Minggu, 03 November 2013

Haji dan Pemberantasan Korupsi

Haji dan Pemberantasan Korupsi
Ribut Lupiyanto  ;  Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration), Yogyakarta, Penulis Buku Teologi Pembangunan
SUARA KARYA, 01 November 2013

Setiap tahun Arab Saudi kebanjiran jutaan tamu dari penjuru dunia. mereka bukan berwisata tapi melaksanakan ibadah haji. Jumlah tamu Allah tersebut rata-rata 4 juta setiap tahun dan Indonesia tercatat sebagai negara pengirim calon jemaah haji terbesar di dunia. Pergi melaksanakan ibadah haji sebagai rukum Islam kelima yang wajib dilaksanakan bagi muslim yang mampu, baik jasmani dan rohani (QS Ali Imron:97), tidak selalu berkorelasi positif dengan kemampuan ekonomi. Karena, berhaji tergantung kesadaran spiritual dan dukungan fisikal.

Idealnya internalisasi spiritualisme haji membekas dan mewujud dalam kehidupan sehari-hari setelah pulang ke tanah air. Haji dengan demikian memiliki potensi besar bagi perbaikan kondisi dan pembangunan bangsa. Refleksi kritis penting dilakukan demi optimalisasi potensi tersebut ke depan.
Kementerian Agama (Kemenag) RI menetapkan kuota jamaah haji tahun ini 168.800 orang. Rincian jumlah tersebut terdiri dari haji reguler sebanyak 155.200 dan haji khusus 13.600 orang. Angka ini hasil pemotongan kuota 20 persen oleh Pemerintah Saudi Arabia terhadap seluruh negara.

Sementra, animo muslim Indonesia untuk menunaikan ibadah haji terbilang tinggi dan terus meningkat setiap tahun. Jumlah haji di Indonesia hingga 2012 ditaksir mencapai 2,2 juta jiwa (1,1%) dari 199,96 juta penduduk muslim (Kemenag, 2013). Persentase tersebut diproyeksilan mencapai lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk muslim pada tahun 2020. Tidak sedikit umat muslim Indonesia yang telah dan akan melakukan haji lebih dari sekali. Angka fenomenal juga ditunjukkan dalam hal daftar tunggu haji. Daftar tunggu haji plus sudah mencapai 76 ribu orang dengan masa tunggu 6-7 tahun. Daftar tunggu haji reguler lebih banyak lagi yaitu 1,7 juta orang dengan masa tunggu mencapai 13 tahun.

Indonesia juga meraih penghargaan, Penyelenggara Ibadah Haji Terbaik Dunia 2013, yang diberikan World Hajj Convention (Kemenag, 2013). Indonesia dinilai mampu menyelenggarakan ibadah haji dengan baik pada musim haji tahun ini. Angka-angka positif tersebut menjadi ironis jika direfleksikan pada kondisi bangsa ini. Moralitas bangsa ini masih terserang penyakit kronis, salah satunya korupsi sehingga korupsi mendesak segera disembuhkan.

Korupsi semakin kompleks, sistemik, dan melewati batas-batas nalar kemanusiaan (hyper corruptus). Indonesia dinilai terkorup ke-58 dari 176 negara (Transparency International, 2012). Hal yang miris adalah beberapa tersangka korupsi maupun koruptor yang telah divonis telah menyandang gelar Haji.
Tidak ada yang salah tentu dengan praktik haji. Kekurangan yang muncul disebabkan oleh pemaknaan ibadah haji yang kurang holistik. Haji sebatas dipraktikkan secara ritual. Internalisasi energi spiritual haji belum diresapi menjadi ajaran kontekstual dan aplikatif.

Energi Antikorupsi

Al-Qardhawi (2002) menegaskan bahwa permasalahan duniawi pada dasarnya merupakan persoalan moralitas sehingga solusi efektifnya dengan revitalisasi nilai-nilai moral. Ritual haji sejatinya mengajarkan banyak pesan moral yang dapat menjadi energi besar bagi spirit pemberantasan korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga tahun 2012 baru mampu menangani 332 (0,59 persen) kasus dari 55.964 laporan pengaduan. Kinerja KPK hingga kini juga masih dominan pada penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pencegahan korupsi masih jauh panggang dari api. Disinilah optimalisasi energi haji penting dikuatkan untut turut membentengi umat Islam dari tindak korupsi.

Pertama, energi ritual. Ibadah memiliki rukun yang wajib dilakukan. Rukun tersebut antara lain ihram, wukuf, tawaf ifadah, sa'i, tahallul, dan tertib. Korupsi terhadap rukun tersebut berarti membatalkan ibadahnya. Selain itu juga ada wajib haji yang meninggalkannya mengharuskan pembayaran denda (dam). Wajib haji terdiri dari niat ihram, mabit (bermalam) di Muzdalifah, melontar Jumrah Aqabah, mabit di Mina, melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah, Tawaf Wada', serta meninggalkan perbuatan yang dilarang saat ihram. Korupsi terhadap wajib haji juga pasti akan dihindari mengingat keutamaan dan efek denda. Refleksi dari ritual ini adalah tumbuhnya energi untuk tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dan tidak melakukan suatu larangan. Energi ini dapat menjadi pondasi benteng antikorupsi pascahaji di tanah air.

Kedua, energi syukur. Tidak semua umat muslim berkesampatan dipanggil sebagai tamu Allah SWT di Baitullah. Faktornya antara lain kemampuan ekonomi, kesadaran, kesehatan, dan lainnya. Artinya mereka yang berangkat haji diringankan Allah dalam berbagai faktor tersebut. Semua ini tentu patut disyukuri bagi mereka yang berhaji. Tidak sedikit pula dari mereka berasal dari kalangan menengah ke bawah. Hal ini juga patut disyukuri karena banyak muslim yang kaya belum melaksanakannya. Tidak ada alasan membanggakan haji karena kemampuan ekonomi. Kesyukuran ini jika ditanamkan dan dibudayakan setiap saat tentu akan menjadi pilar pengerem untuk menjauhi korupsi. Energi syukur akan membentuk pribadi yang senantiasa merasa bercukupan secara materi.

Ketiga, energi sosial dan dakwah. Energi sosial merupakan buah kesyukuran yang membentuk jiwa dermawan dan solidaritas. Jiwa kedermawanan sosial yang tumbuh akan memotivasi hadirnya semangat berkarya secara halal. Kepahaman keutamaan sikap dermawan sekaligus kesia-siaan jika sumbernya haram akan membentengi diri dari godaan korupsi. Pascahaji dakwah antikorupsi mestinya menonjol dan membudaya, sehingga kekuatan agama menunjang pemberantasan korupsi berjalan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar