Iklan rokok berjaya di layar kaca.
Inilah salah satu ironi di pertelevisian kita. Media siaran yang
menggunakan frekuensi milik publik ini justru menyiarkan materi yang
membahayakan dan merugikan publik.
Apa boleh buat, aturan yang ada
membolehkan iklan rokok tampil di TV.
Ini dinyatakan dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Memang di situ
dikatakan bahwa dalam iklan rokok tidak boleh ada penampilan wujud rokok.
Namun, pembatasan semacam itu terbukti dapat disiasati dengan iklan rokok
yang tetap atraktif meski tak menampilkan wujud rokok.
Kini, di DPR sedang berlangsung
pem bahasan antara DPR dan pemerin- tah mengenai RUU Penyiaran. RUU ini me
rupakan perubahan atas UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bagaimana
ketentuan mengenai iklan rokok dalam RUU ini? Kita dapat melihatnya dalam
RUU yang diajukan DPR (kita sebut RUU DPR) dan sandingannya yang di susun
oleh pemerintah (RUU Pemerintah).
Ketentuan tentang iklan rokok
dalam RUU DPR (dikeluarkan pada Oktober 2012) tidak mengubah ketentuan yang
terdapat dalam UU 32/2002, yakni tetap membolehkan. Namun, dilihat dari sejarah
proses penyusunannya, ketentuan ini berbeda dengan draf RUU yang disiapkan
oleh Komisi I DPR pada September 2012.
Draf RUU DPR tersebut memuat
ketentuan tentang pelarangan total iklan rokok. Draf RUU secara tegas
melarang disiarkannya periklanan yang mempromosikan zat adiktif, termasuk
rokok. Namun, apa yang terjadi? Dalam proses di Badan Legislasi (Baleg)
DPR, terjadilah perubahan pelarangan total berubah menjadi pembatasan.
Iklan rokok tetap boleh disiarkan asalkan tidak menampilkan wujud
rokok.
Kenyataan ini membuat para
aktivis pengusung gagasan pelarangan iklan rokok di media siaran
bertanya-tanya: the invisible hand
apakah atau siapakah yang membuat terjadinya perubahan ketentuan ini di
Baleg DPR? Yang paling dapat menjawab pertanyaan ini tentulah Baleg dan
Komisi 1 DPR.
Para aktivis ini kemudian
menjadi makin kecewa saat RUU Pemerintah lahir. Pemerintah mengeluarkan
ketentuan yang idem ditto dengan
RUU DPR, yakni tetap membolehkan iklan rokok di media penyiaran dengan
pembatasan. Bahkan, lebih jauh lagi, RUU Pemerintah menghapus ketentuan
dalam RUU DPR tentang larangan bagi lembaga penyiaran untuk mempromosikan
zat adiktif.
Jelas sekali rokok adalah zat
adiktif. Ini ditegaskan dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 113.
Apalagi, pada 2010 uji materi mengenai Pasal 113 dan 116 UU Kesehatan
mengenai tembakau sebagai zat adiktif telah ditolak oleh Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa tembakau tetap digolongkan
sebagai zat adiktif.
Indonesia adalah negara yang memberi
kebebasan seluas-luasnya bagi industri zat adiktif ini untuk beriklan, berpromosi,
dan menjadi sponsor. Padahal, negara-negara lain sudah melakukan pengaturan
tentang ini dari beberapa dekade lalu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan
pentingnya pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok (disebut total taps ban. Taps: tobacco
advertising promotion and sponsorship). Kini, ada 24 negara di dunia
yang sudah melakukan pelarangan komprehensif iklan rokok.
Di antara langkah-langkah menuju
total taps ban, umumnya langkah pertama yang dilakukan adalah pelarangan
iklan rokok di media penyiaran. Mengapa? Karena iklan TV adalah yang paling
potensial memengaruhi kaum muda untuk mengenal dan kemudian mencoba
rokok. Hasil penelitian Universitas UHAMKA bekerja sama dengan Komnas
Perlindungan Anak pada 2007 di wilayah Jabodetabek menyimpulkan 99,7 persen
anak-anak melihat iklan rokok di TV. Survei tersebut menunjukkan 70 persen
remaja mengaku mulai merokok karena terpengaruh oleh iklan, 77 persen
mengaku iklan menyebabkan mereka mempertahankan perilaku merokoknya, dan 57
persen mengatakan iklan mendorong mereka yang berhenti merokok untuk
kembali merokok.
Tampaknya, predikat untuk tetap
menjadi negara yang membolehkan iklan rokok muncul di media siaran akan
terus dipertahankan jika melihat ketentuan dalam RUU Penyiaran. Karena RUU
ini sedang dalam proses pembahasan antara DPR dan pemerintah, diharapkan
tentu saja, baik DPR maupun pemerintah, mau mengevaluasi kembali ketentuan
yang mereka ajukan dengan melihat berbagai fakta yang ada.
Di atas segalanya, ada dua hal
yang menjadi dasar pertimbangan. Pertama, media penyiaran menggunakan
frekuensi milik publik. Seharusnya, siaran digunakan untuk hal-hal yang
membawa manfaat bagi publik. Kedua, rokok adalah zat adiktif yang
membahayakan. Logiskah racun adiktif yang jelas-jelas berdampak buruk bagi
publik dipromosikan kepada masyarakat dalam sebuah media milik
publik?
Iklan rokok di TV jelas
ditujukan kepada kaum muda. Iklannya tampil dalam acara-acara yang disukai
remaja, dengan membawa pesan-pesan khas anak muda. Iklannya keren, membuai,
dan menyesatkan. Bagaimana tidak menyesatkan? Iklan bagus itu mempromosikan
produk yang sangat berbahaya. Tidak heran WHO (2013) menyebutkan perusahaan
rokok adalah salah satu dari penjual dan promotor produk yang paling
manipulatif di dunia.
Komnas Perlindungan Anak (2012)
menyatakan bahwa bagi industri rokok, perokok muda (anak-anak dan remaja)
sangat penting. Mereka yang sedang mencari identitas inilah yang akan terus
menjamin keberlanjutan bisnis industri rokok. Anak dan remaja adalah
"perokok pengganti" yang akan menggantikan mereka yang telah
berhenti merokok atau meninggal akibat penyakit terkait merokok. Selain itu,
karena perokok senior sangat loyal dengan merek yang dikonsumsinya,
konsumen muda yang masih coba-coba merokok terus digarap dan dipupuk agar
tumbuh subur melalui iklan, promosi, dan sebagainya. Jika DPR dan
pemerintah bersepakat iklan rokok tetap dipertahankan dalam RUU Penyiaran,
itu artinya DPR dan pemerintah memilih untuk mengorbankan anak Indonesia
untuk dijual kepada industri rokok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar