Rabu, 23 Oktober 2013

Tradisi dan Identitas Bangsa

Tradisi dan Identitas Bangsa
Bernando J Sujibto  ;   Penulis tengah mengikuti Program Master Sosiologi di Selcuk University Konya, Turki
KORAN JAKARTA, 19 Oktober 2013


Fakta seperti ini menjadi tantangan mahasiswa internasional karena membawa nama bangsa dan negara di mata orang lain. Segala yang berkaitan dengan kebanggaan sebuah bangsa harus ditanamkan sejak dini sehingga ketika di depan bangsa lain, tidak “gagu”.

Menjelang Hari Batik Nasional, 2 Oktober 2013 lalu, saya mendapat sebuah hadiah yang secara spontan memaksa menerawang bingkai nasionalisme yang terkandung dalam hayat. Pada akhir September itu, saya tengah berada di sebuah kelas internasional bersama mahasiswa dari berbagai negara yang sedang belajar di sesi persiapan bahasa Turki di sebuah universitas swasta di Kota Konya, Turki.

Hari pertama menjadi wahana perkenalan semua mahasiswa asing yang sedang berkumpul dalam satu kelas. Seperti diminta dosen, kami memperkenalkan nama, asal negara, tokoh kebanggaan dari negara masing-masing, termasuk lagu kebanggaan. Boleh lagu kebangsaan ataupun lagu-lagu lain yang spesial.

Saya menyebut Soekarno sebagai tokoh kebanggaan dan Indonesia Raya sebagai lagu kebanggaan. Begitu juga yang dilakukan mayoritas mahasiswa yang berjumlah sekitar 25 orang. Misalnya, dari Afrika banyak menyebut nama Nelson Mandela sebagai tokoh kebanggaan mereka.

Kini, giliran mahasiswi dari Malaysia, seorang mahasiswi yang mendapat beasiswa dari pemerintah Turki untuk studi sarjana strata 1 di Selcuk Universityö Konya. Saya sangat menunggu aksi teman yang satu rumpun ini. Saya penasaran apa dan siapa yang akan disebut di depan kelas sebagai kebanggaannya.

Dia menyebutkan nama artis sebagai kebanggaan. Saya hanya mengangguk sembari menunggu lagu kebanggaan yang akan ditunjukkan. Mata saya tiba-tiba terbelalak ketika dia menuliskan kalimat, "Rasa Sayang Hey" di papan tulis. Mata saya mendadak nanar. Saya tidak percaya ini.

"Itu Rasa Sayange, bukan? Itu lagu Indonesia. Saya kenal," tiba-tiba Michiko berbisik di samping saya. Perempuan berusia sekitar 40-an asal Jepang itu pernah mengajar di Undip Semarang selama dua tahun. Dia tampak terperangah. Dengan bahasa Indonesia yang pelan, saya bilang bahwa lagu daerah itu milik Indonesia, tapi diklaim pemerintah Malaysia. Michiko mengangguk. Di tengah-tengah kami mengobrol samar-samar, teman dari Malaysia ini ternyata meminta semua kelas ikut menyanyikannya. Dia menyontohkan cengkok dan irama "Rasa Sayang Hey."

Saat itu, lidah saya kelu dan tidak bisa mengikuti irama keramaian lagu "Rasa Sayang" yang dikomandani wanita Malaysia tersebut di depan kelas.

Pengalaman tadi menjadi setangkup pelajaran bagi saya, dan tentu bagi bangsa Indonesia yang sedang memikirkan secara seksama cara mengelola dan mengembangkan khazanah serta kekayaan tradisi lokal. Sekitar tahun 2007, Rasa Sayange diklaim Malaysia dengan cara memasang lagu itu di situs promosi resmi Departemen Pariwisata Malaysia. Saat itu, saya masih di Indonesia dan mengalaminya secara tidak langsung, lewat media massa. Tapi hari itu, saya benar-benar menyaksikan sendiri, Rasa Sayange diklaim milik Malaysia sebagai lagu kebanggaan di depan mahasiswa internasional.

Secara promosi, Malaysia telah berhasil meyakinkan generasi bangsanya, yang waktu itu mungkin dia masih di bangku SMP, untuk mengakui dan membanggakan, Rasa Sayang Hey bagian kebudayaan Malaysia. Cara Malaysia dalam mempromosikan lagu ternyata bukan hanya untuk "memanas-manasi" pemerintah Indonesia, tetapi benar-benar menancapkan pengaruh kepada generasi muda. Mungkin anak-anak muda Malaysia sejak tahun 2007 sudah dibombardir dengan lagu tersebut sebagai kebanggaan mereka. Maka, tidak mengejutkan jika kemudian Sayange sebagai lagu kebanggaan.

Identitas

Saat saya belajar di negeri orang, identitas kebangsaan terusik. Kebanggaan bangsa dan negara akan khazanah dan kebudayaan sulit ditemukan di negara lain. Poin ini akan menjadi semacam bargaining position yang bisa dijadikan modal dalam komunikasi lintas budaya. Ketika tidak memunyai identitas dan kebanggaan yang bisa ditunjukkan, saat itu pula seorang warga negara tak "beridentitas." Fakta seperti ini menjadi tantangan mahasiswa internasional karena membawa nama bangsa dan negara di mata orang lain. Segala yang berkaitan dengan kebanggaan sebuah bangsa harus ditanamkan sejak dini sehingga ketika di depan bangsa lain, tidak "gagu".

Pelajaran peristiwa tersebut adalah penting sekali internalisasi identitas nasional. Identitas Indonesia plural terdiri dari banyak tradisi dan kebudayaan yang telah membentuk kesatuan di bawah panji Merah Putih.

Pemerintah dan semua stakeholder harus mampu menciptakan sistem guna menanamkan nilai-nilai idetitas kebangsaan terserap secara maksimal dan merasuk ke dalam alam kesadaran bangsa.

Dalam konteks percaturan hukum global, legitimasi menjadi kata kunci untuk khazanah ataupun warisan-warisan intelektual bangsa. Legitimasi dan pengakuan akan mengantarkan sebuah entitas budaya sebagai keutuhan yang terikat dan kuat. Legitimasi dibangun melalui jalur diplomasi ataupun promosi kuat dan tegas. Legitimasi menunjukkan kekuatan bangsa di depan negara ataupun warga lain. Misalnya, ketika orang menyebut angklung, tanpa ragu warga Indonesia teguh karena sudah punya legitimasi hukum berupa pengakuan dari UNESCO sebagai milik Indonesia yang berasal dari Sunda.

Akhirnya, saya harus mengatakan bahwa jalur diplomasi tentang khazanah kekayaan tradisi masih lemah. Di samping itu, promosi baik di internal ataupun luar belum maksimal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar