersebut, mengingat pembukaan bidang usaha akan meluaskan pasar produk mereka. Begitu juga kalangan pengusaha dan masyarakat dengan tetap mengedepankan aspek efisiensi. 

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah substansi antara revisi DNI dengan tujuan perbaikan iklim investasi itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa persoalan mendasar terkait lemahnya iklim investasi di Indonesia adalah birokrasi, korupsi, dan infrastruktur kurang memadai. Berbagai hasil survei lembaga internasional pun memperkuat argumentasi tersebut.

Rilis terbaru World Economic Forum (WEF) 2013 misalnya, Indonesia dianggap sebagai negara dengan performa paling menakjubkan di antara negara G-20 lainnya. WEF juga menganggap Indonesia memiliki kualifikasi memuaskan di 10 dari 12 pilar yang dilombakan, baik dilihat dari upaya perbaikan infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja, kualitas institusi publik, swasta, serta efisiensi pemerintahan. Namun, beberapa hal masih menjadi sorotan utama, khususnya terkait inefisiensi birokrasi, regulasi upah yang inkonsisten, korupsi, partisipasi perempuan, tingkat keamanan, serta penggunaan teknologi yang masih rendah.

Laporan Doing Business 2014 tentang hasil publikasi Bank Dunia juga patut disimak. Kemerosotan daya saing Indonesia lebih banyak disebabkan adanya penurunan dalam kriteria pengurusan izin mendirikan bangunan, kriteria pembayaran pajak, memulai bisnis, izin hak merek, serta kemudahan mendapatkan akses kredit. 

Menjadi sangat menarik ketika dalam pelantikannya, Kepala BKPM justru menyampaikan pendapat untuk lebih mencermati kembali draf revisi DNI, apakah memang hal tersebut yang dibutuhkan atau justru akan lebih memfokuskan kepada upaya mengurangi rantai birokrasi perizinan, memerangi budaya korupsi, serta mengakselerasi percepatan pembangunan infrastruktur sebagai persoalan mendasar dalam menciptakan iklim investasi yang bersahabat.

Dalam kondisi sekarang pun, revisi DNI justru berpotensi memperlebar defisit neraca transaksi berjalan, jika berbagai investasi asing yang nantinya masuk hanya berorientasi kepada penjualan domestik, bukan untuk kepentingan ekspor. Jika benar kondisi ini yang terjadi maka ekonomi Indonesia dapat diumpamakan dengan istilah ”sudah jatuh tertimpa tangga”, sudah dijajah dengan investasi asing, masyarakatnya masih diwajibkan membeli produk tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar