|
“DALAM perkara uang,
semua orang mempunyai agama yang sama.“ (Voltaire)
UNGKAPAN filsuf tersebut kiranya
menyiratkan betapa korupsi tak lagi mengenal batas, mulai politisi, pegawai
negeri (birokrasi), hakim, advokat, jaksa, polisi, hingga pengusaha yang
berkelindan dalam kubangan busuk bernama korupsi. Belakangan ada lagi pegawai
negeri yang ditangkap karena diduga menerima suap dari pengusaha, yakni Heru
Sulastiyono (HS), Kasubdit EksporImpor Bea Cukai Tipe A Tanjung Priok, Jakarta
Utara.
Ia diduga menerima suap yang
disamarkan dalam bentuk polis asuransi senilai Rp11, 4 miliar. Suap itu
diberikan atas jasanya memberikan konsultasi bagi penghindaran pajak
perusahaan. Di samping itu, dalam laporan PPATK ditemukan juga transaksi
mencurigakan (suspicious transaction)
dalam rekeningnya hingga Rp60 miliar (Editorial
MI, 31/10).
Mungkin masih berbekas di memori
publik tentang Bahasyim Assifie, bekas pejabat di Direktorat Jenderal Pajak
(DJP), Gayus Tambunan, bekas pegawai DJP golongan III A, dan Dhana Widyatmika,
bekas pegawai Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Ketiganya menjadi contoh
paling kongkret tentang birokrat yang dijerat atas tuduhan pidana pencucian
uang (money laundering) dan tindak pidana korupsi.
Kasus HS menjadi pelajaran
berikutnya bagi para birokrat yang menumpuk dana haram dari aktivitas mereka
sebagai pegawai negeri. Jika diselisik lebih dalam, keempat pegawai negeri itu
berasal dari satu institusi yang sama, yaitu Kementerian Keuangan.
Suap-menyuap
Kementerian Keuangan menjadi salah
satu lembaga yang menjadi percontohan bagi pelaksanaan reformasi birokrasi di
jajaran pemerintahan. Dua direktorat, yaitu DJP dan Ditjen Bea dan Cukai
(DJBC), yang bernaung di bawah kementerian itu menjadi pelopornya.
Tonggak reformasi birokrasi yang
dimulai sejak 2006 seketika rontok akibat perilaku korup para pegawainya. Jika
diperbandingkan, nilai korupsi dan pencucian uang dari kasus itu menyaingi atau
bahkan melebihi kasus-kasus korupsi yang dilakukan para politikus.
Korupsi oleh birokrasi sebetulnya
merupakan jenis korupsi yang sangat tradisional, misalnya, dalam hal pelayanan
publik di kantor pemerintahan yang terendah (desa/kelurahan). Hampir tak bisa
dimungkiri, pungutan tidak sah sering kali mewarnai dalam setiap aktivitas
pelayanan publik. Motifnya bisa dalam bentuk apa pun, bahkan ada yang menyebutnya
sebagai sebuah kebiasaan.
Jika dibandingkan dengan dugaan
tindak pidana korupsi dan pencucian uang oleh Heru, sebetulnya perbedaannya
hanyalah dalam hal nominal uang yang digunakan sebagai suap. Namun, tentu saja
dampaknya menjadi berbeda jika suap dengan nominal kecil tidak sampai
menimbulkan atau setidaknya potensi kerugian bagi negara. Akan tetapi, dengan
nominal suap yang begitu besar dampaknya sangat mungkin menimbulkan kerugian
negara. Dalam kasus Heru, hilangnya pendapatan pajak bagi negara tentu menjadi
bentuk kerugian yang besar dan nyata bagi negara.
Jika belajar dari kasus Gayus, ada
satu hal yang luput dari penegakan hukum, yaitu memidanakan pemberi suap. Ada
dua pelaku pemberi suap, pertama adalah individu pemberi suap dan kedua adalah
korporasi yang berada di belakang individu tersebut. Dalam kasus Gayus, ada
ratusan perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus mafia pajak, tetapi tidak
satu pun dari perusahaan tersebut yang diseret ke pengadilan.
Padahal berdasarkan undang-undang,
subjek hukum tindak pidana korupsi tidak hanya individu, tetapi korporasi juga
dapat dikenai pidana. Karena itu, penegak hukum seyogianya tidak melokalisasi
pelaku suap-menyuap dalam konteks individu, tetapi juga memidanakan korporasi
sebagai bagian dari subjek hukum.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka (3)
UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa
subjek hukum terdiri atas perseorangan dan korporasi. Dalam Pasal 20 ayat (1)
juga ditegaskan, “Dalam hal tindak pidana
korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya“.
Namun, tentu saja penjatuhan pidana
terhadap korporasi hanya dapat berbentuk pidana denda, bukan pidana badan
(penjara). Pidana denda ini juga dimungkinkan untuk adanya pemberatan maksimum
sepertiga dari pidana denda yang dapat dijatuhkan.
Pencucian uang
Dalam kasus HS, dugaan pencucian
uang juga dituduhkan kepada yang bersangkutan atas penempatan uang yang diduga
uang suap ke dalam bentuk polis asuransi. Metode pencucian uang semacam ini
bisa dikategorikan baru memasuki tahap awal, yaitu layering atau penempatan.
Pada tahap ini terjadi pengalihan sejumlah mata uang menjadi bentuk lain (polis
asuransi) sehingga ada dugaan untuk menyamarkan sumber uang.
Jika melihat data yang disajikan
PPATK, ada sekitar 16 pejabat di lingkungan DJBC yang memiliki transaksi
mencurigakan. HS hanyalah 1 dari 16 pejabat tersebut, padahal PPATK telah
melaporkan transaksi mencurigakan tersebut kepada polisi sejak 2011 yang lalu.
Lambannya penegak hukum dalam
menindaklanjuti setiap laporan PPATK telah berkontribusi atas maraknya kasus
pencucian uang yang melibatkan birokrasi. Tesis sederhananya adalah ketika
penegakan hukum tumpul dan lamban, seketika kejahatan akan semakin merajalela.
Maka dalam konteks ini, peran semua
lembaga perlu dimaksimalkan dalam rangka pemberantasan pencucian uang. Menurut
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang menyebutkan ada 6 lembaga yang berwenang melakukan
penyidikan, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI (penjelasan Pasal
74).
Dalam konteks ini, DJBC sebagai
salah satu penyidik sudah sepatutnya melakukan koreksi dan penegakkan hukum
terhadap para pegawai/pejabat di lingkungannya. Setidaknya di internal DJBC
atau bahkan Kementerian Keuangan menelusuri para pegawainya yang menurut PPATK
telah melakukan aktivitas keuangan yang mencurigakan.
DJBC tidak perlu dan selalu
menunggu pihak lain untuk menangkap para pegawainya. Instrumen pengawasan di
internal harusnya juga bekerja secara simultan. Ada banyak mekanisme yang bisa
diterapkan, misalnya dengan menggunakan LHKPN (laporan harta kekayaan
penyelenggara negara) sebagai basis data pembanding.
DJBC sebetulnya telah memulai
langkah ini dengan mewajibkan hampir 40% pegawainya untuk menyerahkan LHKPN
kepada KPK. Dengan verifikasi yang ketat, penangkapan terhadap HS sebetulnya
bisa diminimalkan.
Verifikasi tersebut dibutuhkan
untuk menilai apakah transaksi yang dilakukan sesuai dengan profil seseorang
atau tidak. Jika tidak, di situlah fungsi penegakan hukum berjalan. Apalagi
transaksi tersebut berhubungan dengan tindak pidana yang lain. Semoga kasus HS
menjadi pembelajaran bagi birokrat lain yang mencari keuntungan pribadi dengan
cara yang melanggar hukum. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar