Rabu, 23 Oktober 2013

Tata Devisa Hasil Ekspor

Tata Devisa Hasil Ekspor
Aunur Rofiq  ;   Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi
KORAN JAKARTA, 21 Oktober 2013



Devisa negara, dalam sepuluh tahun terakhir, meningkat tajam dari di bawah 20 miliar dollar AS pada tahun 2000an menjadi sekitar 50 miliar dollar AS dalam kurun waktu 2005-2008. Pada akhir Desember 2012, cadangan devisa mencapai 112 miliar dollar AS. Selama akhir Desember 2012 hingga Juli 2013, cadangan devisa tergerus 20,11 miliar dollar AS atau setara 220,8 triliun rupiah. Selama periode itu, cadangan devisa cenderung terus menyusut. Jumlah cadangan devisa per akhir Agustus 2013 mencapai 92,9 miliar dollar dan awal Oktober ini, Bank Indonesia merilis data bahwa cadangan devisa meningkat menjadi 95,7 miliar AS. 

Asal cadangan devisa terbesar dari minyak dan gas yang juga menjadi sumber penerimaan negara penting di luar pajak. Migas dan hasil tambang juga berperan dalam mendorong pembangunan daerah. Sejak diperkenalkan otonomi daerah dan perimbangan pemerintah pusat dan daerah di era reformasi, bagi daerah penghasil migas dan tambang sangat diuntungkan dengan konsep bagi hasil dalam pengelolaan anggaran negara. Meski cadangan devisa terus meningkat, sesungguhnya masih belum optimal. Sebagaimana disampaikan Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, devisa hasil ekspor (DHE) yang telah masuk ke perbankan dalam negeri baru mencapai 85,3 persen dari target DHE per Januari 2013 yang ditetapkan BI. Pada Januari lalu, pemenuhan DHE yang dikelola perbankan mencapai 128,5 miliar dollar AS. 

Salah satu hambatannya adalah pemenuhan DHE dari sektor migas belum bisa berjalan mulus karena kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) bukan perusahaan eksportir. Sebab, kerja sama pengembangan blok migas telah diatur berdasarkan production sharing contract (PSC). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, selama periode Januari-Juni 2013, di sektor nonmigas, ekspor bahan bakar mineral menempati posisi teratas yang menyumbang devisa terbesar. 

Nilai ekspor bahan bakar mineral mencapai 12,97 miliar dollar AS, selanjutnya lemak dan minyak hewan/nabati senilai 9,61 miliar dollar AS, mesin/peralatan listrik sebesar 5,2 miliar dollar AS. Sementara itu, karet dan barang dari karet menyumbang 4,9 miliar dollar AS. Namun, selama periode itu, ekspor sektor migas masih terbesar, mencapai 16,28 miliar dollar AS. Ekspor minyak mentah menyumbang devisa 5,11 miliar dollar AS, hasil minyak 2,06 miliar dollar AS, dan gas senilai 9,1 miliar dollar AS. 

Devisa hasil migas diperoleh dari bagi hasil kontraktor asing dan domestik yang berhasil menyedot minyak dan gas dari perut bumi Indonesia. Migas tersebut wajib diekspor dan sebagian hasil ekspor wajib disetorkan ke pemerintah melalui mekanisme bagi hasil dan pajak ekspor. 

Peran dan sumbangan migas, selain mampu meningkatkan cadangan devisa secara signifikan, berperan penting bagi sumber penerimaan negara dalam APBN. Dalam RAPBN 2014, penerimaan sektor migas direncanakan mencapai 286 triliun rupiah. Ini naik dari rencana semula sebesar 252,3 triliun rupiah. Peningkatan penerimaan sektor migas ini dipengaruhi sejumlah faktor seperti kurs, Indonesia crude oil, serta pengurangan cost recovery. Investasi di sektor migas juga terus meningkat. Investasi sektor energi dan sumber daya mineral tahun 2005 “hanya” 11.850 miliar dollar AS menjadi 19.765 miliar dollar AS pada tahun 2009. 

Pada 2011, investasi di sektor energi sebesar 27,19 miliar dollar AS, sedangkan 2012 kembali meningkat menjadi 33,7 miliar dollar AS. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan investasi di sektor energi tahun ini mencapai 38,94 miliar dollar AS (376 triliun rupiah). Hal tersebut menunjukkan Indonesia masih menjadi daya tarik investor sebagai sasaran investasi. 

Devisa negara bisa jadi akan meningkat pesat, jika kebijakan devisa hasil ekspor benarbenar bisa diparkir di bank dalam negeri. Ada Peraturan BI No 13/20/ PBI/2011 dan Surat Gubernur BI No 14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012 yang mewajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang serta migas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Namun, PBI tersebut dinilai tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri. 

Salah satu penyebabnya tidak ada kewajiban menaruh devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu (holding period), misalnya dalam enam bulan. Sebab aturannya hanya melaporkan sehingga devisa kembali lagi ke luar negeri. Jadi, negara tidak dapat manfaat. 

Thailand sukses mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat. Dalam UU Devisa di Thailand tersebut ada kewajiban untuk menempatkan DHE di bank lokal dalam periode tertentu atau disebut holding period. 

Mengelola 

Secara teoretis, sumber devisa bisa dari aktivitas ekonomi swasta dan pemerintah. Sumber devisa swasta umumnya berasal dari hasil ekspor dan investasi asing, baik jangka panjang dalam bentuk penenaman modal asing maupun jangka pandek dalam wujud portfolio investasi. Ini termasuk devisa hasil keringat tenaga kerja Indonesia di luar negeri. 

Sementara itu, pasokan valas dari kegiatan ekonomi pemerintah antara lain berasal penerimaan hasil migas serta penerbitan surat berharga dalam valuta asing. Lalu lintas barang dan modal tersebut bisa dilihat dalam ikhtisar neraca pembayaran. Neraca pembayaran merupakan suatu Meningkatnya cadangan devisa, akhir-akhir ini, meski kemudian merosot lagi akibat pelemahan nilai tukar rupiah, di satu sisi dapat mendukung kegiatan perekonomian untuk mendukung kebijakan moneter terutama dalam stabilitas nilai tukar. 

Cadangan devisa yang besar juga dapat menjaga kredibilitas negara di mata internasional, termasuk menghadapi krisis. Bila cadangan devisa kuat, spekulan tidak mudah memainkan mata uang. Cadangan devisa besar juga dapat untuk meningkatkan kemampuan pembayaran utang luar negeri pemerintah. 

Meski demikian, cadangan devisa yang besar juga membawa implikasi semakin meningkatnya beban yang ditanggung perekonomian karena juga menaikkan jumlah uang beredar. Jika peningkatan uang beredar yang berasal dari konversi valas lebih besar dari kegiatan sektor riil atau produktif, akan menimbulkan beban perekonomian seperti inflasi. BI sebagai otoritas pengelola devisa negara juga harus mampu menatanya dengan baik seoptimal mungkin agar cukup untuk mendukung kegiatan ekonomi dan moneter. 

Ketika cadangan kecil, sering BI hanya fokus pada keamanan dan likuiditas. Kini seiring dengan kenaikan cadangan devisa semakin membuka peluang diversifikasi pengelolaan melalui pembentukan jenis portofolio investasi. Cadangan devisa tidak hanya penting dari ikhtisar yang meringkas transaksi-transaksi penduduk suatu negara dan negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 

Neraca pembayaran mencakup pembelian serta penjualan barang dan jasa. Ada juga hibah dari individu dan pemerintah asing serta transaksi finansial. Umumnya neraca pembayaran terbagi atas neraca transaksi berjalan dan neraca lalu lintas modal dan finansial serta item-item finansial. 

Besaran jumlah yang disimpan, tetapi juga pengelolaannya. Komposisi dan alokasi devisa baik atas dasar currency diversification maupun assets class diversification (mencakup tidak hanya surat utang negara) juga sangat penting. Untuk menjaga cadangan devisa, juga bisa dilakukan dengan kerja sama antara bank sentral bilateral maupun multilateral. 

Langah ini akan sangat menguntungkan dari sisi pendalaman pasar keuangan domestik dan strategi pertahanan saat krisis. Perlu juga mengelola devisa demi mendukung pembiayaan perekonomian nasional dengan menempatkan pada lembaga kerja sama multilateral yang memiliki proyek investasi di Indonesia seperti Asian Development Bank atau Islamic Development Bank. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar