Macapat dan Identitas
Achmad Fauzi ; Aktivis Multikulturalisme
|
TEMPO.CO, 22 November 2013
Macapat tengah mengalami lesu darah. Sebagai salah satu
kesenian tembang kekayaan tradisional, gairahnya terkubur arus modernisasi.
Anak muda dengan fondasi karakter budaya lokal yang rapuh tak lagi berminat
mewarisi estafet "kesakralan" budaya yang notabene muncul sebelum
datangnya Islam ini. Padahal tembang berbahasa Jawa ini banyak mengandung
pesan filosofi kearifan lokal yang penting diresapi dalam setiap metrumnya.
Khususnya oleh pejabat publik dalam bertutur dan melayani rakyatnya.
Misalnya, metrum pangkur yang berasal dari kata "mungkur"
(mundur), yang berarti mengendurkan gejolak hawa nafsu. Pangkur
dilambangkan manusia renta dengan sifat kebijaksanaan, keteladanan, dan
tutur santun.
Saat ini pejabat publik tengah teperdaya
oleh nafsu serakah. Semangat untuk korupsi tak pernah padam meski hukum
siap menjerat. Kemaruk di kalangan elite ini seharusnya bisa dikendalikan,
jika mereka menyadari bahwa hidup di dunia hanyalah persinggahan sementara
untuk melengkapi bekal di akhirat. Tumpukan harta dan kemilau jabatan
apalah artinya jika tak bisa dibawa ketika manusia berubah menjadi sebujur
bangkai. Hanya nama harum yang menjadi kenangan sejarah di dunia dan amal
yang diperhitungkan di akhirat. Betapa kayanya nilai filosofis yang
tersimpan dalam khazanah macapat. Macapat dalam perkembangannya menjadi
instrumen kebudayaan dalam melakukan kritik dan perlawanan, khususnya
kepada penguasa.
Seharusnya filosofi macapat ini digunakan
para elite dalam mengurus negara. Sejak Indonesia dilahirkan oleh para
bapak bangsa, stigma negeri salah urus harus diperangi dengan mengembangkan
dan mengelola jagat kekayaan untuk kemakmuran bersama. Jangan sampai bumi,
air, dan kekayaan alam hanya dikuasai oleh oligarki politik yang serakah.
Itulah alasan kesenian macapat harus
dilestarikan. Supaya jembatan budaya macapat yang menghubungkan generasi
tua kepada generasi muda tidak terputus. Dunia tanpa batas dan perkembangan
teknologi yang semakin pesat kerap membuat kepedulian anak muda terhadap
kebudayaan macapat berkurang. Mereka mulai kesulitan mengenal akar
budayanya sendiri.
Tradisi, tarian, serta musik daerah yang
notabene menjadi sumber pembentuk identitas bangsa semakin asing. Realita
ini sangat berpengaruh bagi tatanan kehidupan dan pembentukan kebudayaan
secara keseluruhan. Tanpa peran anak muda, masa depan budaya macapat
menjadi suram. Karena itu, jangan sampai anak muda teperdaya oleh pengaruh
budaya luar yang sering kali meruntuhkan seluruh budaya lokal yang ada.
Sekolah dan masyarakat harus menjadi
lokomotif untuk mengenalkan kembali macapat kepada generasi muda. Di
beberapa kota, seperti Surabaya, Semarang, dan kota besar lainnya, ada
beberapa institusi pendidikan yang sudah lama memasukkan pengenalan budaya
bangsa sebagai agenda pembelajaran. Jangan heran jika di Surabaya ada murid
asing yang pandai menabuh gamelan, menari reog, dan bermain ketoprak
bersama siswa Indonesia. Kepedulian sektor pendidikan di tengah rendahnya
penghargaan terhadap budaya lain tentu menjadi elan vital bagi keutuhan
bangsa dan pertaruhan martabat Indonesia di mata bangsa lain. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar