|
POLEMIK yang muncul terhadap kerja sama antara Komisi
Pemilihan Umum dan Lembaga Sandi Negara mengerucut pada perbedaan pendapat
antara pemerintah dan DPR.
Melalui Menko Polhukam, pemerintah bersikukuh keterlibatan
Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) demi keamanan data pemilu. Sebaliknya, DPR
melihat Lemsaneg sebagai intervensi pemerintah terhadap kinerja KPU. Apakah ada
persoalan terkait dengan keamanan data hasil pemilu? Pertanyaan ini penting
untuk dijawab sebelum menawarkan solusi untuk melibatkan lembaga lain dalam
membantu KPU.
Apalagi Lemsaneg, memang mengundang tanda tanya besar. Lembaga
ini menjalankan tugas pemerintah dalam bidang persandian. Sebagian besar
pejabatnya adalah militer. Tentu lumrah jika diindikasi rawan terjadi
penyalahgunaan oleh pihak yang saat ini berkuasa.
Pada Pemilu 2004, upaya pencegahan terhadap sabotase hasil
suara dilakukan dengan memperkuat sistem teknologi informasi. Terutama dari
serangan hacker yang berpotensi mengubah angka di pangkalan data.
Lalu sistem pengiriman data manual secara bertahap sesuai UU Pemilu No 12 Tahun
2003. Dalam Pemilu 2009 juga tak muncul kasus sabotase suara atau yang
menunjukkan kisruh hasil suara pemilu. Menilik pengalaman penyelenggaraan
pemilu sebelumnya, alasan kerja sama antara KPU dan Lemsaneg kurang begitu
signifikan. Jika ingin menjadikan kinerja KPU lebih baik, bisa dilakukan dengan
menggandeng lembaga lain dalam bidang-bidang yang selama ini dirasakan kurang.
Misalnya dengan BPS untuk menyediakan basis data pemilih yang terverifikasi.
Lalu dengan BPPT untuk penyediaan perangkat teknologi
informasi yang mencukupi jaminan keamanannya. Atau dengan perguruan tinggi yang
punya latar belakang keilmuan matematika kuat seperti ITB. Hal ini penting
untuk mengalkulasi perolehan suara dan konversinya ke kursi.
Independensi dan kooptasi
Posisi KPU saat ini sebagai penyelenggara pemilu sangat perlu
dukungan untuk memperkuat independensinya. Sebagai lembaga publik yang dibiayai
negara, pertanggungjawaban KPU yang paling tinggi adalah memegang netralitas.
Sekalipun dalam komposisi pengangkatan komisionernya, kedekatan dengan parpol
tidak dapat disangkal. Hal tersebut disebabkan penunjukan mereka dilakukan DPR.
Kendati memiliki kedekatan, kontrol terhadap kinerja KPU bisa dilakukan
sejumlah pihak. Saat ini, sejumlah lembaga masyarakat yang memberi perhatian
kepada pelaksanaan pemilu juga sudah mulai menunjukkan kualitas pemahaman yang
baik. Ini bisa meminimalkan kecenderungan partisan KPU pada salah satu peserta
pemilu atau bahkan pemerintahan yang berkuasa.
Persoalan yang agak mengganggu independensi KPU justru
terletak pada upaya kooptasi yang disebabkan oleh tumpang tindih kewenangan.
Sebagaimana dengan dibentuknya DKPP yang bertujuan menyelesaikan berbagai
perkara yang ditimbulkan oleh keputusan KPU. Jelas hal ini berpeluang
menggerogoti fungsi dan ketegasan produk regulasi dari KPU sebagai
penyelenggara yang harus memberikan kepastian pada setiap peserta pemilu. Belum
lagi Bawaslu sebagai lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan pemilu sebagai ganti dari minimnya partisipasi pengawasan
masyarakat secara intensif pada proses penyelenggaraan pemilu. Dalam banyak
hal, Bawaslu menunjukkan dirinya justru sebagai lembaga pengawas kinerja KPU
dan melakukan berbagai kritik yang kurang proporsional.
Kebutuhan
ke depan
Saya mencatat tiga hal penting untuk membantu kinerja KPU
agar lebih maksimal dan mengurangi kendala teknis yang terjadi. Pelaksanaannya
melibatkan sejumlah lembaga pemerintah dengan tujuan mengurangi beban anggaran.
Artinya, lembaga yang baru bisa mengambil alokasi dana dari pos anggarannya
masing-masing dan tidak membebankannya pada anggaran KPU yang sudah terlalu
besar menyedot dana APBN itu.
Pertama, verifikasi data pemilih. Sementara ini, peranan BPS
hanya sebagai penyedia data penduduk, yang termasuk dalam klasifikasi pemilih.
Data kemudian diserahkan kepada Kemendagri dan diserahkan dalam bentuk DP4
kepada KPU yang akan melakukan pemutakhiran data sampai menjadi DPT.
Sebenarnya, BPS bisa berperan lebih aktif lagi sebagai penyedia data pemilih
yang terverifikasi. KPU hanya menerima data itu dari BPS tanpa melalui
Kemendagri. Fungsi Kemendagri sebatas koordinasi untuk memastikan tahapan
pemilu bisa berjalan sesuai jadwal.
Kedua, modernisasi teknik pemilihan. Dalam hal ini, BPPT
perlu menyediakan perangkat modernisasi tersebut. Mulai dari teknik pemilihan
di dalam bilik suara yang bisa menggunakan teknologi yang lebih maju dan memastikan
tahapan penghitungan suara bisa dilakukan secara cepat dan tepat. Hasil pemilu
yang akurat juga bisa diketahui lebih cepat daripada saat ini. BPPT punya SDM
cukup untuk melakukan ini. Tinggal bagaimana pemerintah bisa memberikan
kepercayaan ke mereka.
Ketiga, metode konversi suara menjadi kursi. Hal ini sering
kali memunculkan sengketa politik karena selisih perolehan suara dengan jumlah
perolehan kursi dianggap bermasalah. Akar masalah ada pada norma yang diatur
dalam UU Pemilu yang tak memberikan definisi yang jelas dan konsisten mengenai
bagaimana sistem penghitungan suara dilakukan dan formula matematika yang
mengonversi suara menjadi kursi. Perlu pakar matematika dari universitas atau
institut yang akan bertugas membuat peranti penghitungan standar dan melakukan
ricek sekaligus.
Di luar perkara teknis yang menjadi kendala bagi kerja KPU,
persoalan eksternal yang perlu diperjelas posisinya adalah peran DKPP dan
Bawaslu. DKPP, jika masih diperlukan, tidak bisa membuat keputusan yang
bernilai eksekusi dan mengalahkan keputusan KPU. Lembaga itu hanya memberikan
rekomendasi adanya pelanggaran etika untuk proses hukum lebih lanjut oleh
aparat penegak hukum. Adapun
Bawaslu, lebih pada pengawasan penyelenggaraan
pemilu dan memberikan rekomendasi atau temuannya kepada pihak yang memberi
mandat pada pekerjaannya.
Untuk kontrol dari lembaga-lembaga atau prakarsa masyarakat,
sudah baik. Lembaga seperti Perludem, Formappi, KIPP, dan sejenisnya sudah
melakukan kontrol secara proporsional. Masukan-masukan mereka harus dapat
perhatian serius dari penyelenggara pemilu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar