Setelah pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), potret
guru di Jawa Tengah sangat jauh berbeda dari sebelumnya.
Sebelumnya, profesi guru dianggap belum membanggakan. Dengan
penghasilan relatif kecil, profesi itu menjadi pilihan terakhir.
Di
satu sisi, mahasiswa lembaga pendiadik tenaga kependidikan (LPTK) rata-rata
bukan siswa terbaik di SMA/SMK. Setelah tak diterima di perguruan tinggi
pilihan utama, barulah mereka mendaftar di LPTK. Tak jarang tamatan
perguruan tinggi favorit yang tak terserap lapangan kerja yang diinginkan,
memilih jadi guru lewat program akta mengajar.
Namun
setelah pemberlakuan UUGD, profesi guru mengalami perubahan. Tingkat
kesejahteraan mulai membaik, seiring diberikannya tunjangan profesi sebesar
satu kali gaji. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen menjadi tonggak
bersejarah kebangkitan profesi guru. Minat menjadi pendidik pun meningkat
signifikan.
Perguruan
tinggi yang membuka prodi pendidikan guru kewalahan menampung animo tamatan
SMA/SMK. Mereka mulai diminati siswa dengan kualifikasi baik. Ini menjadi
investasi berharga bagi dunia pendidikan pada masa mendatang. Diakui atau
tidak, peran PGRI dalam mengubah nasib guru, termasuk di Jateng, menjadi
catatan sejarah.
Perjuangan
organisasi profesi itu mendorong kelahiran UUGD, membuktikan keseriusannya
mengubah nasib guru. Namun, harus diingat regulasi itu tak hanya bicara
soal kesejahteraan. Ia juga meminta guru untuk bekerja profesional, bahkan
mengamatkan menguasai empat kompetensi, yakni pedagogik, profesional,
sosial, dan kepribadian.
Dewasa
ini tantangan guru makin berat, harus tanggap akselerasi iptek. Untuk
menguasai iptek, mereka perlu mengoptimalkan kebiasaan membaca dan menulis.
PGRI di Jateng harus bisa menyediakan wadah bagi guru untuk menuangkan
gagasan/pikiran dalam bentuk tulisan.
Tulisan yang baik umumnya dipengaruhi referensi, dan organisasi profesi
seharusnya memberikan solusi atas kebingungan guru memilih buku
referensi. Dengan demikian, karya guru selalu didukung sumber kredibel. Hal
itu sekaligus mengeliminasi kegalauan guru menghadapi penilaian kinerja
guru (PKG) dan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB).
Banyak Membaca
Tantangan
berat lain adalah perkembangan informasi dan teknologi. Pe-ngembangan
keprofesian berkelanjutan dalam wujud publikasi ilmiah menuntut guru
membaca banyak buku referensi. Untuk itu, guru di Jateng harus memotivasi
diri, rela menggunakan sebagian tunjangan profesi guna meningkatkan
kompetensi.
Rutin
membeli buku, memperbarui komputer di rumah/laptop jadi kebutuhan wajib.
Guru juga jangan pelit menyisihkan sebagian tunjangan profesi untuk
mengaktifkan kelompok kerja guru, musyawarah guru mata pelajaran, dan focus
group discussion (FGD). Forum itu jadi alat ampuh mengidentifikasi dan
mencari solusi persoalan dalam proses belajar mengajar. Pada sisi
lain harus diakui belum semua amanat UUGD dipenuhi oleh pemerintah.
Tugas
PGRI mendorong pemerintah segera merealisasi hal-hal yang diamanatkan oleh
regulasi tersebut. Mulai dari persoalan tunjangan profesi, pembinaan karier
dan pengembangan profesi guru, serta perlindungan hukum bagi guru.
Pemerintah sudah membayarkan tunjangan profesi kepada guru yang sudah
bersertifikat.
Guru
yang belum bersertifikat pun mendapat tunjangan perbaikan
penghasilan. Namun, tunjangan itu diberikan tiap 3 bulan, itu pun
guru harus melengkapi berkas administrasi terkait proses pencairan. Yang
tak kalah penting, pemerintah jangan melalaikan kewajiban melindungi guru.
Metode guru dalam memberikan materi, cara menghukum siswa,
kadang dianggap melakukan kekerasan. Bila pemerintah, masyarakat, dan PGRI
bisa bersinergi dengan baik maka guru yang sejahtera, profesional,
bermartabat, dan terlindungi, bisa segera terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar