Senin, 11 November 2013

Film, Seni, Satu Rumah Dua Menteri

Film, Seni, Satu Rumah Dua Menteri
Embie C Noer ;  Penata Musik untuk Teater, Film dan Televisi
KOMPAS, 10 November 2013


Di Indonesia, film dan seni menempati kedudukan yang sangat penting. Ini dibuktikan dengan tata kelola film dan seni yang saat ini oleh pemerintah ditangani oleh dua kementerian, yaitu Kemendikbud dan Kemenparekraf. Mengapa film dan seni sampai berpoligami? Presiden sebagai pemegang wewenang tertinggi kabinet tentu memiliki alasan dasar dan penting sehingga memutuskan untuk memoligamikan film dan seni.

Sesungguhnya, adakah perbedaan yang penting dan mendasar sehingga film dan seni di tangan Dikbud dan Parekraf? Pasti ada, setidaknya secara awam hal itu dapat dikaitkan dengan fungsi dan tugas dari kedua kementerian tersebut. Dikbud berarti film dan seni dalam kaitannya dengan pendidikan dan budaya, sedangkan bagi Parekraf, film dan seni dikelola sebagai bagian dari potensi bidang pariwisata dan salah satu unsur dari ekonomi kreatif selain iklan, desain, fashion, film, dan IT.

Harus jujur dikatakan di sini bahwa memang sangat tidak mudah untuk melihat perbedaan wujud penerapannya. Terlebih lagi bukan rahasia umum bahwa antarkementerian dan lembaga pemerintah belum terbangun suatu sinergi yang kultural karena umumnya masih terganjal oleh apa yang disebut ”ego sektoral”; ini persoalan kebudayaan.

Masyarakat luas mungkin sudah mengetahui bahwa kini ada dua acara film tingkat nasional, yaitu FFI (Festival Film Indonesia) dan AFI (Apresiasi Film Indonesia). FFI didukung Parekraf sebagai ajang tahunan untuk memilih film nasional terbaik. AFI yang didukung Dikbud juga memilih karya film terbaik. Acuan keduanya sebagai lembaga pemerintah adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

Kondisi bioskop

Film sebagai salah satu seni pertunjukan kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Rendahnya mutu film nasional dapat dipastikan bukan disebabkan oleh rendahnya kemampuan teknis. Hal ini terbukti karya film kita pernah menembus di hampir seluruh ajang festival dunia. Penyakit kronis menahun perfilman nasional disebabkan kondisinya yang sangat miskin permodalan, khususnya permodalan infrastruktur dalam bentuk bioskop.

Bioskop sebagai tempat usaha adalah sarana pendukung bagi masyarakat untuk mengapresiasi film secara bersama. Bioskop adalah kunci utama kemajuan perfilman nasional secara sosial. Perfilman nasional saat ini nyaris tidak memiliki bioskop. Jumlah bioskop yang ada sangat minim, tidak normal jika diukur dari jumlah bioskop yang dibutuhkan.

Bioskop di daerah kondisinya paling parah, masyarakat dicekoki habis-habisan berbagai tontonan tanpa dibangun kesadarannya, mereka dijadikan penonton film yang kalah dan pasif serta kesepian. Dengan peralatan ala kadarnya dan film sesukanya, rakyat menjejali otaknya dengan film sampah. Sepintas menjamurnya kepemilikan home theatre di rumah-rumah dianggap sebagai solusi modern akan kelangkaan gedung bioskop, padahal tidak sesederhana itu. Menonton film di rumah sendirian menyebabkan potensi sosial dari upacara menonton hilang. Ritual kebersamaan yang tekun, ceria sekaligus hening, dan mendalam semakin langka. Film Indonesia sangat mendesak membutuhkan rumahnya sendiri agar dapat hidup normal sebagai wujud budaya. Dibutuhkan satu jenis bioskop baru yang bentuk dan fungsinya sesuai yang dibutuhkan oleh film dan seni Indonesia.

Penulis bersama Gunawan Paggaru—salah satu anak didik Teguh Karya—pada tahun 2008 membuat rancangan konsep sebuah model bioskop yang tepat untuk Indonesia. Bioskop yang memiliki multifungsi. Bioskop itu kita namai KFN; Kedai Film Nusantara. KFN adalah kedai modern karena memiliki fungsi; apresiasi, presentasi, produksi, eksibisi, dan rekreasi, didirikan di kota dan kabupaten secara berjaringan. Setelah berproses selama hampir empat tahun, KFN berkesempatan diuji coba didirikan di Kota Tanjungpinang, Kepri, di sebuah bengkel motor. Konsep KFN ternyata terbukti mendapat sambutan hangat dan hebat dari masyarakat. Informasi tentang hal ini dapat dilihat di status: https://www.facebook.com/GunawanPaggaru

KFN boleh dikatakan adalah rumah ideal bagi film dan seni untuk hidup belajar dan bekerja dalam satu rumah. Rumah yang sesuai untuk desa dan menantang di kota. Model bioskop seperti KFN dirancang tidak saja memiliki konsep ekonomi yang unik karena lokalitasnya, ramah, dan kreatif, tetapi bioskop model KFN sangat mungkin akan menjadi embrio kelahiran film dan seni Indonesia yang sesungguhnya. Film dan seni yang hidup serumah setara dan merata di seluruh nusantara berjaringan bergandengan tangan.

Adakah kemampuan untuk mewujudkannya? Dengan ditopang dua kementerian atau ditambah dengan beberapa kementerian lainnya, seperti BUMN dan Kementerian Koperasi dan UKM, tentulah bukan hal yang berat untuk memulai kerja besar dan strategis ini. Dikbud dan Parekraf. Selamat belajar dan bekerja seni dan film Indonesia! Sorotkan film Indonesia ke layar dunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar