Menyoal
Demonstrasi Dokter
Tulus Abadi ; Anggota Pengurus Harian YLKI
|
TEMPO.CO,
29 November 2013
Kalau kaum buruh turun ke jalan menuntut hak, bahkan
kadang disertai aksi yang cenderung anarkistis, itu sudah sering kita
dengar. Tapi kali ini yang turun ke jalan adalah kaum intelektual dengan
status sosial yang amat terhormat: dokter! Ribuan dokter di seluruh
Indonesia menggelar demonstrasi untuk memprotes putusan yang dianggapnya
tidak adil, yakni putusan Mahkamah Agung (MA) Register Perkara Nomor 356
K/Pid/2012 atas nama terdakwa Dr Ayu Sasiary Prawarni dkk. Putusan ini
diprotes keras oleh kalangan profesi kedokteran karena putusan tersebut
telah mengkriminalkan (kriminalisasi) dokter.
Siapa pun punya hak untuk mengekspresikan
pendapatnya di muka umum (freedom of speech) karena hal itu dijamin
undang-undang, bahkan konstitusi. Tapi, jika hal itu dilakukan oleh profesi
kedokteran, akan lain ceritanya. Aksi "cuti bersama" para dokter-dengan
atribut yang disandangnya-seperti yang dilakukan pada 27 November lalu,
berpotensi menabrak berbagai ketentuan, bukan hanya moralitas tapi juga
norma hukum.
Tidak salah jika pihak kepolisian menyatakan
bahwa dokter yang melakukan aksi demonstrasi bisa dipidana. Walau
dijanjikan tidak akan mengganggu pelayanan kesehatan (menelantarkan pasien
dan atau calon pasien), faktanya aksi tersebut menyebabkan banyak rumah
sakit/puskesmas kelimpungan karena tidak mampu melayani pasien/calon pasien
secara optimal. Dengan demikian, potensi pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh dokter mogok sangatlah nyata. Melanggar UU Kesehatan, UU Praktek
Kedokteran, UU tentang Kerumahsakitan, UU Pelayanan Publik, dan UU
Perlindungan Konsumen!
Aksi mogok dokter jelas melanggar sumpah
profesi, baik pada konteks moralitas maupun norma hukum yang ada. Lihatlah
Sumpah Hipokrates yang secara tradisional dilakukan dokter tentang etika
yang harus mereka lakukan dalam menjalankan praktek profesinya. Sumpah
Hipokrates ini sudah disempurnakan dalam Konvensi Jenewa 1948. Dari sisi
normatif, aksi mogok dokter juga melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
26 Tahun 1960 tentang Sumpah Dokter. Dalam PP tersebut tegas disebutkan
bahwa seorang dokter berjanji dan bersumpah untuk mendarmabaktikan
profesinya untuk melindungi dan menolong jiwa manusia sesuai dengan
kemampuannya.
Karena itu, profesi dokter idealnya
melakukan aksi yang lebih elegan, misalnya melakukan petisi bersama ke
lembaga-lembaga yang berkompeten. Toh putusan MA tidak akan berubah dengan
aksi demo tersebut. Namun masih terbuka peluang untuk menganulir Putusan MA
tersebut dengan mengajukan peninjauan kembali (PK). Proses PK inilah yang
mesti diadvokasi/dikawal secara lebih masif agar putusan MA yang
mengkriminalkan dokter bisa dianulir. Percayalah bahwa siapa pun yang
menjalankan perintah UU tidak bisa dipidana (Pasal 50 KUHP). Dokter
mengobati pasien jelas dalam rangka menjalankan perintah UU. Jika aksi
ekstra-parlementer itu tetap dilanjutkan, apa bedanya profesi kedokteran
dengan kaum buruh yang notabene blue
worker? Alih-alih para dokter malah diindekoskan di hotel prodeo. Runyam, kan? ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar