Rabu, 06 November 2013

Menjaga Independensi KPU

Menjaga Independensi KPU
M Faishal Aminuddin   Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya;
Kandidat Doktor Ilmu Politik di Universität Heidelberg, Jerman
KOMPAS, 06 November 2013


POLEMIK yang muncul terhadap kerja sama antara Komisi Pemilihan Umum dan Lembaga Sandi Negara mengerucut pada perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR.

Melalui Menko Polhukam, pemerintah bersikukuh keterlibatan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) demi keamanan data pemilu. Sebaliknya, DPR melihat Lemsaneg sebagai intervensi pemerintah terhadap kinerja KPU. Apakah ada persoalan terkait dengan keamanan data hasil pemilu? Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebelum menawarkan solusi untuk melibatkan lembaga lain dalam membantu KPU. 

Apalagi Lemsaneg, memang mengundang tanda tanya besar. Lembaga ini menjalankan tugas pemerintah dalam bidang persandian. Sebagian besar pejabatnya adalah militer. Tentu lumrah jika diindikasi rawan terjadi penyalahgunaan oleh pihak yang saat ini berkuasa.

Pada Pemilu 2004, upaya pencegahan terhadap sabotase hasil suara dilakukan dengan memperkuat sistem teknologi informasi. Terutama dari serangan hacker yang berpotensi mengubah angka di pangkalan data. Lalu sistem pengiriman data manual secara bertahap sesuai UU Pemilu No 12 Tahun 2003. Dalam Pemilu 2009 juga tak muncul kasus sabotase suara atau yang menunjukkan kisruh hasil suara pemilu. Menilik pengalaman penyelenggaraan pemilu sebelumnya, alasan kerja sama antara KPU dan Lemsaneg kurang begitu signifikan. Jika ingin menjadikan kinerja KPU lebih baik, bisa dilakukan dengan menggandeng lembaga lain dalam bidang-bidang yang selama ini dirasakan kurang. Misalnya dengan BPS untuk menyediakan basis data pemilih yang terverifikasi.

Lalu dengan BPPT untuk penyediaan perangkat teknologi informasi yang mencukupi jaminan keamanannya. Atau dengan perguruan tinggi yang punya latar belakang keilmuan matematika kuat seperti ITB. Hal ini penting untuk mengalkulasi perolehan suara dan konversinya ke kursi.

Independensi dan kooptasi

Posisi KPU saat ini sebagai penyelenggara pemilu sangat perlu dukungan untuk memperkuat independensinya. Sebagai lembaga publik yang dibiayai negara, pertanggungjawaban KPU yang paling tinggi adalah memegang netralitas. Sekalipun dalam komposisi pengangkatan komisionernya, kedekatan dengan parpol tidak dapat disangkal. Hal tersebut disebabkan penunjukan mereka dilakukan DPR. 

Kendati memiliki kedekatan, kontrol terhadap kinerja KPU bisa dilakukan sejumlah pihak. Saat ini, sejumlah lembaga masyarakat yang memberi perhatian kepada pelaksanaan pemilu juga sudah mulai menunjukkan kualitas pemahaman yang baik. Ini bisa meminimalkan kecenderungan partisan KPU pada salah satu peserta pemilu atau bahkan pemerintahan yang berkuasa.

Persoalan yang agak mengganggu independensi KPU justru terletak pada upaya kooptasi yang disebabkan oleh tumpang tindih kewenangan. Sebagaimana dengan dibentuknya DKPP yang bertujuan menyelesaikan berbagai perkara yang ditimbulkan oleh keputusan KPU. Jelas hal ini berpeluang menggerogoti fungsi dan ketegasan produk regulasi dari KPU sebagai penyelenggara yang harus memberikan kepastian pada setiap peserta pemilu. Belum lagi Bawaslu sebagai lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu sebagai ganti dari minimnya partisipasi pengawasan masyarakat secara intensif pada proses penyelenggaraan pemilu. Dalam banyak hal, Bawaslu menunjukkan dirinya justru sebagai lembaga pengawas kinerja KPU dan melakukan berbagai kritik yang kurang proporsional.

Kebutuhan ke depan

Saya mencatat tiga hal penting untuk membantu kinerja KPU agar lebih maksimal dan mengurangi kendala teknis yang terjadi. Pelaksanaannya melibatkan sejumlah lembaga pemerintah dengan tujuan mengurangi beban anggaran. Artinya, lembaga yang baru bisa mengambil alokasi dana dari pos anggarannya masing-masing dan tidak membebankannya pada anggaran KPU yang sudah terlalu besar menyedot dana APBN itu.

Pertama, verifikasi data pemilih. Sementara ini, peranan BPS hanya sebagai penyedia data penduduk, yang termasuk dalam klasifikasi pemilih. Data kemudian diserahkan kepada Kemendagri dan diserahkan dalam bentuk DP4 kepada KPU yang akan melakukan pemutakhiran data sampai menjadi DPT. 

Sebenarnya, BPS bisa berperan lebih aktif lagi sebagai penyedia data pemilih yang terverifikasi. KPU hanya menerima data itu dari BPS tanpa melalui Kemendagri. Fungsi Kemendagri sebatas koordinasi untuk memastikan tahapan pemilu bisa berjalan sesuai jadwal.

Kedua, modernisasi teknik pemilihan. Dalam hal ini, BPPT perlu menyediakan perangkat modernisasi tersebut. Mulai dari teknik pemilihan di dalam bilik suara yang bisa menggunakan teknologi yang lebih maju dan memastikan tahapan penghitungan suara bisa dilakukan secara cepat dan tepat. Hasil pemilu yang akurat juga bisa diketahui lebih cepat daripada saat ini. BPPT punya SDM cukup untuk melakukan ini. Tinggal bagaimana pemerintah bisa memberikan kepercayaan ke mereka.

Ketiga, metode konversi suara menjadi kursi. Hal ini sering kali memunculkan sengketa politik karena selisih perolehan suara dengan jumlah perolehan kursi dianggap bermasalah. Akar masalah ada pada norma yang diatur dalam UU Pemilu yang tak memberikan definisi yang jelas dan konsisten mengenai bagaimana sistem penghitungan suara dilakukan dan formula matematika yang mengonversi suara menjadi kursi. Perlu pakar matematika dari universitas atau institut yang akan bertugas membuat peranti penghitungan standar dan melakukan ricek sekaligus.

Di luar perkara teknis yang menjadi kendala bagi kerja KPU, persoalan eksternal yang perlu diperjelas posisinya adalah peran DKPP dan Bawaslu. DKPP, jika masih diperlukan, tidak bisa membuat keputusan yang bernilai eksekusi dan mengalahkan keputusan KPU. Lembaga itu hanya memberikan rekomendasi adanya pelanggaran etika untuk proses hukum lebih lanjut oleh aparat penegak hukum. Adapun 
Bawaslu, lebih pada pengawasan penyelenggaraan pemilu dan memberikan rekomendasi atau temuannya kepada pihak yang memberi mandat pada pekerjaannya.

Untuk kontrol dari lembaga-lembaga atau prakarsa masyarakat, sudah baik. Lembaga seperti Perludem, Formappi, KIPP, dan sejenisnya sudah melakukan kontrol secara proporsional. Masukan-masukan mereka harus dapat perhatian serius dari penyelenggara pemilu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar