|
Good people do not need laws to tell
them to act responsibly, while bad people will find a way around the laws.
Plato (427-347 SM)
Plato (427-347 SM)
GAGASAN membentuk Densus Antikorupsi di Kepolisian Negara RI,
yang dilontarkan Komisi III DPR dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri
baru, ditanggapi beragam kalangan.
Yang setuju dengan ide ini menganggap Densus Antikorupsi akan
menjadi senjata baru bagi Mabes Polri untuk lebih bertaring memberantas
korupsi. Yang tak setuju mengira pembentukan Densus Antikorupsi hanya akan
membuat inefisiensi sumber daya sebab Mabes Polri sudah memiliki unit khusus
bidang tindak pidana korupsi yang selama ini belum maksimal diberdayakan.
Usul membentuk Densus Antikorupsi di Mabes Polri tampaknya
merupakan respons jamak penyusun kebijakan, terutama setelah reformasi, seiring
dengan kegagalan berbagai institusi negara menjalankan fungsi utamanya.
Lahirnya KPK, Komnas HAM, LPSK, dan sejumlah komisi negara lain adalah contoh
pendekatan cara berpikir ini: lembaga negara yang tak fungsional diganti dengan
lembaga baru, yang diharapkan lebih efektif dan efisien bekerja.
Kultur
korup
Tanpa mempertimbangkan konteks kegagalan sebuah institusi
negara menjalankan tugas dan fungsinya, ide membangun lembaga baru adalah naif,
mencerminkan ketidakcukupan informasi memahami soal struktural yang melekat
pada lembaga yang bermasalah. Dengan demikian, jika usul ini ditelan
mentah-mentah tanpa evaluasi mendalam terhadap masalah sebenarnya, pembentukan
Densus Antikorupsi tak hanya berpotensi menghamburkan anggaran negara, tetapi
juga dapat melahirkan predator baru yang berkarakter sama dengan problem yang
akan diselesaikan: korupsi.
Sama halnya dengan persoalan di lembaga negara lainnya.
Kepolisian juga memiliki masalah krusial terkait dengan lemahnya kultur
integritas personelnya. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk mencapai dua
tujuan sekaligus—akumulasi kesejahteraan pribadi dan menjaga prestise individu
melalui kontribusi material kepada organisasi dan staf—tampaknya telah mengakar
dalam berbagai jenjang jabatan dan posisi.
Kasus penyelewengan kekuasaan yang melibatkan Djoko Susilo,
mantan Kepala Korlantas Mabes Polri, yang dituntut dua dakwaan
sekaligus—korupsi dan pencucian uang—jadi salah satu bukti aktual yang
menegaskan persoalan integritas yang buruk.
Merebaknya indikasi praktik penyalahgunaan wewenang dan
jabatan di Mabes Polri juga turut disuburkan oleh lemahnya kode etik yang
membentengi personel kepolisian dari potensi penyimpangan. Hubungan mesra
petinggi polisi, terutama dengan pengusaha, baik di tingkat pusat maupun
daerah, sikap permisif terhadap ”sumbangan masyarakat” membantu kepolisian dan
kecenderungan membiarkan praktik ”bisnis informal” personel kepolisian secara
kelembagaan mencerminkan lemahnya aturan kode etik yang berlaku. Karena tak
memadainya kode etik, sulit mengharapkan mekanisme pendisiplinan ditegakkan.
Kepolisian juga mengalami ”birokratisasi” fungsi akibat dari
sejumlah wewenang yang tak berkaitan langsung dengan fungsi utama Polri sebagai
aparat penegak hukum. Atribut wewenang mengelola SIM, administrasi kepemilikan
kendaraan, dan pengelolaan pendapatan negara dari dua sektor itu menyebabkan
sumber daya kepolisian banyak diarahkan untuk pelaksanaan fungsi administrasi.
Pada saat bersamaan, personel kepolisian tidak didesain
menjalankan kerja administrasi keuangan. Alih keterampilan dari penegak hukum
ke pekerja administrasi bukan hanya melahirkan persoalan orientasi lembaga,
melainkan juga profesionalitas personelnya. Masalahnya, kerja-kerja
administrasi dalam urusan dengan SIM dan administrasi kepemilikan kendaraan
justru sumber kemakmuran bagi segelintir pejabat polisi.
Alih-alih mengharapkan kepolisian serius memberantas ko-
rupsi (agaknya masalah utama yang harus diselesaikan lembaga ini) adalah
masalah internalnya. Namun, kepolisian tak bisa diminta menyelesaikan
masalahnya sendiri karena hal itu lahir dan terakumulasi dari berbagai macam
kebijakan politik pada era reformasi. Daripada menyodorkan resep membentuk
Densus Antikorupsi yang terkesan mentereng, anggota parlemen diharapkan
memikirkan hal strategis dalam rangka restrukturisasi wewenang dan fungsi
kepolisian.
Polisi
profesional
Mengembalikan fungsi utama kepolisian sebagai aparat penegak
hukum yang profesional adalah isu strategis dalam ranah kebijakan publik.
Dengan demikian, syarat bagi polisi agar profesional sebagai aparat penegak
hukum tak bisa dilepaskan dari dua persoalan di atas: pendisiplinan kode etik
dan mengeluarkan Polri dari jebakan birokratisasi.
Untuk yang terakhir, solusinya adalah melepaskan wewenang
pengurusan SIM dan administrasi kepemilikan kendaraan. Komisi III DPR dapat
menginisiasi upaya reformasi ini melalui revisi UU Kepolisian dan regulasi
terkait lainnya. Adapun upaya pendisiplinan kode etik di dalam kepolisian dapat
dimulai dari penyusunan substansi kode etik yang lebih operasional dalam
penjabaran dan praktiknya. Komisi Kepolisian Nasional dapat dilibatkan jadi
salah satu unsur dalam mendorong perbaikan ini.
Publik tentu mendukung anggaran dan wewenang kepolisian
menangani perkara korupsi disetarakan dengan KPK. Hanya saja, hal itu
memerlukan prakondisi yang memungkinkan pemanfaatan dua hal itu menjadi lebih
efektif dan efisien: reformasi internal Polri. Tanpa upaya ini, yang berarti
perlu intervensi kebijakan publik melalui parlemen dan pemerintah, Densus Antikorupsi
sebagai resep tak akan sanggup mengembalikan kepercayaan publik yang luntur
kepada Polri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar