|
Pendidikan
yang digadang-gadang mampu memberikan perubahan menuju peradaban Indonesia yang
lebih maju sepertinya masih jalan di tempat. Posisi Indonesia tidak juga
bergeming dari rangking bawah dunia. Maka, membenahi secara berkesinambungan
sistem pendidikan yang telah berjalan haruslah menjadi satu agenda utama pada
setiap pemerintahan yang sedang berkuasa. Karena, sejatinya pendidikan bukanlah
melulu sekadar pemenuhan kebutuhan ekonomi, tetapi sebuah strategi untuk
membangun sebuah peradaban bangsa.
Upaya
perbaikan tersebut terus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai macam
perubahan. Mulai dari perubahan sistem evaluasi akhir hingga perubahan
kurikulum. Seperti, perubahan kurikulum kita yang bahkan sudah dilakukan 10
kali sejak kemerdekaan. Perubahan itu diikuti juga dengan perubahan sistem
penilaian atau evaluasi akhir yang harus ditempuh oleh siswa. Itulah yang
kemudian dikeluhkan banyak pihak, bahkan dikatakan sistem pendidikan kita
seperti tanpa arah. Ganti menteri ganti kebijakan.
Setiap
kali rencana perubahan diwacanakan, setiap kali pula pemerintah berjanji akan
selalu mendengarkan aspirasi rakyat. Bahwa pendapat dan masukan semua pihak
akan ditampung untuk penyempurnaan program yang akan digulirkan. Namun pada
akhirnya, rakyat lebih sering dibuat kecewa. Wacana yang digulirkan seperti
sebuah harga mati bagi realisasinya, diikuti dengan pemberian janji-janji
manis, bahwa itulah yang paling tepat bagi bangsa ini.
Maka,
tepatlah apa yang disuarakan oleh Abduhzen (2013), bahwa sebagai subordinasi
sistem sosiopolitik, lingkungan pendidikan kita bukan saja tak mampu
membebaskan diri dari nilai-nilai hipokrisi dan praktik korupsi, namun justru
turut melestarikannya. Sebagai contoh, berbagai program pendidikan yang
menjanjikan perbaikan dan kemajuan, seperti profesionalisme guru, Ujian Nasional
(UN), Kurikulum 2013, dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri, kenyataannya
hanya isapan jempol. (Kompas, 30 Agustus 2013).
Contoh
lain hipokrisi seperti yang dikatakan Abduhzen, terjadi juga dalam konvensi UN
yang digelar 26-27 September 2013 lalu. Kemdikbud secara tegas menyatakan bahwa
konvensi ini akan digunakan untuk menata jalannya UN serta membicarakan
berbagai kelemahan pelaksanaan UN sejak diterapkannya. Kemdikbud bulat sikapnya
bahwa UN tetap akan dilaksanakan sebagai penentu kelulusan, sehingga
pelaksanaannya di ujung tahun, dan yang diperlukan sekarang adalah masukan
perbaikan untuk pelaksanaannya.
Padahal
jauh hari sebelumnya, ketika kegiatan konvensi ini masih dalam tataran wacana,
dikatakan oleh Mendikbud bahwa konvensi ini akan mengundang tokoh dari berbagai
pihak yang pro maupun kontra terhadap UN, nyatanya komposisi undangan sudah tak
seimbang antara yang pro dan kontra, lebih banyak yang pro. Bahkan gagasan
Konvensi UN berubah, bukan untuk mencapai kesepakatan perlu atau tidaknya UN,
namun sekadar menata jalannya UN. Yaitu, membahas teknis penggandaan soal dan
komposisi penentuan kelulusan UN. Inilah contoh terkini ketidak konsistenan
yang dilakukan oleh Kemdikbud.
Demikianlah,
angin segar untuk mendapatkan perubahan sistem pendidikan yang didambakan lebih
sering bertiup sesaat, hingga pada akhirnya sama sekali berhenti berhembus.
Banyak terjadi pengingkaran terhadap model demokrasi yang diagung-agungkan.
Yaitu, "pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara
dari stakeholders." Yang menghendaki agar setiap 'pemilik hak demokrasi'
diikutsertakan sebanyak-banyaknya. Implementasi good governance bagi
pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten,
dan pemanfaat (beneficiaries)
diakomodasi keberadaan masih jauh panggang dari api.
Semestinya
kita belajar dari Finlandia. Negara tersebut 20 tahun lalu adalah negara miskin
yang bergantung pada sektor agrikultur. Namun, mereka berhasil bangkit dan
membutuhkan waktu hingga satu generasi. Ketekunan, Komitmen kolektif dan
konsistensinya selama lebih dari 40 tahun dalam membangun sebuah sistem
pendidikanlah yang akhirnya mengantarkan negara ini menduduki peringkat
kualitas pendidikan nomor wahid dunia.
Sementara
di Indonesia, beberapa hal justru memprihatinkan. Kurikulum yang memang
mengadopsi dari Finlandia telah dimodifikasi sedemikian rupa, namun justru
sistem evaluasinya sangat bertolak belakang dengan ruh-nya kurikulum ini. Ujian
Nasional dengan model pilihan ganda tetap akan diberlakukan pada 2014
mendatang.
Sementara
K-2013 mengamanahkan pola berpikir kritis yang diwujudkan dalam tindakan nyata
dengan membangun kolaborasi di antara pelaku pendidikan (guru, siswa,
pengelola), mengevaluasi proses secara terus-menerus melalui pemantauan proses
dan capaiannya secara ketat, penilaian berdasarkan kemajuan siswa dalam
pembelajaran (relatif terhadap dirinya pada periode sebelumnya), dan hasil
akhir dapat berbeda bagi tiap siswa sesuai dengan bakat dan minatnya. Maka,
sudah seharusnya segera diformulasikan bentuk evaluasi belajar yang paling
sesuai.
Pendidikan
adalah sebuah proses human investment, sehingga juga merupakan aset paling
penting dalam pembangunan. Perselingkuhan antara kekuasaan dan kapitalisme pendidikan
mengarah pada kecenderungan politisasi pendidikan. Hal itu terbukti telah
mengebiri tujuan pendidikan itu sendiri. Namun, keterlibatan pemerintah dalam
urusan pendidikan tidak bisa dipotong sama sekali, Mushthafa (2013)
Memposisikan pendidikan sebagai strategi pembangunan
peradaban bangsa berarti bahwa proses ini melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Pendidikan bukan hanya urusan sekolah, tetapi juga urusan keluarga, organisasi
atau perkumpulan sosial dan masyarakat. Sehingga, kolektivitas ini tidak
sekedar menjalankan amanat demokrasi, namun juga akan menukik kepada
tercapainya harapan pendidikan yang mampu meningkatkan harkat dan martabat
bangsa. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar