Jumat, 01 November 2013

Daftar Ancaman Pemilu 2014

Daftar Ancaman Pemilu 2014
Tjahjo Kumolo  ;   Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan
SUARA MERDEKA, 30 Oktober 2013

"Ada kekhawatiran pelibatan Lembaga Sandi Negara justru untuk melakukan kecurangan dalam Pemilu 2014"

REKOMENDASI Badan Pengawas Pemilu dan Komisi II DPR agar penetapan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014 ditunda menunjukkan bahwa daftar itu masih bermasalah dan perlu optimalisasi kerja terpadu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sedianya daftar itu ditetapkan pada Rabu, 23 Oktober 2013, namun berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan Komisi II serta partai politik peserta pemilu, KPU memutuskan menetapkannya pada Rabu, 6 November 2013. Keputusan ini diambil setelah KPU menggelar rapat pleno dengan pimpinan parpol peserta Pemilu 2014 yang dihadiri Bawaslu dan Komisi II DPR.

Bawaslu mempermasalahkan data pemilih yang berubah drastis, antara data yang masih di tingkat DPT hingga data di tingkat sistem data informasi pemilih (Sidalih). Jumlah calon pemilih dalam daftar pemilih sementara (DPS) tercatat 187.977.268 orang, di dalam DPT berkurang jadi 186.842.533 orang, dan menjadi 186.351.165 orang setelah DPT diolah Sidalih. Saya mencatat ada sekitar 20,3 juta calon pemilih yang masih bermasalah, dan itu ada di hampir semua wilayah.

Ketua KPU Husni Kamil Manik berdalih, revisi data yang dilakukan KPU, yang menyebabkan perubahan angka itu, merupakan perbaikan pada masalah pemilih ganda, pemilih yang sudah meninggal, dan pemilih tidak jelas, semisal ada yang namanya genderuwo, demit, dan sebagainya.

Data Bergerak

Dalam konteks ini, rapat pleno KPU dan pimpinan parpol bukan untuk memberikan legalitas dan legitimasi terhadap DPT. Pasalnya itu daftar pemilih yang mencerminkan hak konstitusional rakyat untuk memilih. DPT, sesuai ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2012, merupakan tanggung jawab KPU.

Substansi pertemuan KPU dan pimpinan parpol adalah untuk menegaskan bahwa kesahihan DPT yang ditetapkan KPU siap diuji publik, misalnya oleh perwakilan masyarakat prodemokrasi, ahli kependudukan, ahli teknologi informasi, dan mantan anggota KPU yang kredibel seperti Prof Ramlan Surbakti.

Catatan Bawaslu bahwa penetapan DPT oleh KPU tidak harus ada kata diputus final, karena data terus bergerak dan belum tentu bersih, juga harus diperhatikan. KPU harus terbuka, jangan sampai kisruh data pemilu seperti 5 tahun lalu, terulang. Persoalan DPT jangan dilihat hanya dari segi teknisnya, tapi juga menyangkut  konstitusionalitasnya. Jangan lagi DPT menjadi alat kemenangan parpol tertentu dalam pemilu. Bawaslu menemukan fakta masih banyaknya permasalahan dalam DPT, oleh karena itu Pemilu 2014 sebagai pemilu yang jujur dan adil masih menghadapi ancaman serius.

Political will KPU patut dihargai dalam upaya memperbaiki secara konsisten terkait pemutakhiran dan identifikasi data pemilih. Sebab, data awal dari Kemendagri memang amburadul dan tidak bisa menunjang data pemilih untuk kepentingan KPU. E-KTP yang semula ditujukan untuk memperbaiki data kependudukan juga belum selesai sesuai target, terbukti masih ada indikasi bermasalah di beberapa daerah, belum lagi data pemilih luar negeri.

Apa pun, penyelenggaraan pemilu adalah kerja bersama antara KPU, parpol peserta pemilu, pemerintah, dan lembaga-lembaga terkait yang harus benar-benar mencerminkan proses demokrasi yang baik. Artinya, proses mulai hilir (DPT) hingga hulu (sengketa di Mahkamah Konstitusi) harus benar-benar berjalan demokratis, jujur dan adil. Namun melihat kinerja KPU yang belum optimal, dan juga MK yang bermasalah dengan terungkapnya kasus suap Akil Mochtar, saya khawatir proses pemilu akan bermasalah atau rawan kecurangan dari hilir hingga hulu.

Intervensi

Terkait MoU yang diteken KPU dan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) pada 24 September 2013, sebaiknya MoU untuk pengamanan data Pemilu 2014 ditinjau ulang bahkan dibatalkan. Pertama; karena Lemsaneg di bawah TNI, dalam hal ini Kemenhan sehingga ada kekhawatiran pelaksanaan pemilu pada 9 April 2014 rentan intervensi.

Ada lima aspek kerja sama antara KPU dan Lemsaneg dalam MoU tersebut. Pertama; penyediaan dan pengembangan SDM dalam pengamanan sistem dan jaringan teknologi informasi. Kedua; penyediaan perangkat dan sistem pengamanan data dan informasi. Ketiga; pengamanan dokumen elektronik dan distribusinya. Keempat; pengamanan pusat data dan perangkat. Kelima; pengamanan data elektronik dan komunikasi pimpinan KPU.

Dalam hal ini mestinya Lemsaneg bersifat pasif dan tidak perlu aktif, apalagi berinisiatif menyodorkan diri membantu KPU, karena memang bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya. Kedua; karena Lemsaneg berada di bawah pemerintah maka pemilu juga rentan intervensi oleh pemerintah. Bila tidak ingin memberikan beban kepada pemerintah untuk dicurigai, sekali lagi MoU tersebut harus dibatalkan.
Ketiga; MoU KPU dengan Lemsaneg melawan prinsip transparansi dan demokrasi. Pemilu adalah pesta rakyat yang harus digelar secara terbuka, transparan, tanpa ada yang disembunyikan. Ada kekhawatiran pelibatan Lemsaneg justru untuk melakukan kecurangan. Bila memang diperlukan lembaga untuk mengamankan data pemilu, sebaiknya dipakai lembaga independen, misalnya dari perguruan tinggi, agar independensi pemilu tetap terjaga.


Dalam kaitan ini perlu disimak penegasan Panglima TNI Jenderal Moeldoko tentang netralitas TNI dalam pemilu. Sebab itu, sebaiknya Lemsaneg kembali ke tupoksinya. Lemsaneg adalah lembaga intelijen yang sudah seharusnya netral. Kita berharap KPU menuntaskan semua masalah dalam DPT selama penundaan penetapan ini. Pasalnya, tidak hanya parpol peserta pemilu, tapi juga seluruh elemen masyarakat akan terus memantau perkembangan pemutakhiran daftar itu, dengan harapan KPU segera membersihkan data ganda, serta menyajikan daftar yang bersih dan benar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar