Sabtu, 23 November 2013

Macapat dan Identitas

Macapat dan Identitas
Achmad Fauzi  ;   Aktivis Multikulturalisme
TEMPO.CO,  22 November 2013



Macapat tengah mengalami lesu darah. Sebagai salah satu kesenian tembang kekayaan tradisional, gairahnya terkubur arus modernisasi. Anak muda dengan fondasi karakter budaya lokal yang rapuh tak lagi berminat mewarisi estafet "kesakralan" budaya yang notabene muncul sebelum datangnya Islam ini. Padahal tembang berbahasa Jawa ini banyak mengandung pesan filosofi kearifan lokal yang penting diresapi dalam setiap metrumnya. Khususnya oleh pejabat publik dalam bertutur dan melayani rakyatnya. Misalnya, metrum pangkur yang berasal dari kata "mungkur" (mundur), yang berarti mengendurkan gejolak hawa nafsu. Pangkur dilambangkan manusia renta dengan sifat kebijaksanaan, keteladanan, dan tutur santun.

Saat ini pejabat publik tengah teperdaya oleh nafsu serakah. Semangat untuk korupsi tak pernah padam meski hukum siap menjerat. Kemaruk di kalangan elite ini seharusnya bisa dikendalikan, jika mereka menyadari bahwa hidup di dunia hanyalah persinggahan sementara untuk melengkapi bekal di akhirat. Tumpukan harta dan kemilau jabatan apalah artinya jika tak bisa dibawa ketika manusia berubah menjadi sebujur bangkai. Hanya nama harum yang menjadi kenangan sejarah di dunia dan amal yang diperhitungkan di akhirat. Betapa kayanya nilai filosofis yang tersimpan dalam khazanah macapat. Macapat dalam perkembangannya menjadi instrumen kebudayaan dalam melakukan kritik dan perlawanan, khususnya kepada penguasa.

Seharusnya filosofi macapat ini digunakan para elite dalam mengurus negara. Sejak Indonesia dilahirkan oleh para bapak bangsa, stigma negeri salah urus harus diperangi dengan mengembangkan dan mengelola jagat kekayaan untuk kemakmuran bersama. Jangan sampai bumi, air, dan kekayaan alam hanya dikuasai oleh oligarki politik yang serakah.

Itulah alasan kesenian macapat harus dilestarikan. Supaya jembatan budaya macapat yang menghubungkan generasi tua kepada generasi muda tidak terputus. Dunia tanpa batas dan perkembangan teknologi yang semakin pesat kerap membuat kepedulian anak muda terhadap kebudayaan macapat berkurang. Mereka mulai kesulitan mengenal akar budayanya sendiri.

Tradisi, tarian, serta musik daerah yang notabene menjadi sumber pembentuk identitas bangsa semakin asing. Realita ini sangat berpengaruh bagi tatanan kehidupan dan pembentukan kebudayaan secara keseluruhan. Tanpa peran anak muda, masa depan budaya macapat menjadi suram. Karena itu, jangan sampai anak muda teperdaya oleh pengaruh budaya luar yang sering kali meruntuhkan seluruh budaya lokal yang ada.

Sekolah dan masyarakat harus menjadi lokomotif untuk mengenalkan kembali macapat kepada generasi muda. Di beberapa kota, seperti Surabaya, Semarang, dan kota besar lainnya, ada beberapa institusi pendidikan yang sudah lama memasukkan pengenalan budaya bangsa sebagai agenda pembelajaran. Jangan heran jika di Surabaya ada murid asing yang pandai menabuh gamelan, menari reog, dan bermain ketoprak bersama siswa Indonesia. Kepedulian sektor pendidikan di tengah rendahnya penghargaan terhadap budaya lain tentu menjadi elan vital bagi keutuhan bangsa dan pertaruhan martabat Indonesia di mata bangsa lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar