Jumat, 08 November 2013

Benang Kusut Solusi Suriah

Benang Kusut Solusi Suriah
Zuhairi Misrawi ; Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah di The Middle East Institute
KOMPAS, 08 November 2013


DI Paris, Adonis—pemikir Arab kontemporer—menyampaikan kepada penulis bahwa posisi Bashar al-Assad saat ini jauh lebih kuat daripada era-era sebelumnya.

Assad mampu memanfaatkan friksi politik di dalam negeri dan kartu geopolitik yang lebih menguntungkan rezimnya. Lebih jauh, Adonis melakukan penelusuran geneologis terhadap akar yang penyebab mengapa rezim otoriter mampu melanggengkan kekuasaannya, yakni karena kekuatan nalar sektarianisme dalam lanskap politik Arab.

Pasca-jatuhnya Dinasti Ottoman di Turki (1923), dunia Arab tak mampu membangun negara- bangsa yang mengedepankan kepentingan bersama. Di permukaan, mereka berupaya membangun negara-bangsa, tetapi hakikatnya kekuasaan hanya dikuasai sekte dan kelompok tertentu.

Tanpa solusi

Pasca-tercapainya kesepakatan antara Rusia dan Amerika dalam rangka memusnahkan senjata kimia sebagai alternatif dari invasi terhadap rezim Assad, harus diakui kesepakatan itu tak berdampak apa-apa dalam konteks friksi politik di Suriah. Bahkan, pihak oposisi menuding AS, khususnya Obama, hanya mengedepankan kepentingan politiknya, bukan kepentingan rakyat Suriah.

Arab Saudi dan negara-negara Arab yang bergabung dalam Liga Arab juga amat kecewa terhadap sikap AS karena tak menyodorkan solusi tuntas atas krisis berkepanjangan di Suriah. Sikap yang diambil AS sangat bertentangan dengan hasil pertemuan Liga Arab di Mesir, yang mendukung sepenuhnya serangan militer ke Suriah. Arab Saudi dan beberapa negara Teluk lainnya bahkan bersedia membiayai aksi militer tersebut.

Menurut Liga Arab dan pihak oposisi Suriah, membiarkan rezim Assad berkuasa berarti melegalkan rezim membombardir pihak oposisi, yang posisinya semakin terjepit akibat lemahnya amunisi persenjataan. Di samping itu, pihak oposisi terfragmentasi dalam beberapa kelompok, yang semakin melemahkan kekuatan mereka.

Bashar al-Assad memang punya kartu politik yang kerap digunakan sebagai bahan diplomasi dengan Barat, yaitu keberadaan Al Qaeda di barisan oposisi. Sayap Al Nusra ditengarai telah menguasai beberapa wilayah, dengan agenda membangun negara Islam di Suriah. Faktanya, setiap wilayah yang dikuasai Al Qaeda otomatis diberlakukan penerapan syariat Islam. Al Qaeda punya agenda serius menjadikan Suriah sebagai Afganistan jilid dua.

Saat ini pihak oposisi dari suku Kurdi sedang berjibaku melumpuhkan sayap Al Qaeda di Suriah karena mereka dianggap sebagai ancaman bagi perjuangan oposisi dalam melengserkan rezim Assad, sekaligus tantangan bagi masa depan Suriah pasca-Assad. Dalam hal ini, baik AS maupun Rusia menjadikan Al Qaeda sebagai tantangan yang cukup serius bagi masa depan Suriah pasca-Assad. Metamorfosis Taliban menjadi Al Qaeda di Afganistan merupakan pelajaran berharga bagi tatanan politik pascakrisis.

”Geneva 2”

Maka, solusi paling mujarab adalah memulai kembali perundingan sebagai upaya memecahkan masalah dalam negeri. Pertemuan Geneva 2 yang akan diagendakan akhir tahun ini, atau awal tahun depan, yang akan mempertemukan semua faksi politik Suriah merupakan kesempatan emas untuk keluar dari benang kusut solusi Suriah.

Ada tiga agenda besar yang harus dicapai dalam perundingan tersebut. Pertama, semua pihak harus punya komitmen kuat menghentikan segala bentuk konflik dan kekerasan. Hal itu perlu dilakukan segera karena potensi jatuhnya korban dalam jumlah besar tidak terelakkan.

Korban jiwa selama konflik sudah lebih dari 100.000 orang, jumlah yang sangat besar. Jika dibandingkan tragedi musim semi di beberapa negara Arab lainnya, seperti Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya, tragedi yang menimpa Suriah sudah tergolong dalam pelanggaran kemanusiaan yang mahaberat. 

Dunia internasional harus mengambil langkah serius guna menghentikan konflik dan kekerasan, serta mendorong semua pihak duduk bersama mencari jalan keluar secara politik untuk membangun kembali Suriah dari keterpurukan, serta keluar dari pihak-pihak yang memancing di air keruh, seperti rencana besar Al Qaeda.

Kedua, transisi kekuasaan. Solusi ini mutlak diperlukan karena salah satu upaya menghentikan kekerasan adalah turunnya Bashar al-Assad dari kursi kekuasaan. Perundingan Geneva 1 pada Juni 2012 telah merekomendasikan perlunya transisi kekuasaan kepada otoritas yang inklusif.

Sayangnya, solusi tersebut tak bisa diimplementasikan karena Rusia dan China masih berkomitmen mendukung rezim Assad. Menurut Rusia, Suriah merupakan mitra strategis yang penting di Timur Tengah, di samping Iran, yang harus disokong dan dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Karena itu, Rusia selalu menggunakan veto dan berbagai macam terobosan diplomatik untuk menghambat rencana AS dan negara-negara Eropa dalam melancarkan serangan militer ke Suriah.

Sebenarnya, sikap Rusia dalam memberikan dukungan penuh terhadap rezim Assad menjadi batu sandungan yang cukup serius bagi solusi politik di Suriah. Idealnya, Rusia menjadi mediator untuk mencapai titik temu dalam rangka mewujudkan transisi kekuasaan yang damai. Karena itu, Rusia punya peran sangat strategis dalam rangka meyakinkan Iran, Hizbullah, dan rezim Assad agar memenuhi tuntutan publik perihal transisi kekuasaan. Sebab tak ada solusi politik paling bisa diterima semua pihak untuk menghentikan kekerasan, kecuali transisi kekuasaan.

Ketiga, perhatian terhadap masalah kemanusiaan, baik warga negara yang masih tinggal di Suriah maupun para pengungsi yang berada di beberapa negara Arab. Keberadaan makin mengkhawatirkan karena perundingan di level internasional hanya fokus pada solusi politik dan mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah solusi kemanusiaan. Padahal, masalah kemanusiaan jauh lebih mendesak dipecahkan agar memberikan kemungkinan bagi pihak-pihak yang tidak terlibat dalam konflik, atau mereka yang jadi korban konflik, tak mudah direkrut oleh Al Qaeda dan pihak-pihak yang punyai agenda politik di Suriah.

Intinya, perundingan Geneva 2 merupakan kesempatan emas untuk memecahkan beberapa persoalan tersebut. Hanya saja, jalan menuju perundingan masih menimbulkan kendala karena pihak oposisi memandang perundingan tak memberikan dampak pada tataran operasional di lapangan. Faktanya, rezim Assad masih berkuasa dan makin kuat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar