Selasa, 12 November 2013

Presidensial dan Parlementer

Presidensial dan Parlementer
Denny Indrayana  ;   Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO,  12 November 2013
  

Di antara lima sistem pemerintahan, yang paling sering didikotomikan adalah sistem presidensial dan parlementer. 

Perdebatan di antara keduanya bahkan lebih tua daripada polemik tentang demokrasi modern, yang lahir akibat pendikotomian keduanya. Bahkan, tidak jarang, demokrasi dibedakan atas dasar keduanya: demokrasi presidensial dan demokrasi parlementer. Inti dari perbedaan tersebut adalah relasi cabang kekuasaan eksekutif dengan legislatif. Jika ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif; eksekutif dipimpin oleh presiden, sedangkan legislatif dilaksanakan oleh lembaga perwakilan rakyat, maka yang berjalan adalah sistem presidensial. 

Posisi di antara kedua cabang kekuasaan demikian adalah setara, dengan sistem relasi saling imbang dan saling kontrol di antara keduanya. Di sisi lain, jika eksekutif dipimpin oleh perdana menteri atau premier, yang anggota kabinetnya juga adalah anggota parlemen, maka sistem yang diterapkan adalah sistem parlementer. Perdana menteri adalah pemimpin dari partai atau koalisi partai yang menguasai kursi mayoritas di parlemen. Karakteristik sistem parlementer ada tiga yaitu: Satu, ada kepala negara yang perannya hanya simbolik dan seremonial, mempunyai pengaruh politik yang amat terbatas. 

Kepala negara adalah seorang presiden sebagaimana di Jerman, India, dan Italia; atau kaisar atau ratu seperti di Jepang atau Inggris. Dua, cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir, yang bersama- sama dengan kabinet, adalah bagian dari parlemen, dipilih oleh parlemen dan setiap saat dapat diberhentikan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Tiga, parlemen dipilih melalui pemilu yang waktunya bervariasi, ditentukan oleh kepala negara berdasarkan masukan dari perdana menteri atau kanselir. Di antara negara-negara yang menerapkan sistem parlementer masih terdapat perbedaan- perbedaan mendasar. 

Ketidaksamaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor: (1) perbedaan jenis parlemen, apakah unikameral atau bikameral, termasuk perbedaan sistem pemilihan kamar kedua (second chamber); (2) perbedaan kekuatan eksekutif untuk membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu, serta sebaliknya, perbedaan kekuatan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri; (3) perbedaan adanya kewenangan judicial review. 

Di Inggris, kewenangan demikian tidak ada karena kedaulatan parlemen yang supreme; dan (4) perbedaan jumlah dan tipe partai politik. Ciri sistem presidensial beraneka ragam, namun empat hal yang paling dominan adalah: Satu, presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Dua, akan lebih kuat karakter presidensialnya jika presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular elected). 

Tiga, presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen, kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment). Empat, presiden tidak dapat membubarkan parlemen. Dilihat dari karakteristik tersebut, Lijphart menggariskan tiga perbedaan mendasar antara sistem presidensial dan parlementer: pertama, presidensial dipimpin oleh kepala pemerintahan, yang kebanyakan disebut presiden, dipilih untuk satu masa jabatan tertentu yang ditetapkan dalam konstitusi. 

Untuk kondisi normal, sang presiden tidak boleh diberhentikan oleh legislatif, kecuali dalam hal pemakzulan (impeachment). Di sisi lain, parlementer dipimpin oleh perdana menteri––atau terkadang disebut premier, chancellor, dan ministerial-president––yang keberlangsungan kabinet pemerintahannya akan amat bergantung pada kepercayaan dari legislatif. Setiap saat parlemen dapat memberhentikan perdana menteri dan membubarkan kabinet yang dipimpinnya melalui mosi tidak percaya (vote of no confidence). 

Karena kebergantungan kabinet kepada parlemen tersebutlah, kabinetnya disebut sebagai kabinet parlementer, sedangkan dalam sistem presidensial disebut kabinet presidensial. Kedua, kepala pemerintahan dalam sistem presidensial dipilih secara langsung oleh rakyat, atau dengan mekanisme electoral college sebagaimana di Amerika Serikat; sedangkan perdana menteri dalam sistem parlementer dipilih oleh lembaga legislatif. Perbedaan utama yang ketigaadalah, dalam sistem presidensial dikenal hanya satu orang kepala pemerintahan dengan seluruh menteri kabinet berada di bawah kendalinya, atau dikenal dengan sistem one-person, noncollegial executives. 

Berbeda dengan sistem parlementer yang kepemimpinannya lebih bersifat kolegial, atau diistilahkan sebagai collective atau collegial executives. Selain ketiga perbedaan utama tersebut, sering pula disebutkan bahwa presiden adalah kepala negara di samping kepala pemerintahan; sedangkan seorang perdana menteri hanyalah kepala pemerintahan semata. Perbedaan lain, presiden tidak pernah memegang jabatan rangkap sebagai anggota parlemen, sedangkan perdana menteri, dan anggota kabinetnya, adalah pula members of parliament. Perbedaan yang terakhir sebenarnya mempunyai pengecualian. 

Di Belanda dan Norwegia, posisi sebagai anggota parlemen harus dilepaskan oleh anggota kabinet dan perdana menterinya. Lijphart berargumen, praktik di kedua negara tersebut tidak menghadirkan perbedaan yang mencolok dengan model sistem parlementer yang lebih baku. Representasi paling akurat dari sistem presidensial adalah pemerintahan di Amerika Serikat, sedangkan model parlementer yang paling dirujuk adalah Inggris. 

Negara lain di wilayah Amerika Tengah dan Selatan, kebanyakan hanya menduplikasi sistem pemerintahan Negeri Paman Sam tersebut. Tentu, sebagaimana adanya perbedaan dalam detail penerapan sistem parlementer, rincian aplikasi sistem presidensial pun berbeda-beda. Di Filipina misalnya, kongres berwenang mengonfirmasi kandidat wakil presiden, yang dinominasikan presiden, yaitu ketika terjadi kekosongan posisi wakil di tengah masa jabatan kepresidenan. 

Lebih jauh, kandidat wakil presiden harus anggota kongres. Di Amerika Serikat, Senat berwenang mengonfirmasi seluruh ”political appointment” presiden. Kewenangan konstitusional senat untuk memberi ”advise and consent” dalam pengangkatan hakim agung, misalnya, membuka kesempatan bagi parlemen untuk mempengaruhi kebijakan yudisial pada level federal. Presiden Amerika Serikat dipilih untuk masa jabatan empat tahun, dan dibatasi hanya untuk maksimal dua periode masa jabatan, sesuai Amendemen Ke- 22 Konstitusi Amerika Serikat. 

Sang presiden dipilih langsung oleh rakyat (melalui Electoral College), tidak oleh Kongres, dan karena itu tidak bertanggung jawab kepada Kongres. Meskipun Kongres dapat mengontrol arus keuangan negara, hak veto presiden dan menginvestigasi kebijakan presiden; kantor kepresidenan masih jauh dari konsep Jeffersonian yang memosisikan presiden sebagai pelayan keinginan kongres. Bagi Juan J Linz, kepastian proses politik sistem presidensial adalah ciri utama yang membedakannya dengan proses politik sistem parlementer yang jauh lebih fleksibel. 

Kepastian versus fleksibilitas itu adalah kekuatan sekaligus kelemahan sistem presidensial. Kepastian menghadirkan kekuatan dan pemerintahan seorang presiden menjadi terukur dan dapat diprediksi. Namun, kepastian pula yang menyebabkan sistem presidensial mempunyai kelemahan berhadapan dengan situasi-situasi yang tiba-tiba berubah. Pada sistem parlementer, perubahan situasi politik tidak banyak memengaruhi legitimasi seorang perdana menteri yang cukup mengatasinya dengan memperoleh mosi kepercayaan (vote of confidence) dari parlemen. 

Dengan pemahaman relasi sistem presidensial dengan kepastian dan fleksibilitas yang demikian, rancangan sistem presidensial diprediksi menjadi lebih stabil, khususnya dalam hal masa jabatan. Sementara sistem parlementer memang lebih dinamis. Pemerintahan parlementer bisa jatuhbangun terganggu fluktuasi dukungan partai politik di parlemen atas presiden. 

Di Tanah Air, kedua sistem pemerintahan tersebut, baik presidensial maupun parlementer, sama-sama pernah kita terapkan. Masing-masing pastinya punya kelebihan dan kekurangan. Yang pasti pasca-empat perubahan UUD 1945, sebenarnya karakteristik sistem presidensial kita lebih kuat. Meskipun tetap ada saja karakter parlementer, misalnya hak angket yang diakui keberadaannya dalam UUD 1945. Atau, dalam praktik, sistem presidensial kita yang berpijak pada multipartai menghadirkan tantangan tersendiri. 

Apa pun, demi Indonesia yang lebih baik ke depan, sistem presidensial kita harus lebih dikuatkan tidak hanya dalam teori, namun juga dalam kehidupan bernegara yang lebih antikorupsi. Karena sistem pemerintahan apa pun tidak akan efektif, jika korupsi dan penyimpangan masih merajalela. Keep on fighting for the better Indonesia!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar