|
Ketika pemilu pertama pasca-1998 berlangsung, suasana
kebangsaan membangun bangsa baru terasa begitu luar biasa. Kebetulan saya
diminta menjadi koordinator lebih dari 15 NGO media sehingga langsung merasakan
sebuah tujuan bersama: Pemilu tidak saja memilih pemimpin, tetapi juga medium
terbesar pendidikan warga negara.
Kesadaran pemilu sebagai medium terbesar civic education tersebut menjadikan
tokoh-tokoh Indonesia memerlukan berkumpul, baik tokoh politik, budaya, maupun
intelektual, lebih kurang 50 tokoh mencoba merumuskan tujuan pemilu, dari
Goenawan Mohamad, Jakob Oetama, Komaruddin Hidayat, hingga Mudji Sutrisno.
Mereka membuat beberapa rumusan penting. Pertama,
mentransformasi pemilu paksaan menjadi pemilu yang bebas dan partisipatif.
Kedua, membangun lembaga-lembaga pemilu yang mampu menjalankan pemilu secara
damai dan demokratis. Ke tiga, kesadaran setiap pemilu sebagai medium
pendidikan warga negara, yang dari pemilu satu ke lainnya memiliki tantangan
baru dengan visi dan perspektif berbeda. Keempat, pemilu sebagai medium
multikultur, mendorong kepemimpinan lintas etnis, lintas agama, lintas wilayah,
hingga lintas profesi.
Kesadaran menjadikan pemilu sebagai medium pendidikan warga
negara tersebut melahirkan begitu banyak aktivitas pendidikan warga negara,
sebutlah NGO media melahirkan awal dari penghitungan cepat dan langsung, partisipasi
televisi sebagai medium pendidikan warga negara, diskusi-diskusi publik, hingga
munculnya beragam medium pendidikan warga, seperti buku Braille pendidikan
pemilu ataupun lomba-lomba pendidikan warga di berbagai sekolah, seperti lomba
pidato politik.
Kerja besar pendidikan warga negara tersebut tentu saja
banyak dibantu oleh dana-dana dari luar negeri yang ingin mendorong transisi
Indonesia dari tirani menjadi demokrasi.
Oleh karena itu, beberapa rekan lalu bertanya, apa yang
terjadi ketika bangsa ini mampu mengolah pemilu dengan biaya sendiri, didukung
lembaga pemilu yang lengkap, partai-partai yang besar dan kuat, undang-undang
yang melindungi, organisasi berbangsa yang lengkap, medium komunikasi yang
luarbiasa seperti televisi hingga internet, ekonomi Indonesia yang bertumbuh
tinggi disertai lahirnya politikus-politikus baru yang lahir pasca-1998 dengan
harapan cita-cita baru?
Beberapa anggota legislatif yang kini sibuk berkampanye
mengeluhkan lima ciri 15 tahun pasca-Reformasi. Pertama, politik uang sebagai
kultur kampanye terbesar. Kedua, sinisme dan apatisme masyarakat terhadap
politikus yang berkampanye serta lembaga penting berbangsa, seperti DPR hingga
partai politik. Ketiga, hilangnya aktivitas lembaga utama pemilu dalam
pendidikan warga negara. Ciri keempat adalah pemilu dianggap sebagai meresahkan
masyarakat. Harus dicatat, Pemilu Orba meresahkan masyarakat karena dipenuhi
paksaan, kini meresahkan masyarakat karena disertai konflik ketidakpuasan. Ciri
kelima, masyarakat merasakan pemilu sebagai beban yang harus ditanggung, bukan
kegembiraan berbangsa, karena memengaruhi pergerakan ekonomi dan berbagai aspek
kerja berbangsa.
Catatan kecil di atas, meski menunjukkan gejala sinisme,
jenuh, dan apatisme masyarakat terhadap pemilu, 15 tahun pemilu pasca-Reformasi
meneteskan tokoh-tokoh baru yang dihormati masyarakat di beberapa wilayah
Indonesia, meski jumlahnya sangat kecil, merekalah ujung tombak politik sebagai
pendidikan warga negara.
Agaknya lembaga-lembaga pemilu serta calon-calon pemimpin
2014 menghadapi momentum besar: kehancuran citra politik kembali seperti zaman
Orba dengan kemasan baru atau lahirnya pemimpin baru yang membangun semangat
hidup berbangsa. Agaknya, inilah tema pendidikan warga negara yang selayaknya
menjadi tugas lembaga-lembaga Pemilu 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar