AKUNTABILITAS kerap dimaknai
sebagai pertanggungjawaban seseorang atau lembaga terhadap apa yang telah
dilakukan. Karena itu, bentuk akuntabilitas akan terpulang pada seperangkat
ekspektasi yang ada dan berkembang di dalam masyarakat, seperti
nilai-nilai, norma, dan pandangan hidup yang dianut berdasarkan sistem
nilai, tradisi, budaya, dan kebiasaan sebuah masyarakat. Begitulah yang
terjadi dengan dunia pendidikan saat ini seantero dunia, saat publik selalu
menuntut bentuk akuntabilitas yang relevan di bidang pendidikan.
Jo Anne Anderson dalam Accountability in Education (2005) menyebutkan setidaknya ada
tiga bentuk akuntabilitas pendidikan yang berkembang saat ini. Pertama,
bentuk akuntabilitas yang didorong sekadar untuk memenuhi aturan yang
berlaku dalam sebuah sistem pendidikan (compliance
with regulations). Titik tekan pada akuntabilitas jenis ini biasanya
sangat kaku dan birokratis karena aturan dibuat biasanya hanya untuk
menguntungkan kelompok tertentu.
Kedua ialah jenis akuntabilitas pendidikan yang didorong
untuk memenuhi profesionalisme setiap orang yang terlibat dalam proses
perencanaan dan pengembangan program-program pendidikan (adherence to professionalism).
Meskipun terlihat ideal, akuntabilitas jenis ini selalu dipenuhi rambu-rambu
akademik yang juga kaku dan kurang menghargai proses. Namun sebagai sebuah
bentuk pertanggungjawaban, akuntabilitas jenis ini relatif bisa diubah
dengan cepat karena bisa jadi sangat bersifat lokal, misalnya sekolah dan
kampus.
Jenis ketiga akuntabilitas pendidikan ialah sebuah
rangkaian penilaian yang berorientasi pada kinerja atau hasil yang
diperoleh oleh sebuah lembaga atau individu (results-driven). Akuntabilitas jenis ini lebih menekankan pada
aspek hasil yang dicapai dari sebuah rangkaian proses yang sebelumnya sudah
ditetapkan standarnya. Artinya, bentuk penilaian jenis ini memerlukan
kombinasi dua pendekatan lainnya karena hasil selalu harus diukur oleh standar
kinerja yang biasanya diputuskan oleh peraturan yang dibuat.
Para pendidik, hampir dapat dipastikan, telah bekerja
dalam balutan ketiga jenis akuntabilitas pendidikan tersebut. Setiap negara
di dunia memiliki skenario dan kebijakan sendiri-sendiri berdasarkan
pengalaman dan tuntutan global. Hanya, yang perlu diperhatikan, mana jenis
akuntabilitas yang paling banyak diterapkan, termasuk di Indonesia? Untuk
kasus Indonesia, akuntabilitas dilakukan lebih banyak didasarkan pada
interpretasi aturan secara sepihak.
Kasus ujian nasional (UN) merupakan salah satu contoh
terbaik bahwa bentuk akuntabilitas pendidikan yang dianut sistem pendidikan
kita adalah kepatuhan terhadap aturan, dan lebih banyak mengejar
akuntabilitas siswa melalui ujian. Padahal, untuk mengetahui secara
komprehensif sebuah hasil proses belajar-mengajar tidak cukup hanya dengan
melihat hasilnya, tetapi juga harus menimbang dasar-dasar penegakan profesionalisme
kependidikan seperti sarana dan prasarana pendidikan, kompetensi dan
profesional guru, serta birokrasi yang sehat. Yang sering terlupakan dalam
menuntut akuntabilitas pendidikan ialah bagaimana memasukkan peran serta
dan tanggung jawab masyarakat sebagai bagian yang juga harus
dipertanggungjawabkan oleh komunitas sekolah.
Eksistensi sekolah
Jika sekolah dipercayai sebagai tempat untuk menempa
seseorang dalam mengembangkan kapasitas intelektual, tempat ribuan teks dan
buku diajarkan dan dibaca secara reguler dan inspiratif melalui serangkaian
proses belajar mengajar yang baik, tak mengherankan jika sampai saat ini
masih banyak orang menaruh harapan terhadap eksistensi sekolah.
Meskipun
sekolah kerap dikritik sebagai tempat atau karantina yang mungkin saja
membelenggu kebebasan manusia dalam berekspresi (deschooling society), hingga saat ini hanya lembaga itulah
(sekolah) yang di luar keluarga (family)
masih memiliki kekuatan melakukan perubahan, baik terhadap perorangan
maupun kelompok.
Pentingnya mengembalikan peran masyarakat agar
bertanggung jawab terhadap persoalan pendidikan di tingkat sekolah/lokal
melalui sebuah program pemberdayaan yang terstruktur dan sistematis
merupakan tuntutan yang harus dipenuhi pemerintah. Jika masyarakat paham tentang
penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan sekolah,
mengerti meski sedikit tentang performance
indicators baik yang berkaitan dengan siswa dan guru, serta paham
tentang arah pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan memperoleh dukungan
yang baik (Boyd and Claycomb, 1994).
Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling tidak
mencakup program pemberdayaan orangtua (parent
empowerment) serta kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and
teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian tentang peran
serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan sekolah
dan masyarakat yang sederajat (equal
partnership) merupakan strategi yang paling efektif dan memberi
pengaruh besar terhadap hasil belajar siswa (Bauch and Goldring, 1998).
Dari program pemberdayaan itu akan muncul kesimpulan,
apakah misalnya sebuah sekolah harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip
pembiayaan yang berorientasi pasar atau dibangun berdasarkan kemampuan
masyarakat itu sendiri. Di tengah desakan liberalisasi ekonomi yang
merambah hingga ke jantung sekolah, pola partnership sekolah dan masyarakat adalah pilihan strategis dan
fundamental untuk menentukan posisi masyarakat dan sekolah secara
bersamaan.
Posisi tawar masyarakat terhadap kualitas sekolah,
dengan demikian, harus terus digiring ke arah pertumbuhan yang sesuai
dengan tingkat kemampuan pembiayaan masyarakat itu sendiri. Dengan
demikian, hal itu diharapkan akan menjadi pertanda bangkitnya kepedulian
masyarakat terhadap sekolah. Banyak kasus ditemukan bahwa semakin
demokratis masyarakat dalam merencanakan kebijakan sekolah, maka akan
semakin baik kualitas sebuah proses pendidikan akan berlangsung (Resnick, 2000). Inilah bentuk
akuntabilitas pendidikan keempat yang diperlukan oleh kita semua, yaitu
menjadikan masyarakat berdaya dalam menilai kinerja sekolah di lingkungan
mereka masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar