Senin, 11 November 2013

Oh, Pemilu 2014

Oh, Pemilu 2014
Garin Nugroho ;  Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 10 November 2013


Ketika pemilu pertama pasca-1998 berlangsung, suasana kebangsaan membangun bangsa baru terasa begitu luar biasa. Kebetulan saya diminta menjadi koordinator lebih dari 15 NGO media sehingga langsung merasakan sebuah tujuan bersama: Pemilu tidak saja memilih pemimpin, tetapi juga medium terbesar pendidikan warga negara.

Kesadaran pemilu sebagai medium terbesar civic education tersebut menjadikan tokoh-tokoh Indonesia memerlukan berkumpul, baik tokoh politik, budaya, maupun intelektual, lebih kurang 50 tokoh mencoba merumuskan tujuan pemilu, dari Goenawan Mohamad, Jakob Oetama, Komaruddin Hidayat, hingga Mudji Sutrisno.

Mereka membuat beberapa rumusan penting. Pertama, mentransformasi pemilu paksaan menjadi pemilu yang bebas dan partisipatif. Kedua, membangun lembaga-lembaga pemilu yang mampu menjalankan pemilu secara damai dan demokratis. Ke tiga, kesadaran setiap pemilu sebagai medium pendidikan warga negara, yang dari pemilu satu ke lainnya memiliki tantangan baru dengan visi dan perspektif berbeda. Keempat, pemilu sebagai medium multikultur, mendorong kepemimpinan lintas etnis, lintas agama, lintas wilayah, hingga lintas profesi.

Kesadaran menjadikan pemilu sebagai medium pendidikan warga negara tersebut melahirkan begitu banyak aktivitas pendidikan warga negara, sebutlah NGO media melahirkan awal dari penghitungan cepat dan langsung, partisipasi televisi sebagai medium pendidikan warga negara, diskusi-diskusi publik, hingga munculnya beragam medium pendidikan warga, seperti buku Braille pendidikan pemilu ataupun lomba-lomba pendidikan warga di berbagai sekolah, seperti lomba pidato politik.

Kerja besar pendidikan warga negara tersebut tentu saja banyak dibantu oleh dana-dana dari luar negeri yang ingin mendorong transisi Indonesia dari tirani menjadi demokrasi.

Oleh karena itu, beberapa rekan lalu bertanya, apa yang terjadi ketika bangsa ini mampu mengolah pemilu dengan biaya sendiri, didukung lembaga pemilu yang lengkap, partai-partai yang besar dan kuat, undang-undang yang melindungi, organisasi berbangsa yang lengkap, medium komunikasi yang luarbiasa seperti televisi hingga internet, ekonomi Indonesia yang bertumbuh tinggi disertai lahirnya politikus-politikus baru yang lahir pasca-1998 dengan harapan cita-cita baru?

Beberapa anggota legislatif yang kini sibuk berkampanye mengeluhkan lima ciri 15 tahun pasca-Reformasi. Pertama, politik uang sebagai kultur kampanye terbesar. Kedua, sinisme dan apatisme masyarakat terhadap politikus yang berkampanye serta lembaga penting berbangsa, seperti DPR hingga partai politik. Ketiga, hilangnya aktivitas lembaga utama pemilu dalam pendidikan warga negara. Ciri keempat adalah pemilu dianggap sebagai meresahkan masyarakat. Harus dicatat, Pemilu Orba meresahkan masyarakat karena dipenuhi paksaan, kini meresahkan masyarakat karena disertai konflik ketidakpuasan. Ciri kelima, masyarakat merasakan pemilu sebagai beban yang harus ditanggung, bukan kegembiraan berbangsa, karena memengaruhi pergerakan ekonomi dan berbagai aspek kerja berbangsa.

Catatan kecil di atas, meski menunjukkan gejala sinisme, jenuh, dan apatisme masyarakat terhadap pemilu, 15 tahun pemilu pasca-Reformasi meneteskan tokoh-tokoh baru yang dihormati masyarakat di beberapa wilayah Indonesia, meski jumlahnya sangat kecil, merekalah ujung tombak politik sebagai pendidikan warga negara.


Agaknya lembaga-lembaga pemilu serta calon-calon pemimpin 2014 menghadapi momentum besar: kehancuran citra politik kembali seperti zaman Orba dengan kemasan baru atau lahirnya pemimpin baru yang membangun semangat hidup berbangsa. Agaknya, inilah tema pendidikan warga negara yang selayaknya menjadi tugas lembaga-lembaga Pemilu 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar