"Tepat, memanfaatkan FFI 2013 sebagai tonggak kemunculan
eksistensi Jateng sebagai kekuatan perfilman"
FESTIVAL
Film Indonesia (FFI) 2013 yang puncak acaranyanya digelar di Semarang pada
Desember mendatang, mengusung beban berat. Beban berat itu yakni menjadikan
kegiatan itu sebagai ajang komunikasi yang baik antara film-film Indonesia
dan masyarakat penonton. Yang terpenting, kegiatan itu harus memberikan
gaung kuat.
Capaian
itu supaya kota Semarang jangan hanya menjadi tempat pergelaran orang film
dan Jateng hanya menjadi pasar bagi film-film Indonesia. Publik justru
berharap festival tersebut bisa membawa masyarakat Jateng menjadi pelaku
kegiatan perfilman Indonesia pada masa depan.
Kegiatan
terkait festival tersebut hendaknya didasari niat menjadikan Jawa Tengah
sebagai salah satu kawasan perfilman yang memiliki karakteristik khusus.
Modal dasar sudah tersedia, yaitu alam dan budayanya. Potensi komunitas
film di provinsi ini cukup menonjol di antara komunitas film daerah lain,
seperti DKI Jakarta, DIY, atau Bandung.
Film
pendek dan dokumenter kreasi siswa, mahasiswa, dan komunitas film dari
Purbalingga, Surakarta, Magelang, Pati, Jepara, dan Semarang menjadi
langganan pemenang festival film tingkat nasional. Jateng pun memiliki
perguruan tinggi seni dan perguruan tinggi umum yang memiliki kegiatan
perfilman. Ada 12 SMK jurusan broadcast, 12 SMK jurusan animasi, 184 SMK
jurusan multimedia. Selain itu, dukungan dari seniman dan budayawan.
Mengapa
harus film yang dikembangkan? Bukankah sudah ada televisi? Televisi memang
memiliki kekuatan sangat dahsyat sebagai media penyampai informasi. Tetapi
apakah televisi juga bisa berperan sebagai sarana pendidikan efektif?
Menonton televisi selalu berada pada situasi cair, sambil mengobrol,
santai, di ruang keluarga, bukan di ruang khusus.
Kemungkinan
akan adanya gangguan sangat besar, semisal anak menangis, teman datang,
istri minta duit, dan sebagainya. Padahal film, sinetron, FTV disiapkan
oleh pembuatnya supaya ditonton secara utuh. Tiap shoot disusun berdasarkan
konsep dan skenario rinci, satu shoot lewat kemungkinan terjadi hilangnya
makna atau situasi dramatik.
Menonton
film di bioskop berbeda. Penonton memang berniat menyaksikan dalam ruang
gelap, tak diganggu oleh situasi atau suara yang tidak diharapkan. Daya
penetrasi film yang diputar di bioskop sangat kuat dibanding film yang
diputar di televisi. Berarti film bioskop yang juga diputar di bioskop
memiliki peluang sebagai sarana pendidikan karakter hebat.
Film
sebagai wahana pendidikan karakter dimulai dari PAUD hingga perguruan
tinggi. Diawali pendidikan melek media dan kritis media, dilanjutkan
terampil media. Perlu ditekankan bahwa kegiatan membuat film bukanlah
bagian dari gengsi atau gagah-gagahan. Kegiatan itu adalah kesadaran bahwa
tiap langkah dalam kegiatan membuat film adalah proses pembelajaran tentang
nilai-nilai kemanusiaan.
Membentuk Karakter
Ketika
siswa terbiasa membuat film maka nilai-nilai tersebut akan merasuk sehingga
membentuk karakter. Diharapkan kegiatan membuat film bukan lagi sekadar
ekstrakurikuler melainkan pelajaran reguler atau bagian dari pelajaran
kesenian. Sejak 2009 hingga saat ini, penulis diminta menjadi juri festival
film pelajar/mahasiswa. Banyak bermunculan film peserta yang secara tema
mengejutkan, meskipun secara teknik dasar masih memiliki kekurangan. Banyak
tema yang tak pernah tersentuh atau terpikirkan oleh pembuat film
mainstream dari Jakarta. Tema-tema yang bisa membuat penonton terhenyak,
dan kerap membuat juri menangis terharu. Melalui lokakarya yang sistematis
bagi pelajar, mahasiswa, dan komunitas film, bibit-bibit unggul tersebut
bisa terasah menjadi kekuatan dahsyat sinema Indonesia masa depan.
Tahun 2012, tatkala menjadi
juri film bioskop FFI 2012, penulis merasa beruntung karena bisa mengamati
hampir seluruh film Indonesia produksi 2012. Dari 45 film peserta festival,
hanya 10 film yang secara tema, bentuk, dan gaya, bisa digolongkan sebagai
film ’’buruk’’. Selebihnya film-film yang santun, memberikan inspirasi,
keteladanan, motivasi, dan pencerahan.
Tetapi
sayang, film-film tersebut tidak sampai ke masyarakat penonton yang justru
membutuhkan, yaitu masyarakat menengah ke bawah. Film tersebut hanya sempat
diputar 1-2 hari pada jaringan Bioskop 21, setelah itu menghilang karena
tidak ada bioskop second run. Kalau bisa dikembangkan sebuah jaringan
bioskop di kota-kota kecil dan kota kabupaten maka film-film yang bisa
digolongkan film-film santun tersebut bisa memberikan manfaat besar bagi
masyarakat. Secara teknologi bioskop jenis ini bisa diwujudkan. Produksi
dan ekshibisi film di negeri ini didominasi oleh sudut pandang yang
’’sangat Jakarta’’, dengan beberapa pengecualian. Adalah momentum sangat
tepat apabila FFI 2013 di Semarang digunakan sebagai tonggak kemunculan
eksistensi Jateng sebagai salah satu kekuatan perfilman di negeri ini.
Kalau
insan film di Jakarta didominasi sudut pandang yang ’’sangat Jakarta’’ maka
insan film Jateng seyogianya menggunakan sudut pandang dan sikap kekaryaan
yang lain. Alangkah indahnya kalau Jateng menjadi kawasan sinema berbasis
pendidikan karakter, ekonomi kerakyatan, dan profesionalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar