Sabtu, 09 November 2013

Mencari Pahlawan Kepancasilaan

Mencari Pahlawan Kepancasilaan
Wiyono ; Pengajar di SMP-SMA Al Izzah International Islamic Boarding School, Batu
JAWA POS, 08 November 2013


PEMUDA bangga dengan Sumpah Pemuda. Pahlawan perang kemerdekaan bangga slogan "merdeka atau mati!" Namun, para guru tidak terlihat bangga dengan gelarnya "pahlawan tanpa tanda jasa". Apalagi para TKI, mereka tidak pernah menunjukkan kegembiraan dengan julukan "pahlawan devisa". 

Pahlawan memang kata mulia. Namun, penghargaan atas gelar itu tergantung pada pengalaman hidup mereka terkait dengan pemahlawanan tersebut. Kita baru saja melewatkan 28 Oktober Hari Sumpah Pemuda dan menjelang 10 November Hari Pahlawan. Semua mengenal tanggal heroik itu. Kita juga segera menyambut 25 November Hari Guru. Meski tidak seterkenal Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, guru masih lebih beruntung. Bukankah para TKI tidak punya Hari Pahlawan Devisa? 

Mari kita menimbang dengan Pancasila. Kalau dulu tafsiran Pancasila dibatasi dalam butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), kini kita bisa meneropong sesuai dengan pengalaman kita serta melihat gejala-gejala besar sehari-hari.

Kita mulai, sila pertama pada zaman sekarang kerap tidak ditegakkan. Tuhan tidak lagi dipertimbangkan dalam menyelesaikan atau memutuskan suatu perkara baik atau buruk. Uang seakan-akan mengambil alih posisi Tuhan. Akhirnya, uanglah yang berkuasa, bahkan kekuasaan bisa dibeli dengan uang.

Salah benar juga bisa dibeli dengan uang meskipun sebenarnya makin salah. Bahkan, sebagian orang berpendapat sekarang yang menjadi raja, bahkan "tuhan", adalah uang. Sebab, dengan uang, apa pun bisa dilakukan, dimiliki, atau mungkin dibeli, termasuk merasa bisa "membeli surga" dengan cara menyogok. Ketuhanan yang Mahaesa berganti Keuangan yang Mahakuasa.

Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab sering menjadi kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab. Wajah keadilan kerap tercoreng dalam skandal para pemegang palu keadilan. Contohnya, mereka yang tidak sengaja berbuat kesalahan mendapat hukuman berbulan-bulan. Tetapi, yang sengaja menghabiskan uang rakyat miliaran rupiah diperlakukan lunak. Bahkan berbagi jarahan dengan pengadil. 

Berikutnya, kurang ada adab atau sopan santun di negeri ini. Baik si kecil kepada yang muda, yang muda kepada yang dewasa, murid kepada guru, anak kepada orang tua, atau anak buah kepada atasan, dan sebagainya. Ini bukti hilangnya adab, tatakrama, atau karakter bangsa yang sudah dikenal selama ini santun jadi hilang.

Ketiga, persatuan Indonesia menjadi sering terpecahnya hati warga Indonesia. Contohnya, karena hal kecil saja, sebagian masyarakat Indonesia mau memisahkan diri dari wilayah Indonesia yang kita cintai dan sangat luas ini. Lebih ironis lagi, di kalangan umat untuk menentukan hari raya saja, sering terjadi perbedaan. Tidak ada satu kesepakatan. Kita lebih bangga berbeda-beda dengan memasang wajah muram. 

Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan menjadi perwakilan rakyat yang memimpin dengan tidak hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya wakil rakyat yang tersandung keburukan. Baik ketika menjabat sampai setelah menjabat tetap meninggalkan berbagai macam masalah yang sangat kompleks yang membebani rakyat. 

Banyak wakil rakyat yang tidak amanah dan jujur dalam mengemban amanat rakyat. Mungkin mereka menganggap jabatan itu miliknya yang harus dilanggengkan sehingga apa pun dilakukan untuk mempertahankan kekuasaannya. Setelah mati, mereka tidak takut saat bertemu dengan Tuhan. 

Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi ketidakadilan sosial bagi banyak rakyat Indonesia. Gejala yang muncul, kemudahan pembangunan yang kerap digagahi oleh para elite. Yang terjadi adalah ketimpangan sosial yang belum terjembatani. Yang kaya semakin kaya, yang miskin bertambah susah. Tentu saja, ada perbaikan di beberapa bidang, dan itu harus disyukuri. 

Gejala-gejala pengabaian kepada Pancasila yang gampang ditemukan sehari-hari itu jelas mengabaikan spirit pengorbanan para pahlawan. Banyak rakyat yang berkorban dalam melayani negara ini, setidaknya dari pajak yang memungkinkan pemerintah tetap menikmati fasilitas. Mereka seharusnya juga menjadi pahlawan bagi kesejahteraan rakyat. Kalau perlu, kita buat gelar "pejabat pahlawan kemakmuran rakyat" asal mereka bersungguh-sungguh. Kenapa tidak? 

Mari tetap bersungguh-sungguh di segala bidang demi menerjemahkan nilai-nilai Pancasila yang sarat pengorbanan kepahlawanan. Selamat Hari Pahlawan, hari kita semua. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar