DI PAGI yang cukup dingin ini,
saya ditanya oleh guru bahasa Turki saya hal yang membuat hati saya
bergetar. Sebabnya, pertanyaan yang diajukan cukup sulit dijawab: ‘Apakah
perbedaan antara Attaturk dan Erdogan?’
Awalnya, saya tersenyum biasa-biasa
saja, namun tak disangka ia menunggu jawaban saya, bahkan dengan setengah
memaksa. Spontan saja saya menjawab, ‘Attaturk, CHP’den ve
Erdogan AKP’den’ yang artinya,
Mustafa Kemal Attaturk berasal
dari CHP (Cumhuriyet Halk Partisi) sedangkan Recep Tayip
Erdogan berasal dari AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi).
Keduanya merupakan pertai jumbo yang sedang bersaing dalam kancah politik Turki.
AKP merupakan partai yang sedang berkuasa, sementara CHP mengambil jalan
menjadi oposisi. Kedua partai sedang bersaing secara ideologi untuk
menentukan masa depan Republik Turki yang tengah mengalami perubahan.
Banyak kalangan, baik para ahli
maupun praktisi, menganalisa bahwa Turki sedang mengalami perubahan besar.
Tentu saja dikarenakan posisi AKP sebagai partai penguasa lambat laun
sedang meniti jalan untuk mentransformasikan negara Turki menjadi negara
yang lebih demokratis.
Proses demokratisasi Turki ini ternyata ditanggapi
sebagai ancaman bagi ideologi bapak republik Turki, Mustafa Kemal. Bahkan,
tuduhan dekemalisasi atau upaya mengubur ideologi kemalisme pun telah
mengemuka. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah upaya dekemalisasi
benar-benar ada?
Kebijakan-kebijakan dari Tayip
(Recep Tayip Erdogan) dianggap sebagai ‘bom’ bagi benteng ideologi
kemalisme yang sudah puluhan tahun tumbuh, berkembang dan mengakar di
negara yang pernah memiliki imperium terbesar di dunia itu. Kebijakan paket
demokrasi, kebebasan memakai jilbab baik di kampus maupun parlemen,
rekonsiliasi dengan suku Kurdi, penutupan dershane (program
persiapan masuk universitas), pemisahan tempat tinggal pelajar
wanita-lelaki merupakan salah satu percikan pertarungan ideologi dan dugaan
dekemalisasi. Pertarungan ideologi dan politik ini tentu saja
melibatkan dua partai besar, yakni AKP dan CHP.
Baik AKP maupun CHP, keduanya
memiliki dasar ideologi dan basis masa yang jelas. AKP adalah partai yang
membawa ideologi demokrasi dengan basis masa kaum Islamis. Terminologi
islamis yang ditulis dalam artikel ini mengacu pada sekelompok masyarakat
yang menginginkan Islam tumbuh mendominasi baik secara struktural maupun
kultural. Sedangkan CHP memiliki ideologi Kemalis, yang tentu saja, berhubungan
dengan pendirinya, Mustafa Kemal Atatturk. Ideologi Kemalis CHP dijabarkan
melalui enam point penting, yaitu republikanisme, populisme, nasionalisme,
sekularisme, etatisme dan revolusionisme. Ideologi ini pernah mengalami
ancaman yang kemudian diselingi oleh kudeta militer. Militer selalu menjadi
tameng bagi ideologi kemalisme. Mengancam kemalisme berarti tidak akan
dilindungi, seperti yang tercantum dalam mukadimah Konstitusi Turki.
Artinya, kemalisme merupakan bagian dari konstitusi Turki yang memang didesain
sebagai bahan-bahan bangunan Republik Turki, sebagai antitesis dari
imperium Turki Usmani.
Waktu ternyata menggiring Turki
kepada perubahan besar, tatkala Tayip dan AKP berkuasa tahun 2002.
Kemenangan AKP dan terpilihnya Tayip sebagai Perdana Menteri Turki dianggap
sebagai kebangkitan kaum islamis, terutama dari kalangan menengah. Selain
itu, gerakan tarikat-tarikat dan pemuda muslim di universitas-universitas
telah mempercepat dan memuluskan kemenangan kaum islamis. Berbagai
kebijakan, seperti memperketat penjualan alkohol hingga kebijakan terbaru
menutup dershane dianggap telah
memuluskan langkah untuk menjadikan Turki sebagai ‘negeri Islamis’ yang
berkaca pada kejayaan Turki Usmani.
Padahal pada awal abad ke-20, ketika
kemalisme lahir dan berkembang, peradaban dan ajaran Turki Usmani dianggap
sebagai ajaran kuno yang senantiasa dibandingkan dengan konsep
republik-modern yang lebih rasional.
Tayip dan AKP tentu saja tidak
sebodoh itu dengan melakukan tembak langsung bahwa kebijakannya adalah
upaya dekemalisasi. Mereka membungkus kebijakannya dengan interpretasi
ulang atau pembaharuan kemalisme. Kerap pula disebut sebagai
‘neo-kemalisme.’ Neo-kemalisme yang dimaksud berupa pembaruan konsep-konsep
kemalis yang dianggap sudah tidak cocok diterapkan dalam perkembangan dunia
global abad ke-21. Kemalisme yang kaku, terkadang dianggap ultranasionalis,
militeristik, dan mengabaikan heterogenitas harus diinterpretasi ulang.
Munculah gelembung-gelembung ide agar kemalisme dapat diinterpretasikan
sebagai ideologi yang plural dan menjunjung kebebasan individu.
Masyarakat tentu merespon dengan
positif upaya kebebasan individu yang ditawarkan oleh AKP dan Tayip. Salah
satu kebebasan individu yang digulirkan adalah kebebasan memakai jilbab di
sekolah, bahkan di parlemen yang baru saja memantik konflik. Respon
masyarakat yang positif berubah ketika kebijakan demi kebijakan
dimunculkan, seperti rencana perubahan Taman Gezi di Taksim menjadi pusat
perbelanjaan dengan gaya barak militer Turki Usmani. Ini memunculkan protes
sehingga pemerintah menindak aksi protes ini dengan tegas terhadap para
demonstran, termasuk mahasiswa. Ini memberikan sinyal bahwa pemerintah yang
dipimpin oleh Tayip belum sepenuh hati memberikan kebebasan individu.
Terlebih lagi, kebijakan pemisahan tempat tinggal antara siswa perempuan
dan laki-laki dianggap sebagai intervensi terhadap hak-hak pribadi
individu. Muncul pula opini bahwa Tayip memberikan kebebasan, namun hanya
kebebasan untuk ‘menggunakan simbol-simbol keagamaan.’ Sebutan pemerintahan
Tayip sebagai pemerintahan diktator pun mengemuka, meskipun Tayip
menawarkan demokratisasi Turki. Namun wacana demokratisasi Tayip hanya
merupakan ‘kedok’ untuk memuluskan kekuasaan berlandaskan agama, sedikit
demi sedikit mulai muncul.
Dekemalisasi?
Keinginan mengembalikan dominasi
agama Islam di Turki, ditanggapi sebagai bagian dari dekemalisasi. Selama
ini, gerakan politik Islam dianggap sebagai irtica atau
reaksioner sehingga muncul phobia bahwa
gerakan Islam akan menjadi ‘bom waktu’ bagi ideologi kemalisme. Artinya
ketika muncul kekuatan Islam, meskipun tidak untuk menentang kemalisme,
maka terminologi kemalis-islamis selalu muncul. Dan islamis akan selalu
dipertentangkan dengan kemalis. Sehingga munculah wacana dekemalisasi.
Profesor Nilüfer Narlı, dari
Universitas Bahçesehir, berargumen bahwa pelepasan foto-foto Mustafa Kemal
dari beberapa tempat dan penghapusan ikrar kesetiaan di sekolah-sekolah
menjadi tanda bahwa Mustafa Kemal akan segera dilupakan. Semih Idiz, dalam
artikelnya di Hurriyet Daily News, pun
berargumen telah muncul tanda-tanda adanya pelenyapan Mustafa Kemal
sebagai simbol nasional. Selain itu, penutupan dershane dianggap sebagai upaya
dekemalisasi, karena dalamdershane terdapat
penanaman doktrin-doktrin Mustafa Kemal. Namun, menurut saya pribadi,
penutupan dershane sebagai upaya
melakukan dekemalisasi tidaklah benar, karena gerakan pendidikan Islam yang
dimiliki Fethullah Gullen pun memiliki ‘aset’ dalam ‘bisnis’ dershane. Jikalau penutupan dershane ini digunakan oleh kaum islamis untuk
melawan arus kemalis, maka mengapa harus dershane, yang
notabene banyak dimasuki gerakan Islam sebagai upaya mendidik para pemuda
dengan moralitas dan nilai-nilai Islam, yang harus ditutup. Bukankah
penutupan dershaneini akan menghambat
munculnya pemuda muslim?
Saya pikir, upaya dekemalisasi
bukanlah suatu rencana terstruktur dari pemerintahan Tayip, karena
dekemalisasi akan hilang dengan sendirinya ketika arus liberalisme dan
demokratisasi muncul. Jadi wacana dekemalisasi bisa saja muncul di bawah
tanah dengan gerakan yang ‘secuil demi secuil.’ Namun bukan tujuan utama
dari pemerintahan Tayip. Wacana dekemalisasi ini muncul dengan didahului
oleh wacana diktatorian Tayip yang berkelindan terhadap kaum islamis
sebagai basis dari AKP. Karena sesungguhnya, Republik Turki ini adalah
republik yang ‘latah,’ yang mana ketika muncul figur yang terkesan islamis
maka langsung muncul pula wacana perlawanan terhadap kemalis. Tentu saja
kelatahan ini berakar pada konflik awal abad ke-20, ketika kaum
kemalis-republik berusaha menekan agama Islam untuk kembali ditempatkan
dibalik hal yang bersifat individual, bukan sebagai kekuatan struktur
politik.
Karena itu, menurut Saya AKP dan
Tayip tidaklah sebodoh yang kita duga. Mereka tidak akan melakukan
dekemalisasi secara terang-terangan seperti ini. Kita pun harus ingat bahwa
wacana dekemalisasi ini semakin mengauat menjelang pemilu tahun depan,
sehingga kepentingan politik pun berperan dalam menggulirkan wacana ini
untuk menghantam Tayip. Terlebih lagi persaingan antara AKP dan CHP sedang
sangat memanas. Saya kira, jikalau Tayip lebih sedikit tenang, banyak
mendengar aspirasi dan tidak terlalu menggulirkan kebijakan yang bersifat
intervensi terhadap kebebasan individu, kemungkinan citra Tayip sebagai
seorang demokrat akan tetap terjaga. Karena, bagaimanapun, upaya
demokratisasi yang dilakukan Tayip harus diacungi jempol, seperti upaya
mendamaikan pertikaian yang melibatkan suku Kurdi dengan mendatangkan
Barzani sebagai pemimpin suku Kurdi dan para exile Kurdi yang telah meninggalkan
tanah Turki sekian lama karena hantaman dari rezim sebelumnya, meskipun,
sekali lagi, terdapat seribu alasan untuk menuduh rekonsiliasi suku Kurdi
sebagai upaya Tayip mendulang suara di Diayarbakir, basis pemilih Kurdi.
Suatu analisis memang tidaklah
hitam putih dan selalu memberikan seribu alasan dan konspirasi. Namun kita
harus menerima seribu alasan demi mencari kebenaran. Itulah sebabnya saya
bingung ketika guru saya bertanya mengenai perbedaan antara Mustafa Kemal
dan Tayip Erdogan, karena membedakan manusia tidak mungkin dilakukan secara
hitam putih. Tidak pula semudah membagi peran dalam panggung sandiwara,
seperti membagi peran ‘ksatria’ dan ‘iblis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar