PARA tokoh yang
menjadi calon presiden, atau yang diusulkan untuk menjadi calon
presiden, harus menggunakan waktu yang tersisa untuk membangun karisma
dalam diri mereka agar pemilih mau memilih mereka.
Tanpa karisma yang memadai, sulit bagi
para calon presiden itu meraih mayoritas suara pemilih dalam pemilihan
presiden secara langsung. Dan, hanya dengan karisma itu pulalah seorang
presiden dapat dengan aman menduduki jabatan tersebut.
Jika karisma itu, yang di dalam kekuasaan
raja di Jawa dikenal dengan Wahyu Cakraningrat, sudah meninggalkan seorang
raja, atau dalam hal ini presiden, kekuasaannya akan berlalu. Tidak ada
yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Presiden Soekarno, yang sebelumnya begitu
dipuja-puji oleh segenap rakyat Indonesia, mengalami hal itu menjelang
akhir kekuasaannya. John Hughes dalam bukunya, The
End of Sukarno, A Coup that Misfired: A Purge Ran Wild, terbitan
Archipelago Press, menulis, ”Selama hampir 20 tahun, Presiden
Sukarno menebar pesona sihir politiknya melintasi Indonesia. Namun, di ibu
kota Indonesia, Djakarta, pada suatu hari yang panas dan lembab pada bulan
Maret 1967, pesona itu akhirnya lenyap, sihirnya pun kehilangan
kekuatannya, dan legenda itu hancur berantakan. Sukarno dilucuti oleh
wakil-wakil rakyatnya sendiri dari sisa-sisa kekuasaannya. Malahan, mereka
melantik dan mengambil sumpah seorang jenderal Angkatan Darat berusia 46
tahun bernama Suharto sebagai Penjabat Presiden.”
Peristiwa yang sama juga dialami oleh Presiden
Soeharto. Sulit untuk menjelaskan mengapa Soeharto yang sudah memerintah
lebih dari 30 tahun, dan secara bulat diangkat oleh MPR sebagai presiden
untuk periode yang ketujuh (1998-2003), diminta untuk meletakkan jabatannya
tidak sampai 70 hari sesudahnya.
Nasib Presiden Abdurrahman Wahid tidak
jauh berbeda. MPR yang mengukuhkannya sebagai presiden untuk periode
1999-2004, adalah juga yang memberhentikannya, dan melantik Megawati
Soekarnoputri sebagai penggantinya, 23 Juli 2001.
Keadaan Presiden Megawati Soekarnoputri
berbeda. Karisma yang dimilikinya cukup untuk membuat MPR memilihnya
sebagai presiden. Namun, tidak cukup untuk membuatnya meraih suara
terbanyak dalam pemilihan presiden secara langsung yang digagasnya. Sebagai
presiden yang tengah menjabat (incumbent),
Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan pendatang
baru.
Melihat arti penting dari karisma
seseorang untuk memuluskan perjalanannya ke kursi presiden, maka para tokoh
yang menjadi calon presiden harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Yang
dimaksudkan mempersiapkan diri adalah membangun karisma, antara lain dengan
membangun citra (pencitraan), antara lain, lewat pemberitaan di media
massa, iklan, atau bahkan blusukan.
Persiapan itu tentunya bagi para tokoh
yang diusung oleh partai-partai besar, yang kemungkinan meraih lebih dari
20 persen suara dalam pemilihan umum legislatif. Bagi partai-partai sedang
ataupun kecil dengan perolehan suara di bawah 20 persen, keadaannya tentu
tidak sesederhana itu jika tidak ingin dikatakan lebih sulit. Sebab,
partai-partai sedang ataupun kecil harus berkoalisi dengan partai-partai
lain untuk mengajukan calon presiden. Padahal, semua partai mempunyai calon
presidennya sendiri-sendiri.
Untuk Partai Demokrat, walaupun banyak
tokoh yang disemai lewat konvensi, tetap saja yang diambil untuk diajukan
nanti hanya satu.
Buat tokoh-tokoh independen, tentu
keadaannya lebih sulit lagi karena mereka harus menunggu pinangan dari
partai-partai besar. Tokoh independen yang paling populer pada saat ini adalah
Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, yang pada saat ini menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi yang menjadi tokoh kesayangan
media (media darling) dianggap banyak kalangan sebagai salah seorang yang
paling berpotensi menjadi presiden. Jokowi telah membuktikan dirinya
memiliki karisma untuk menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta,
yang masih harus ditunggu adalah apakah Jokowi memiliki karisma yang cukup
untuk menjadi Presiden Indonesia.
Sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), diharapkan ia akan dicalonkan sebagai presiden oleh
partai tersebut. Namun, hingga sekarang belum ada kejelasan apakah PDI-P
akan mencalonkan Jokowi sebagai presiden atau wakil presiden.
Disebut-sebut, Jokowi akan dipasangkan dengan Megawati, tetapi hal tersebut
dibantah oleh Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Tjahjo Kumolo.
Ada baiknya, Megawati tidak lagi
mencalonkan diri, baik itu sebagai presiden maupun wakil presiden. Oleh
karena, pada tahun 2004, ketika maju sebagai presiden yang tengah menjabat
saja, Megawati sudah kalah. Kekalahan yang sama juga dialaminya ketika maju
kembali pada tahun 2009. Megawati sendiri, pada sebuah kesempatan, pernah
mengatakan, ”Masak saya mau lagi…. Bagaimana jika kalah lagi? Apa kata
orang nanti?”
Ada yang berpendapat, Jokowi harus
dipasangkan dengan Jusuf Kalla. Pertanyaan yang segera muncul adalah apakah
PDI-P mau meminang Jusuf Kalla? Kalaupun mau, apakah Jusuf Kalla bisa
dijual? Dalam pemilihan presiden 2009, Jusuf Kalla-Wiranto hanya meraih
12,41 persen suara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar