Kamis, 03 Oktober 2013

Urgensi Uang Bersama ASEAN

Urgensi Uang Bersama ASEAN
Effnu Subiyanto  ;  Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep),
Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
SUARA KARYA, 02 Oktober 2013


Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) kembali membuat masalah di Indonesia. Awal semester II tahun ini nilai tukar mata uang Indonesia pernah jatuh sampai Rp 12.000 per dolar AS lebih dan terus mencari ekuilibrium baru. Indonesia mendapatkan akumulasi dampak eksternal yang menekan mata uang rupiah, dari defisit transaksi ekspor-impor, kenaikan harga minyak mentah dunia, krisis politik Timur Tengah, jatuh tempo pembayaran utang valuta asing dan dampak krisis zona Eropa yang belum juga selesai sejak 2007.

Indonesia kini harus menelan pil pahit dari implementasi rezim devisa bebas sejak 14 Agustus 1999 itu. Pandangan bahwa mata uang beberapa negara juga mengalami nasib sama hanya sekedar menyenangkan, padahal penurunan nilai mata uang rupiah menjadi yang terburuk di kawasan yang sama dihitung sejak 4 tahun lalu. Artinya, ada yang salah dengan sistem rezim moneter yang dipilih oleh Indonesia dan secepatnya harus dievaluasi.

Persoalan moneter Indonesia adalah head-to-head dengan moneter AS. Padahal, kapitalisasi mata uang negeri Paman Sam ini 19,4 persen di dunia (Hewitt, M, 2009) atau sekitar 862,3 miliar dolar AS. Nilai akumulasi uang seluruh dunia tahun 2009 dalam dolar AS adalah 4,5 triliun dolar AS dengan volume penambahan 9,09 persen per tahun. Jadi, pada 2012 lalu, jumlah mata uang seluruh dunia adalah 5,84 triliun dolar AS, artinya volume uang AS sendiri sudah mencapai 1.133,36 miliar dolar AS.

Sementara itu, jumlah uang Indonesia yang beredar sekarang ini adalah Rp 403 triliun per Juni 2013 dengan pertumbuhan 15-16 persen per tahun. Kalau melihat kapitalisasinya, Indonesia per tahun defisit neraca perdagangan ekspor-impor sebesar 6,383 miliar dolar AS maka kocek Indonesia akan semakin menyusut dari hari ke hari.

Artinya, rezim devisa bebas yang dianut Pemerintah Indonesia benar-benar dalam risiko tinggi. Ekonomi Indonesia hanya 3,59 persen terhadap AS namun membiarkan mekanisme pasar menentukan sendiri ekuilibrium nilai tukar rupiah. Padahal titik ekuilibrium itu bukan hasil perhitungan matematis yang pasti.
Berbahayanya apabila uang dolar AS tersebut kembali ke negaranya jika, misalnya, The Fed memutuskan menaikkan tingkat suku bunganya. Sudah 4 tahun sejak 2009 Bank Sentral AS mematok suku bunga 0,25 persen dan kini mulai ancang-ancang hendak dinaikkan. Ini terutama Bank Sentral Eropa (ECB) akan menaikkan suku bunganya dari 0,5 persen saat ini setelah 2 Mei 2013 menurunkan 0,25 basis poin dari 0,75 persen.

Tidak ada rumus yang pasti bagaimana mekanisme pembentukan nilai tukar mata uang di pasar. Nilai tukar itu merupakan kombinasi nilai akumulasi intrinsik dan ekstrinsik, hukum normatif supply-demand, gabungan unsur rasional dan irasional termasuk adanya pengaruh para makelar uang. Karena itu, kendati secara volume mata uang Indonesia 3,59 persen terhadap mata uang dolar AS yang seharusnya Rp 4 per dolar AS secara normal, namun kini menyentuh Rp 10.800 per dolar AS dan terus meningkat. Nilai riil mata uang Indonesia hanya 0,01 persen saat ini terhadap mata uang dolar AS. Titik ekuilibriumnya selalu berubah dengan cepat tergantung situasi.

Dengan demikian aplikasi rezim devisa bebas itu sendiri adalah pengakuan sikap irasional nilai tukar mata uang dari pemerintah sendiri. Konsekuensinya sangat mahal, jika spekulan kaya seperti George Soros berulah untuk tujuan tertentu sampai hendak mengganti pemerintahan, cukup dengan menguasai sejumlah dolar AS maka jatuhlah rupiah.

Pasar Potensial

Mata uang negara kini sudah berubah menjadi kekuatan rezim yang berpengaruh. Saat ini ada 4 mata uang berpengaruh dunia, yakni dolar AS itu sendiri, yen Jepang, Euro dan yuan China. Negara ASEAN pernah menggagas hendak membuat mata uang bersama untuk menaikkan martabat ekonomi kawasan. Kalau melihat kondisi sekarang, penyatuan mata uang bersama ASEAN sudah harus menjadi urgensi utama.

Kapitalisasi ekonomi 10 negara dalam ASEAN jika digabungkan memang cukup besar dan akan menjadi sangat diperhitungkan AS. Pada akhir tahun lalu, nilai PDB ASEAN adalah 2,15 triliun dolar AS. Jika enam negara yang kini menjadi mitra dagang erat dengan ASEAN, yakni Korea Selatan, Selandia Baru, Jepang, India, China dan Australia digandeng bersama maka kekuatan PDB ASEAN ditambah enam negara tersebut adalah 19,81 triliun dolar AS.

Dengan pembentukan uang bersama maka kawasan ASEAN akan menjadi small open economy (Purwono, R, 2008) atau wilayah baru yang mandiri secara ekonomi. Dapat menentukan harga CPO sendiri, memutuskan harga tembakau yang kini ditentukan pasar Bremen, Jerman, mematok harga gas, harga minyak, harga batu bara sampai harga emas sendiri. Bahkan, harga kedelai kini ditentukan pasar kartel yang dibentuk oleh USDA (United States Department of Agriculture). Kemandirian harga-harga akan diperoleh dibanding sekarang yang ironisnya setiap harga-harga dikontrol oleh negara lain yang justru tidak memiliki kapasitas memproduksi.


Dengan keuntungan demografinya, negara-negara ASEAN yang berjumlah 602,8 juta jiwa adalah pasar bagi negara maju seperti AS dan Eropa. Jika enam negara mitra dagang ASEAN dapat bergabung maka demografinya melesat menjadi 3,39 miliar jiwa. Ketika mayoritas barang dan jasa dapat dipenuhi dari negara sekawasan zona penyatuan mata uang bersama, maka produk AS akhirnya berangsur-angsur dapat ditinggalkan. Konsekuensinya adalah kebutuhan dolar AS lambat laun akan berkurang sehingga nilai tukarnya kembali pada tingkat realistis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar