Hari
Perikanan Sedunia 2013 kembali diperingati tiap tanggal 21 November.
Momentum ini dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan seantero bumi untuk
menegaskan pentingnya memelihara keberlanjutan sumber daya ikan bagi
kehidupan umat manusia. Apalagi 10–12% jumlah populasi dunia bergantung
pada sektor perikanan.
Hampir 55 juta jiwa bekerja di sektor
perikanan skala kecil (FAO, 2012), tak terkecuali 95% pelaku perikanan di
Indonesia. FAO (2012) menyebut tiga tren pengelolaan sumber daya perikanan
dunia. Pertama, kenaikan permintaan ikan dan produk olahannya. Sebanyak 128
juta ton ikan dialokasikan untuk pemenuhan pangan. Dari jumlah itu, 47%-nya
merupakan kontribusi perikanan budi daya. Sementara kebutuhan konsumsi
penduduk dunia per kapita per tahun sebesar 18,4 kg.
Kedua, peningkatan produksi perikanan budi
daya. Pada 2010 jumlah produksi perikanan budi daya mencapai 59,9 juta ton
dari total produksi perikanan dunia yakni 148,5 juta ton dengan nilai
USD199 miliar. Pertumbuhan produksi ini ratarata 8,8% per tahun. Dari
jumlah ini, China menyumbang lebih dari 60%.
Ketiga, lonjakan pertumbuhan perdagangan ikan
dan produk olahannya di dunia. Pada 2010 perdagangan ikan dunia bernilai
USD109 miliar. Sebesar 38%-nya didapat dari aktivitas ekspor. China menjadi
eksportir ikan dunia dengan nilai lebih dari USD13,3 miliar. Menariknya,
lebih dari 50% ikan yang dihasilkan adalah hasil produksi negara-negara
berkembang. Tiga tren perikanan ini mengandaikan kehadiran tata kelola yang
bertanggung jawab. Tanpa hal ini, warga dunia akan dihadapkan pada krisis
ikan akibat perilaku tamak dan barbarnya.
Ancaman
Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat beberapa ancaman terhadap keberlanjutan
sumber daya ikan. Pertama, pencemaran laut. Hingga 2011 tercatat seluas
23,3 juta laut Indonesia tercemar oleh aktivitas industri pertambangan dan
pengolahan ikan. Kondisi ini diperburuk dengan kebiasaan masyarakat
membuang sampah ke sungai yang bermuara ke laut.
Kedua, pemakaian alat tangkap merusak trawl.
Selain merusak kelestarian ekosistem laut, praktik penangkapan ikan yang
tidak berkelanjutan berujung pada konflik di tingkat akar rumput. Sepanjang
2012 terdapat sedikitnya 300 kapal dengan tonase 28-30 GT yang memasang
alat tangkap trawl atau double pair trawlyang beroperasi di perairan
tanjung Balai-Asahan, Sumatera Utara (FKNI, 2012).
Ironisnya, Dinas Kelautan dan Perikanan
setempat tidak menindaklanjuti laporan nelayan tradisional yang ikut
menangkap kapal pemakai trawl. Pada 2013 dua nelayan tradisional terenggut
nyawanya di Langkat, Sumatera Utara. Praktik pemakaian trawl juga mudah
dijumpai di Jawa Tengah dan Kalimantan Utara.
Faktor lain yang menjadikan maraknya pemakaian
trawladalah kebijakan negara terkait pengelolaan perikanan, intimitas
pengusaha perikanan dengan aparat penegak hukum yang berimbas kepada
mandulnya penegakan hukum.
Ketiga, pencurian ikan. Sepanjang 2001–2013
terdapat 6.215 kasus pencurian ikan. Dari jumlah itu, 60% lebih atau 3.782
kasus terjadi hingga November 2012. Ironisnya, menteri kelautan dan
perikanan justru mengesahkan aturan yang membolehkan alih muatan
(transhipment).
Belakangan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor 26/ PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/ 2012
tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan pencurian ikan di
Indonesia. Ini karena: (i) kewajiban memasang VMS (vessel monitoring
system) untuk kapal 30 GT dan asing dilonggarkan; (ii) alih
muatan(transhipment) masih diperbolehkan; dan (iii) ada pengecualian
terhadap komoditas tuna segar untuk tidak diwajibkan diolah di dalam
negeri.
Aturan ini jelas merugikan bangsa Indonesia.
Lebih parah lagi, aturan tersebut tetap berpotensi melanggar mandat Pasal
25B ayat (2) Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, ”Pengeluaran
hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi
dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional”.
Tiga
Solusi
Peningkatan konsumsi ikan nasional sebesar 28
kg/kapita per tahun (2008) menjadi 35,14 kg/kapita per tahun (2013)
menggambarkan kian strategisnya sumber daya ikan bagi upaya pencerdasan
kehidupan bangsa. Ia tak bisa lagi dipandang sebatas komoditas ekspor,
melainkan juga erat terkait dengan politik, budaya, dan religiusitas
masyarakat Indonesia. Dalam konteks ini, upaya yang mesti ditempuh adalah
bersikap arif dalam mengelola sumber daya ikan yang tercermin di dalam pola
kebijakan perikanan nasional.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara 2014, anggaran belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan
ditetapkan Rp5,601 triliun. Anggaran itu menurun 20% jika dibandingkan
dengan APBN Perubahan 2013 yang sebesar Rp6,979 triliun. Penurunan anggaran
kelautan dan perikanan berlangsung ketika total anggaran belanja negara
dinaikkan 5,2% yakni Rp1.816,7 triliun atau naik 5,2% dari pagu belanja
negara pada APBN-P 2013 yang sebesar 6,979 triliun.
Keputusan ini cermin tidak sinkronnya
kesadaran dan tindak-tanduk pemimpin nasional. Berkarakter maritim, tetapi
masih bias daratan. Karena itu, penting untuk direorientasi. Terakhir, pada
2008 terdapat 8.858.315 ton jumlah volume produksi perikanan di Indonesia
(terdiri atas 5.003.115 ton perikanan tangkap dan 3.855.200 ton perikanan
budi daya).
Namun, pada 2012 jumlahnya meningkat menjadi
15.504.747 ton, mencakup 5.829.194 ton perikanan tangkap dan 9.675.553 ton
perikanan budi daya. Peningkatan angka produksi perikanan ini haruslah
diarahkan untuk: (i) menyejahterakan pelaku perikanan Indonesia, khususnya
masyarakat nelayan, dengan model ekonomi kerakyatan, misalnya kerja sama
BUMN dengan organisasi-organisasi nelayan; (ii) mengubah orientasi ekspor
dengan memaksimalkan potensi demografi dalam negeri seperti yang kini
dilakukan oleh China; dan (iii) menghidupkan kemandirian sektor perikanan
nasional melalui reaktivasi BUMN perikanan.
Selamat Hari Perikanan Sedunia 2013!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar