Judul di atas mengingatkan kita akan lagu penyanyi
dangdut Elvie Sukaesih. Dan relevan dengan heboh penyadapan Australia
terhadap percakapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Penyadapan bukanlah barang baru. Zaman dulu
terkenal istilah "tembok bisa mendengar". Begitulah yang terjadi
pada masa negara otoriter atau di bawah kekuasaan militer, sehingga
suara-suara kritis, senyap. Itulah cara pembungkaman yang pernah terjadi di
bawah rezim Soeharto. Dalam senyap itulah berkembang pers bawah tanah, bisa
berupa cetak tanpa izin, radio, atau televisi dengan frekuensi liar.
Istilah "tembok bisa mendengar"
juga berlaku di dalam penjara, sehingga tak banyak narapidana bicara
macam-macam. Karena omongan yang sampai ke telinga sipir, bisa berakibat
hukuman, bisa berupa pengasingan, atau kesulitan berbagai urusan. Tak salah
jika tahanan politik pun senyap saat mendekam dalam penjara.
Dalam politik, kriminalitas curi dengar itu
disebut penyadapan. Apa pun cara dan teknologinya, itu cuma perbuatan
primitif. Mulanya dari pengakuan informan lalu melaporkan kepada pihak yang
ingin melakukan tindakan. Lalu penyadapan lewat telepon biasa. Pernah,
polisi menggunakan pembicaraan atau pesan dalam pager sebagai barang bukti
dalam sidang peradilan.
Perkembangan selanjutnya, dalam kasus
Nazaruddin atau Metta Dharmasaputra (lihat buku Saksi Mata), pesan pendek
dalam BlackBerry atau telepon seluler menjadi alat bukti dan pengembangan
kasus. Yang paling heboh, saat penyadapan Anggodo yang disiarkan secara
luas di depan sidang di Mahkamah Konstitusi. Bahkan hal itu berakibat
menyeret sejumlah orang ke pengadilan, seperti pejabat polisi Susno Duaji,
serta berdampak dipecatnya dua komisioner LPSK.
Dalam film-film spionase, sadap-menyadap
adalah hal biasa, antar-individu, lembaga, atau negara. Namun banyak negara
berang saat Julian Assange menyebarkan bocoran sadapan lewat WikiLeaks.
Seperti Assange, hal yang sama terjadi pada Edward Snowden, ahli komputer
bekas pegawai intelijen Amerika (CIA) yang kini diburu pemerintah Amerika
Serikat.
Penyadapan kini menjadi heboh, lantaran SBY
tersinggung. Padahal yang disadap bukanlah barang baru, percakapan pada
2009. Pastinya, penyadapan tidak hanya dilakukan Australia, tapi juga
negara-negara lain yang melihat Indonesia sebagai negara strategis dan
berpotensi menjadi ancaman. Mereka adalah Amerika Serikat, Singapura, dan
Malaysia.
Namun penyadapan oleh Australia itu
dijadikan alat untuk membangkitkan sentimen kebangsaan. Bahkan lewat
kelompok yang selama ini terkenal intoleran. Apalagi diketahui Australia
merupakan penyokong utama dana anti-terorisme. Teganya SBY, yang
kekuasaannya tinggal beberapa bulan lagi, memanfaatkan isu ini.
Memang ada pelanggaran etika dalam
diplomatik. Tapi bukankah lebih penting berbuat untuk memberantas
kemiskinan, korupsi, atau mengurusi pendidikan dan kesehatan ketimbang
mengurusi ketersinggungan pribadi? Kalaupun ada yang disadap dari SBY,
nyatanya kini terbongkar berbagai korupsi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Terutama yang berhubungan dengan Australia: korupsi impor sapi dan
dana terorisme (lihat tayangan dateline di TV Australia, karya David O'shea,
Inside Indonesia War and Teror).
Semoga penyadapan ini bukan sekadar
bisik-bisik tetangga dan cuma jadi desas-desus; bisa menjadi sesuatu yang
berguna, jika jelas masalah yang disadap. Nah, tugas jurnalismelah untuk
membuatnya menjadi terang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar