BELUM hilang dari ingatan masyarakat dunia akan bencana
gempa bumi merusak M=7,2 skala richter yang mengguncang kawasan Visayas
Tengah, Filipina, pada 15 Oktober 2013 lalu, kini kita sudah dikejutkan
kembali oleh berita yang memilukan, yaitu terjangan badai dahsyat, Haiyan,
di Filipina.
Seperti
yang sudah diperkirakan sebelumnya, badai tropis Haiyan datang pada Jumat
(8/11) pukul 04.40 waktu setempat, yang selanjutnya menyapu kepulauan
tengah Samar dan Leyte. Hujan deras yang disertai angin kencang memorak-porandakan
seluruh wilayah yang dilewati zona badai. Banjir dan longsoran terjadi di
mana-mana. Air laut bergolak dan menyeruak hingga di ketinggian 6 meter,
selanjutnya menerjang pesisir pantai mirip peristiwa tsunami.
Badai
tropis Haiyan kini menjadi salah satu badai paling dahsyat yang tercatat
dalam sejarah. Badai ini menerjang dengan kecepatan lebih dari 235
kilometer per jam dan embusannya mencapai 275 kilometer per jam. Dengan
kecepatan fantastis ini, Haiyan merupakan badai dengan kategori 5, dampaknya,
banyak rumah mengalami kerusakan parah dan roboh.
Banyak
wilayah akan terisolasi akibat pohon tumbang. Listrik dan air tak dapat
didapatkan dalam hitungan minggu hingga bulan, serta banyak area yang tidak
dapat dihuni. Ternyata benar, Haiyan telah menghancurkan 70-80 persen
bangunan perumahan di daerah-daerah yang dilaluinya.
Kota
Tacloban merupakan kota yang menderita paling parah terkena amukan Haiyan.
Hingga kini belum ada laporan pasti terkait jumlah korban tewas akibat
badai tersebut. Hingga tulisan ini dibuat, sumber resmi pemerintah baru
mengumunkan korban tewas akibat badai mencapai sebanyak 4.000 orang.
Sejarah Badai
Ditinjau
dari sejarah badai merusak di Filipina, badai Haiyan yang terjadi saat ini
hanyalah sebagian dari sejarah panjang bencana badai yang sudah berlangsung
sejak masa lampau. Banyaknya catatan badai merusak di Filipina merupakan
cermin akan kondisi geografis Filipina yang memang merupakan kawasan rawan
badai tropis.
Filipina
adalah negara yang paling berisiko mendapat terjangan badai tropis.
Seringnya kawasan Filipina bagian timur dilanda badai hingga memengaruhi
pola persebaran pemukiman masyarakatnya, misalnya, pantai timur Luzon kini
sangat sedikit penduduknya.
Berdasar
catatan Christopher C Burt dalam Philippines Typhoon History, negara
Filipina memang sering kali menderita akibat terjangan badai. Sejak 1617
hingga saat ini telah terjadi setidaknya 10 kali peristiwa badai yang
mematikan dan menelan banyak korban jiwa.
Catatan
paling tua mengenai peristiwa badai dahsyat di Filipina dimulai sejak 1617.
Badai tropis tanpa nama yang terjadi pada 10 Oktober 1617 menewaskan
sekitar 1.000 orang. Sementara itu, badai tropis paling mematikan yang
pernah terjadi di Filipina adalah Badai Thelma 1991. Badai ini menyebabkan banjir
bandang besar dan longsoran di Kota Ormoc, Provinsi Leyte, dan menewaskan
sekitar 5.000-8.000 orang.
Sejarah
badai merusak di Filipina sudah berlangsung sejak lama dan menelan korban
jiwa hingga puluhan ribu orang. Beberapa peristiwa badai dahsyat yang
pernah terjadi di antaranya adalah (1) Badai Angela yang tahun 1867
menyebabkan 1.800 orang tewas, (2) Badai tropis tanpa nama kembali terjadi
pada 1897 menelan korban jiwa 1.500 orang tewas, (3) Badai Ike tahun 1984
menghantam kepulauan Filipina bagian tengah hingga menyebabkan sebanyak
1.492 orang tewas,
(4)
Badai Winnie yang terjadi pada tahun 2004 menelan korban 1.593 orang tewas,
(5) Badai Reming tahun 2006 menelan korban sebanyak 1.399 orang tewas, (6)
Badai Fengshen 2008 menelan korban 1.410 orang tewas, (7) Badai Washi yang
terjadi pada tahun 2011, menghantam bagian utara Pulau Mindanao menyebabkan
sebanyak 1.268 orang tewas, (8) Badai Bopha 2012 menerjang Pulau Mindanao
hingga menyebabkan 1.146 orang tewas.
Secara
statistik aktivitas badai di Filipina menunjukkan bahwa, frekuensi kejadian
badai tropis paling rendah terjadi pada bulan Mei. Selanjutnya aktivitas
kembali meningkat pada periode bulan Juni-September. Bulan Agustus menjadi
bulan paling aktif terjadi badai di Filipina. Selanjutnya, aktivitas badai
kembali menurun secara signifikan pada bulan Oktober.
Pemanasan Global
Danpak
dari pesatnya perkembangan teknologi adalah munculnya risiko bencana lebih
besar yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh manusia. Pola kehidupan
modern yang cenderung konsumtif dan dengan kebebasan mengekplotasi sumber
daya alam kini telah menciptakan masyarakat yang justru hidup dalam
ketidaknyamanan karena selalu berada dalam bayang-bayang ancaman bahaya.
Peristiwa
superbadai terjadi tidaklah murni semata-mata akibat proses sistem alam
saja. Ada indikasi keterlibatan tangan-tangan manusia (antropogenic) yang juga ikut memengaruhi proses semakin
besarnya magnitudo dan intensitas badai.
Penggunaan
bahan bakar fosil yang berlebihan dan tanpa kendali, praktek illegal
logging yang terus berlangsung dengan membabat habis hutan-hutan tropis
telah memicu naiknya suhu di permukaan bumi. Suhu laut meningkat 0,5
derajat celsius sejak seabad terakhir merupakan dampak nyata dari pemanasan
global, sementara badai sendiri terbentuk akibat tingginya suhu permukaan
air laut.
Pakar
pemodelan iklim dari National Center for Atmospheric Research, Colorado,
Amerika Serikat, Kevin E Trenberth, menyatakan bahwa dengan suhu air laut
yang lebih hangat dengan kelembapan udara di lautan 4 persen lebih tinggi
akan memicu terbentuknya badai tropis yang lebih banyak dari biasanya. Ada
kecenderungan badai dengan kategori 3 atau di atasnya meningkat makin
sering terjadi.
Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa sejak tahun 1970-an durasi dan intensitas
badai besar yang melanda kawasan Atlantik dan Pasifik mengalami
peningkatan. Selain itu, curah hujan akibat dampak badai kini akan menjadi
5–10 persen lebih besar dari biasanya.
Fakta
tersebut di atas patut kita renungkan bersama. Jika degradasi alam terus
berlangsung dan tidak ada upaya untuk menghentikannya, bisa jadi bencana
alam besar akan lebih sering menghampiri kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar