KALAU dikaji agak mendalam,
akan kelihatan bahwa antisipasi dan sikap reaktif merupakan dua watak dasar
dalam suatu kebudayaan.
Kebiasaan untuk melakukan
antisipasi muncul dari pengandaian (eksplisit atau laten) bahwa dalam tiap
keadaan, rencana, dan program akan selalu muncul kesulitan, hambatan, dan
masalah yang sepatutnya dihadapi dengan semacam persiapan. Kesiapan
menghadapi perkiraan tentang masalah dan kesulitan yang bakal muncul
dilakukan dengan mengalkulasi beberapa jenis masalah berdasarkan kategori
yang disusun untuk keperluan ini, dan sekaligus menyiasati sejumlah ikhtiar
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu apabila benar-benar muncul.
Pertama, masalah dapat muncul
dari pelaksanaan suatu program atau kebijakan sekalipun program itu
dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana. Hampir selalu muncul
akibat-akibat yang tak sengaja dan tak terduga dari pelaksanaan suatu
program. Sosiologi menyebutnya unintended
results atau akibat yang muncul di luar rencana. Pelaksanaan
otonomi daerah sejak Januari 2001 dimaksudkan untuk mengurangi sentralisme
kekuasaan pemerintah pusat dan desentralisasi pemerintahan ke daerah,
melalui delegasi wewenang yang lebih besar kepada kepala daerah (bupati
atau wali kota).
Akibat yang tak diduga ialah
penerapan otonomi daerah kemudian mengakibatkan menguatnya
sentimen-sentimen kedaerahan, baik menurut garis etnis, garis wilayah,
garis agama, maupun garis kekerabatan. Konflik-konflik sosial dalam banyak
pilkada telah turut disulut oleh sentimen-sentimen ini.
Kedua, masalah dapat muncul
karena sebuah program atau kebijakan diselewengkan melalui sejumlah
intervensi dalam pelaksanaannya. Pemilihan kepala daerah secara langsung
tentu dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat lokal untuk
memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi dan harapan mereka dan tingkat
keterpilihannya dapat mereka pengaruhi melalui suara yang mereka berikan
dalam pemilihan. Dengan kata lain, memberi peranan lebih besar kepada
partisipasi politik masyarakat setempat. Namun, dalam pelaksanaan, partisipasi
pemilih itu dikacaukan penggunaan uang untuk menyogok para pemilih, dengan
akibat pemilih menjadi tidak bebas dalam memberikan suara, dan tidak
memilih pemimpinnya menurut pertimbangan dan hati nurani mereka.
Ketiga, masalah dapat juga
timbul karena muncul perkembangan baru yang memengaruhi pelaksanaan suatu
kebijakan dan program, yang disusun pada waktu perkembangan baru itu belum
terjadi. Contoh yang paling mutakhir ialah berubahnya banyak kerja sama
dalam hubungan Indonesia–Australia, dalam bidang diplomasi, politik,
ekonomi, dan pertahanan setelah terungkap penyadapan telepon Presiden
Indonesia dan beberapa petinggi RI lainnya pada 2009 oleh pihak intelijen
Australia.
Antisipasi dan kesiapan
Orang-orang yang terbiasa pada
antisipasi terbiasa juga menghitung dan membayangkan masalah dan kesulitan
yang mungkin muncul dalam pelaksanaan suatu program serta menanggapinya
sebagai hal yang tidak luar biasa dan tidak harus mengejutkan, tetapi patut
dihadapi dengan ikhtiar yang sepadan. Inilah sebabnya monitoring dan
evaluasi selalu ditetapkan sebagai bagian penting dalam manajemen suatu
proyek. Monitoring berfungsi melihat berhasil atau gagalnya suatu proyek
pada tingkat implementasinya, sementara evaluasi melihat kelayakan proyek
itu berdasarkan kebutuhan yang ada, kemungkinan yang tersedia, dan
hambatan-hambatan yang timbul, bukan saja secara teknis, melainkan juga
secara strategis dan mungkin juga politis. Yang satu mengecek doing
things right, yang kedua memeriksa doing the right things.
Sebaliknya, tidak kurang pula
orang-orang yang lebih cenderung tidak melihat masalah, acuh terhadap
kesulitan yang timbul, dan mengandaikan bahwa program akan berjalan mulus
dan lancar, selama dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Sikap ini dapat dilihat dalam kebiasaan untuk memulai suatu proyek dengan
ritual yang meriah, yang dihadiri pejabat-pejabat tinggi dan rendah, yang
memperlakukan awal suatu kerja besar bagaikan perayaan ulang tahun, yang
penuh karangan bunga dan tepuk tangan disertai kehangatan ciuman pipi kiri
dan kanan.
Kebiasaan memulai pekerjaan
besar dengan suasana yang riuh rendah dan bukan dengan penuh kehati-hatian,
perhitungan dan kesiapan menghadapi rintangan, merefleksikan semacam alam
pikiran, di mana kesulitan dan masalah tidak ditanggapi sebagai sesuatu
yang normal dan harus diterima dengan wajar dan waras, tetapi merupakan
penyimpangan atau deviasi dari rencana yang seharusnya berjalan serba
mulus. Masalah dan kesulitan tidak dilihat sebagai bagian dari pelaksanaan
program, tetapi sebagai keadaan eksternal yang tidak normal, dan bahkan
merupakan contingency yaitu
keadaan tak pasti yang muncul mendadak secara serba kebetulan.
Untuk mudahnya, bisa dikatakan,
kelompok pertama memasukkan antisipasi dalam sikap budaya mereka, sedangkan
kelompok kedua cenderung hanya bersikap reaktif terhadap keadaan yang
dikiranya muncul mendadak dan kebetulan. Dilihat dalam perspektif waktu,
mereka yang berantisipasi mempunyai mekanisme kejiwaan untuk melihat
hidupnya pada masa sekarang selalu dalam hubungan erat dengan masa depan,
dan dampak masa depan terhadap keadaan sekarang. Sebaliknya, mereka yang
memandang hidupnya tanpa persoalan cenderung membatasi perhatiannya pada
masa sekarang saja, sedangkan masa depan berada jauh di luar masa sekarang
dan tidak banyak sangkut pautnya dengan masa sekarang.
Dalam kehidupan sosial-politik
di Indonesia, ada beragam contoh yang memperlihatkan dengan cukup jelas
sikap tanpa antisipasi dan kebiasaan untuk memberikan reaksi sekadarnya
apabila memang muncul masalah dalam pelaksanaan program atau kebijakan.
Dalam kaitan ini, sangat mungkin
bahwa kepemimpinan Jokowi-Ahok di DKI Jakarta mendapat banyak dukungan dan
simpati karena keduanya, secara sengaja atau tidak, telah mengubah
kebiasaan pemerintah yang hanya reaktif terhadap masalah yang timbul,
melalui antisipasi yang terukur dan diperhitungkan dalam rencana dan
kinerja mereka.
Masalah banjir umpamanya telah
muncul selama puluhan tahun di Jakarta, tetapi Pemerintah DKI seperti
kelabakan setiap kali menghadapinya, dan akhirnya menyerahkan saja kepada
warga untuk menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing. Bagi orang
yang bukan ahli pun sudah jelas antisipasi apa yang perlu dilakukan untuk
menghadapi masalah banjir.
Memang, banjir di Jakarta adalah masalah amat
besar yang perlu ditangani dengan kebijakan nasional dan dukungan
pemerintah pusat. Namun, kalau banjir belum bisa dihentikan segera, ada
banyak hal lain yang dapat dilakukan untuk memperkecil akibatnya dan
mengurangi risiko yang menimpa penduduk.
Pemerintah Jokowi-Ahok membaca
situasi itu dengan baik dan mengambil tindakan yang langsung dirasakan
manfaatnya oleh penduduk Jakarta. Tanpa banyak pidato mereka mengamankan
daerah penyerapan hujan, seperti Pluit, setelah berhasil membujuk penduduk
pindah ke tempat baru yang disediakan Pemerintah DKI. Ini dilakukan dengan
tegas, tetapi sopan.
Gorong-gorong dibersihkan dan
diperlebar, serta sungai dan kali digali, diperdalam dan diperlebar, yang
semuanya dilakukan dalam dialog yang terus-menerus dengan penduduk Jakarta
agar menerima dan mendukung kebijakan mereka. Mereka juga tidak meributkan
yang dilalaikan pemerintah sebelum mereka karena orientasi adalah masa
sekarang yang dibangun berdasarkan antisipasi ke masa depan.
Pada tingkat nasional,
pemerintah mengalami kesulitan dalam mempertahankan dan melanjutkan subsidi
bahan bakar minyak. Anehnya, tidak ada regulasi tentang pembelian dan
pemakaian mobil dengan mesin yang ukurannya banyak menyedot bahan bakar
minyak (BBM). Pasar mobil dibiarkan bergerak dengan sangat liberal, padahal
sudah ada contoh yang baik dan bisa ditiru dari zaman pemerintahan Presiden
Soeharto. Ketika terjadi krisis energi pada tahun 1970-an, dikeluarkan
peraturan oleh Pemerintah Orde Baru, yang melarang impor dan produksi mobil
dengan mesin yang melebihi 3.000 cc.
Sekarang ini pembelian dan
pemakaian mobil seakan diserahkan saja kepada kemampuan keuangan dan preferensi
gaya hidup setiap orang dan bukan berdasarkan pertimbangan tentang
kemampuan negara dalam melakukan suplai BBM berdasarkan stok yang ada.
Muncul kemudian reaksi ad hoc seperti bantuan langsung tunai yang
boleh dikata tidak lebih fungsinya daripada menjadi pain killer untuk
penderitaan rakyat karena naiknya harga BBM, tetapi pastilah bukan resep
untuk mengatasi kesulitan menyangkut BBM.
Hal yang sama dapat dikatakan
tentang listrik. Jusuf Kalla, ketika masih menjabat Wakil Presiden dalam
periode pertama pemerintahan Presiden SBY, pernah mengemukakan gagasan
bahwa Indonesia memerlukan pembangkit tenaga listrik yang dapat
menghasilkan tambahan 10.000 MW listrik untuk mengatasi gejalabyarpet yang
berulang kali terjadi. Setelah Jusuf Kalla tidak lagi menjadi wakil
presiden, gagasan itu seperti dibawa angin lalu dan tidak kelihatan usaha
untuk merealisasikannya. Bangsa kita tidak terbiasa dengan antisipasi dan
kembali kepada kebiasaan lama untuk memberikan reaksi-reaksi ad hoc,
seperti pemadaman bergilir dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dan
memberi kesan Jakarta yang mentereng, berubah menjadi desa di pedalaman
pada waktu malam.
Contoh-contoh seperti ini dengan
mudah dapat dipungut dari kebijakan pemerintah kita dalam sektor mana pun,
tetapi intinya relatif sama, yaitu kecenderungan untuk hanya memberikan
reaksi kalau sudah muncul masalah dan bukannya menyambut masalah secara
kreatif karena ada antisipasi yang memperhitungkan kemunculan
masalah-masalah dalam suatu kebijakan.
Pergeseran mental
Sebetulnya antisipasi bukanlah
sesuatu yang susah-susah amat untuk dilakukan. Untuk dapat
menginternalisasi kebutuhan dan kebiasaan antisipasi, dibutuhkan beberapa
pergeseran secara mental.
Pertama, perlu diubah anggapan
mengenai kebudayaan ataupun mengenai ekonomi dan politik. Kebudayaan tidak
saja mengandung harmoni, tetapi juga mengandung potensi-potensi konflik,
yang harus dikelola secara produktif. Ekonomi dan politik tidak selalu
berjalan mulus, tetapi mengundang masalah dan kesulitan yang harus dihadapi
dengan persiapan dalam antisipasi yang memperhitungkannya dan komitmen
untuk mengatasi masalah apabila benar-benar muncul dalam perjalanan waktu.
Kedua, perspektif waktu dalam
kebudayaan Indonesia perlu dipertajam, baik mengenai masa lampau, masa
sekarang, dan masa depan serta kaitan yang ada di antaranya. Bahasa
Indonesia tidak banyak menolong menanamkan perspektif waktu karena dalam
sintaksis bahasa kita yang ada hanya masa sekarang, dan tidak ada masa
lampau dan masa depan. Ini juga barangkali sebabnya kalau seorang pemimpin
mengatakan akan menurunkan tingkat kemiskinan, karena tipuan bahasa, dia
cenderung percaya bahwa dia sudah atau sedang menurunkan tingkat kemiskinan
karena perspektif masa lampau dan masa depan hanya ditunjuk dengan kata
keterangan seperti ”sudah”, ”akan”, dan semacam itu.
Kemampuan antisipasi pada
akhirnya adalah indikator kebudayaan tentang kedewasaan suatu bangsa,
apakah dia akan menghadapi masalah dengan terkejut dan emosional atau dia
akan menanggapinya secara rasional dan siap mengatasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar