Rabu, 06 November 2013

Hikmah Tahun Baru Hijriah

Hikmah Tahun Baru Hijriah
M Bashori Muchsin   Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
KORAN JAKARTA, 05 November 2013

Momentum hijrah sekarang idealnya dijadikan babak baru sejarah dalam mewujudkan gerakan reformasi hidup. Hijrah harus mampu membangkitkan kesadaran diri untuk membebaskan diri hidup masa lalu yang penuh cela. Manusia kemudian menjadi bersifat saling menghormati dan menyayangi.

Umar bin Khattab pernah mengingatkan mengenai keniscayaan kehancuran Yerusalem kepada seorang Uskup. Katanya, "Kota ini akan hancur jika kita kurang kuat iman. Apabila umat Islam menjual kebenaran dan mengumpulkan kekayaan serta mencari kenikmatan duniawi, kehilangan perangai yang baik, berhubungan dengan perempuan secara tak bermoral dan tak adil, gemar melakukan fitnah, cemburu dan iri hati, tidak bersatu dan unjuk kemunafikan, serta terperosok dalam perbuatan dosa, maka persatuan dan kedamaian akan musnah. 

Tindakan-tindakan tercela ini akan menyebabkan perpecahan, perpisahan dan kehancuran." Peringatan khalifah berjuluk pendekar keadilan dan kemanusiaan kepada Uskup itu menunjukkan, disintegrasi, memudarnya persatuan dan kehancuran bangsa bukan karena pluralisme. Itu lebih disebabkan degradasi akhlak relasi kemanusiaan-kebangsaan, lenyapnya kejujuran, maraknya kezaliman, dan pemujaan perbuatan-perbuatan palsu, parasit, serta tercela.

Pesan itu berkaitan dengan amanat sosial politik kepada setiap pemimpin yang berkewajiban mengutamakan kepentingan rakyat di atas keperluan pribadi dan golongan. Pimpinan agama dan pemerintahan yang berpengaruh kuat secara sosial, politik, dan hukum diingatkan agar hidup bermoral.

Sayang, tak sedikit pemimpin di negeri ini yang terperosok dalam keasyikan pertarungan politik, keserakahan ekonomi. Mereka pongah, serakah, tamak dan"penyunatan" amanah secara sistemik. Kaum elite tidak malu hidup munafik.

Pemimpin negeri yang sedang tersesat jalan itu merupakan deskripsi sosok dan komunitas yang gagal menerjemahkan peran-peran fundamental menyejaherakan rakyat.

Mereka memang menempati posisi sebagai elite bergaji besar, namun masih minim kinerja. Mereka tidak menjiwai hijrahnya Nabi Muhammad SAW yang berorientasi pembebasan dan pemanusiaan rakyat kecil.

Pemimpin negeri ini sangat berbeda dengan nabi. Mereka bukannya menghijrahkan masyarakat menuju kemakmuran dan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka justru menjerumuskan rakyat dalam ketidakberdayaan dan atau keterpurukan berlapis. Masyarakat dibiarkan makan nasi aking seingga kekurangan gizi (malnutrisi). Masyarakat dibiarkan menjadi korban kekerasan sosial. Ini memperlihatkan terjadi "kejahatan moral" kepemimpinan. 

Elite pemimpin terbelenggu kepentingan keduniaan, kekuasaan dan kekayaan. Mereka menjual integritas moral, menggadaikan keimanan dan mengomoditaskan komitmen kerakayatan. Mereka mengagung-agungkan yang menurut Idi Subandi Ibrahim sebagai "ekstasi" gaya hidup, suatu praktik pemberhalaan kesenangan dan perburuan kepuasan sesaat. 

Pesan Khalifah Umar tadi bermaksud menyadarkan pemimpin yang lama terlelap di jalan jahiliah. Mereka menghalalkan aksi-aksi yang menghancurkan masyarakat. Pemimpin negeri diajak Umar untuk berlomba meniti jalan pembaruan, meninggalkan dan menggusur perilaku serba tercela. Mereka diajak memperbaiki perilaku. 

Mereka harus berubah. Ingatlah pesan Allah, "Sesungguhnya Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri berusaha mengubahnya" (QS, 13: 11).

Mufassir M Qurais Shihab berpendapat, ayat itu berbicara tentang perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah serta keadaan diri manusia. Pelakunya adalah manusia sendiri. Pendapat itu menunjukkan, pembaruan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan merupakan amanat bagi pemimpin. 

Manusia tak akan unggul manakala tidak mempunyai etos juang tinggi untuk mereformasi. Harus ada kemauan dari dalam diri untuk berubah.

Itu artinya, pemimpin tidak boleh membiarkan dirinya terkerangkeng dalam eksklusivitas. Keterbelakangan, kemiskinan, dan kemunduran hidup masyarakat karena kesalahan manajemen pemimpin. Pemimpin harus menjauhkan diri dari penyakit sosial, ekonomi dan politik yang menodainya.

Pemimpin harus memberi teladan untuk menyucikan diri agar dapat melahirkan perubahan. Sebab hanya dari pemimpin yang suci bisa lahir kedamaian karena di bertanggung jawab secara sosial. Dia menyatukan keragaman. Umat merindukan sebuah masyarakat baru atau komunitas yang memancarkan persaudaraan. Masyarakat ingin merasakan"Indonesia yang madani." Ini adalah sebuah bangunan masyarakat yang mengunggulkan nilai-nilai keadaban seperti kesetaraan, keadilan, keterbukaan, dan kemanusiaan. 

Momentum hijrah sekarang idealnya dijadikan babak baru sejarah dalam mewujudkan gerakan reformasi hidup. Hijrah harus mampu membangkitkan kesadaran diri untuk membebaskan diri hidup masa lalu yang penuh cela. Manusia kemudian menjadi bersifat saling menghormati dan menyayangi.

Manusia menjauhi kekerasan dan intimidasi. Manusia tidak merasa benar sendiri, melainkan menghargai orang lain. Hanya dengan begitu bisa diharapkan terwujud masyarakat yang beradab dan bermartabat. Ini bisa terjadi manaka pemimpinnya memberi teladan. Selama pemimpinnya masih lebih mementingkan diri dan serakah, maka momentum ini terbatas sebagai pergantian antarwaktu yang kehilangan makna.

Tahun baru harus tampil dengan perilaku dan gaya hidup anyar dengan meninggalkan cara laku lama yang penuh cela. Ini harus menjadi saat berpindah dari hidup lama ke baru, dari mementingkan diri ke mengutamakan orang lain. Diri sendiri harus dinomorduakan dan menomorsatukan kepentingan rakyat. Itulah pemimpin yang sejati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar