Jumat, 01 November 2013

Jalan Terjal Demokrasi

Jalan Terjal Demokrasi
Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 30 Oktober 2013

TATKALA masyarakat Mesir memulai memasuki masa transisi politik, dari kediktatoran menuju demokrasi, seiring dengan penumbangan kekuasaan otoriter Hosni Mubarak oleh rakyat pada akhir Februari 2011, dunia berharap Negeri Piramida itu akan mulus menjalani masa itu. Penyelenggaraan pemilu pertama setelah era Mubarak, guna memilih anggota parlemen pada Juni 2011 yang dimenangi Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), sayap politik Ikhwanul Muslimin (IM), awalnya dipandang sebagai pertanda embrio kemulusan tersebut.

Namun, tak lama setelah pemilu parlemen itu, bermunculan tantangan-tantangan riil, yang membuat banyak kalangan mulai pesimistis akan kemulusan masa transisi politik negara tersebut. Tantangan terberat berupa tarik-menarik kepentingan ideologis, terutama antara kubu Islamis dan sekuler.

Kubus Islamis menginginkan Mesir tampil menjadi negara berdasarkan syariat Islam. Adapun kubu sekuler menghendaki tetap berpijak pada ideologi sebagaimana diwariskan Gamal Abdul Nasser, serta diteruskan Anwar Sadat dan Mubarak. Sejak itu, makin terlihat betapa terjal jalan menuju demokrasi.
Pemilihan presiden dua putaran (pada Mei dan Juni 2012) yang dimenangi Mohammed Mursi tidak memberi kontribusi apa pun untuk menengahi dua kubu yang berseberangan tadi. Pasalnya, Mursi yang memang tokoh Ikhwanul Muslimin secara terang-terangan mendukung 100% pemberlakuan syariat Islam dalam tata kelola pemerintahan.

Kepentingan Ideologis

Kedua kubu berseberangan memang kerap berunding tetapi senyatanya tidak pernah mencapai titik temu, terutama terkait tarik-menarik kepentingan ideologis itu. Referendum pun digelar pertengahan Desember 2012 guna mengatasi masalah tersebut. Tapi kubu sekuler yang kalah, tidak ikhlas menerima realitas itu dan tak pernah bosan mengerahkan massa pendukung menuntut Mursi lengser dari kursi kepresidenan, yang membuat suhu politik tak pernah dingin.

Berangkat dari keadaan seperti itulah, Panglima Militer Jenderal Abdel Fatah el-Sissi memutuskan mengudeta Presiden Mursi (03/07/13) dan menahannya di tempat yang sampai hari ini masih dirahasiakan. Tentu Sissi berharap situasi domestik bisa stabil setelah dia melakukan tindakan kontrademokrasi itu.

Tetapi harapan itu ternyata meleset mengingat situasi domestik Mesir di bawah pemerintahan interim pimpinan Presiden Adly Mansour malah menjadi semakin runyam lantaran pendukung Mursi tidak hanya melawan dengan kerap mengerahkan massa dalam jumlah besar memprotes kudeta yang dilancarkan el-Sissi dan menuntut pemulihan jabatan Presiden Mursi, tapi juga sering menyerang kaum Nasrani.

Serangan terbaru terjadi pada 20 Oktober lalu atas sebuah Gereja Kristen Koptik di Kairo, menewaskan tiga orang dan melukai 12 lainnya. Perdana Menteri (interim) Hazem el-Beblawi mengecam keras serangan tersebut. Kaum Nasrani menjadi sasaran serangan pendukung Mursi karena mereka dianggap mendukung militer mengudeta Presiden Mursi.

Akan sanggupkah masyarakat Mesir bangkit dan mulai kembali meniti jalan demokrasi yang kelewat terjal tersebut? Sejauh ini belum ada indikasi rakyat sanggup bangkit dan mulai kembali meniti jalan demokrasi negerinya yang teramat terjal itu. Dua kubu yang berseberangan itu sama-sama cenderung memilih tindakan kontrademokrasi dalam memperjuangkan kepentingan politik masing-masing.

Di pihak Mursi, para pendukung menyerang kalangan sekuler, termasuk umat Kristiani. Pihak pemerintahan Mansour yang sekuler dan didukung penuh militer pun melakukan tindakan represif dengan menangkapi aktivis Ikhwanul Muslimin. Hingga kini tidak kurang 2.000 aktivis Ikhwanul ditangkap dan ditahan.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) merespons serius represivitas pemerintah Mesir itu dengan mengancam menghentikan pemberian bantuan rutin senilai 1,5 miliar dolar per tahun. Jika Washington konsisten dengan ancamannya, Mesir bakal kehilangan sumber devisa penting yang sudah berlangsung sejak 1979 itu.


Akibat selanjutnya, Presiden Mansour bisa kalang kabut untuk membiayai operasional pemerintahannya yang akan berlangsung sampai pemilihan umum (pemilu) baru digelar awal 2014. Keadaan itu dikhawatirkan makin memperparah krisis multidimensi dan pada gilirannya menguatkan kekhawatiran akan ketidaksanggupan masyarakat negara itu untuk mulai bangkit kembali meniti jalan demokrasi yang sangat terjal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar