|
Terkait dengan polemik kata Allah, menurut
cendekiawan muslim Prof Dr Nurcholish Madjid (almarhum), kata
"Allah" bukan hanya eksklusif milik umat Islam. Cak
Nur menunjuk bahwa Quran juga menegaskan bahwa orang-orang
Yahudi dan Kristen juga menyembah Allah.
Pengadilan banding Malaysia melarang pemakaian kata "Allah" untuk menyebut "Tuhan" dalam surat kabar mingguan Katolik, Herald, Senin, 12 Oktober 2013. Keputusan ini sekaligus membatalkan izin Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur pada 2009 yang membolehkan penganut Katolik Roma memakai kata Allah.
Pada 2008, pemerintah mengancam akan menarik izin penerbitan surat kabar Katolik, Herald, di Malaysia jika terus menggunakan kata Allah. Namun pengadilan tinggi memutuskan bahwa kata "Allah" bukan eksklusif milik umat Islam, melainkan bisa dipakai siapa pun. Pemerintah Malaysia kemudian mengajukan banding dan menang. Menurut panel hakim pengadilan banding, kata "Allah" merupakan eksklusif milik umat Islam. Kata "Allah" juga dinilai bukan merupakan bagian integral dari kepercayaan Kristiani (Tempo.co, 14 Oktober 2013).
Keputusan pengadilan banding Malaysia juga ditentang umat Hindu Malaysia. Sebab, umat Hindu juga punya bukti tertulis bahwa kata Allah telah digunakan oleh orang Hindu India untuk menamai Tuhan mereka. Kata Allah diambil dari sebutan Sanskerta untuk Dewi Dhurga (dewi bulan-Allah). Dan nama "Allah" ini sebenarnya juga terdapat dalam kitab suci Hindu, yaitu Rigveda (Book 3 Hymn 30 V.10).
Pertama, keputusan pengadilan banding Malaysia sungguh penulis hargai. Maklum, polemik kata Allah di Malaysia kerap kali berujung pada kerusuhan. Tercatat ada sembilan gereja diserang gara-gara polemik ini (Koran Tempo, 9 hingga 13 Januari 2010). Jadi, secara tersirat, pengadilan banding Malaysia tampaknya punya motif menjaga agar polemik kata Allah itu tidak kontraproduktif dengan upaya pemerintah menjaga keutuhan negeri jiran ini.
Aliran Kristen
Bahkan beberapa aliran Kristen di Tanah Air ada yang pernah menggugat penggunaan kata Allah, sebagaimana kata itu dipakai dalam Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), yang dipakai secara luas oleh sebagian besar umat Kristiani (Protestan). Karena terus digugat, LAI sampai membuat penjelasan resmi pada 21 Januari 1999 bahwa: "Dalam terjemahan-terjemahan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, kata 'Allah' sudah digunakan terus-menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa Melayu yang pertama (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692), begitu juga dalam Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus Cornelius Klinkert, 1879) sampai saat ini."
Mereka yang tak puas dengan penjelasan LAI sampai menerbitkan Alkitab tersendiri, yang membuang semua kata Allah. Aliran kecil Kristen ini menerbitkan "Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru", Indonesian Literal Translation (ILT), terbitan Yayasan Lentera Bangsa, Jakarta, 2008. Argumentasi penolakan mereka didasarkan pada buku yang berjudul Allah dalam Kekristenan, Apakah Salah, karya Yakub Sulistyo, S. Th., M.A., (2009).
Untuk melawan aliran penentang kata Allah itu, seorang pendeta Kristen bernama A.H. Parhusip menerbitkan buku kecil berjudul Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh. Buku itu juga menjawab pertanyaan "Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita manusia hendak memanggil Pencipta itu? Buku itu menjawab: "Terserah pada Anda! Mau panggil 'Pencipta!', Boleh! Mau panggil 'Perkasa!', Silakan! Mau panggil 'Debata!', Boleh! Mau panggil 'Allah!', Boleh! Mau panggil 'Elohim' atau 'Theos' atau 'God' atau 'Lowalangi' atau 'Tetemanis...!', Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi... Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda di dalam hati kita masing-masing (Roma 2:14-15.").
Pendapat Nurcholish
Terkait dengan polemik kata Allah, menurut cendekiawan muslim Prof Dr Nurcholish Madjid (almarhum), kata "Allah" bukan hanya eksklusif milik umat Islam. Cak Nur menunjuk bahwa Quran juga menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen juga menyembah Allah (Q.S. Al-Hajj 22:40). Jika kita menengok sejarah ketiga agama Samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), ada cukup banyak bukti bahwa kata Allah itu sudah digunakan jauh sebelum agama Islam diproklamasikan oleh Nabi Muhammad pada abad VI Masehi. Artinya, ada banyak literatur yang menyebutkan bahwa kata Allah itu dipakai sebelum era Islam.
Dalam berbagai literatur yang berbahasa Ibrani, misalnya, ada dua nama untuk menyebut Tuhan. Yang pertama adalah Yahwe (Allah). Kedua, El sebagai awalan yang disusul dengan kata-kata seperti "El Elyon" (El atau Allah Yang Maha Tinggi, Kejadian 14:19), "El Shadai" (Allah Yang Maha Kuasa, Kejadian 17:1), dan "El Olam" (Allah Yang Maha Kekal, Kejadian 21:33). Nama-nama yang memakai "El" inilah yang semula dikenal oleh Ibrahim, Ishak, atau Yakub. Baru pada era Nabi Musa, nama Yahwe muncul. Namun, dalam perkembangannya, nama El yang mengandung sifat Ilahi itu diterapkan untuk Yahwe.
Sejumlah inskripsi Kristen yang muncul sebelum Islam juga membuktikan bahwa, dalam lingkup Kristen di Timur Tengah, kata Allah itu sudah lazim dipakai, khususnya dalam doa, kebaktian, atau misa. Pertama, inskripsi Zabad dari Suriah (512 Masehi) yang selalu diawali dengan rumusan "Bism al-Ilah" (dengan nama al-Ilah) yang lalu disusul dengan nama diri Kristen Suriah. Teks ini juga dimuat dalam buku Mukjizat Al-Qur'an oleh M. Quraisy Syihab, Mizan, Bandung, 1977, halaman 92-93). Kedua inskripsi "Umm al-Jimmal (dari abad VI Masehi) yang diawali dengan ucapan "Allah ghufran" (Allah memaafkan).
Bukti lain bisa dilihat dari nama penganut Kristen sebelum Islam datang. Bertepatan dengan Konsili Efesus (431), misalnya, ada seorang peserta konsili, yakni uskup wilayah Harits atau Aretas yang bernama Abdelas. Nama ini aslinya berasal dari kata "Abd-Allah" (hamba Allah) yang di-Yunani-kan. Terlebih bagi gereja-gereja rumpun Suriah yang mempertahankan bahasa Aram (bahasa asli yang dipakai Yesus), istilah Allah sudah dipakai dalam makna monoteis, jauh sebelum munculnya agama Islam (The History of Allah, Bambang Noorsena, PBMR Andi, Yogyakarta, 2004, hal 11).
Akhirnya, penulis memiliki banyak sahabat Yahudi dan muslim dari yang ahli agama sampai orang biasa. Tiap kali menyebut nama Allah, hal ini tidak pernah menjadi sumber salah paham. Justru nama ini mempersatukan. Pasalnya, dari-Nya-lah kita semua dan seluruh ciptaan berasal dan akan kembali. Berlomba-lomba untuk berbuat baik sebagaimana dipesankan Injil atau Quran, serta terus mempromosikan penghargaan dan toleransi, jauh lebih mulia daripada berdebat panjang-lebar tentang Sang Pencipta yang notabene mahabesar, sementara otak kita sangat sempit. Jadi, jangan coba memasukkan air laut yang luas dan besar dalam kolam kecil pikiran kita yang amat sempit dan terbatas. ●
Pengadilan banding Malaysia melarang pemakaian kata "Allah" untuk menyebut "Tuhan" dalam surat kabar mingguan Katolik, Herald, Senin, 12 Oktober 2013. Keputusan ini sekaligus membatalkan izin Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur pada 2009 yang membolehkan penganut Katolik Roma memakai kata Allah.
Pada 2008, pemerintah mengancam akan menarik izin penerbitan surat kabar Katolik, Herald, di Malaysia jika terus menggunakan kata Allah. Namun pengadilan tinggi memutuskan bahwa kata "Allah" bukan eksklusif milik umat Islam, melainkan bisa dipakai siapa pun. Pemerintah Malaysia kemudian mengajukan banding dan menang. Menurut panel hakim pengadilan banding, kata "Allah" merupakan eksklusif milik umat Islam. Kata "Allah" juga dinilai bukan merupakan bagian integral dari kepercayaan Kristiani (Tempo.co, 14 Oktober 2013).
Keputusan pengadilan banding Malaysia juga ditentang umat Hindu Malaysia. Sebab, umat Hindu juga punya bukti tertulis bahwa kata Allah telah digunakan oleh orang Hindu India untuk menamai Tuhan mereka. Kata Allah diambil dari sebutan Sanskerta untuk Dewi Dhurga (dewi bulan-Allah). Dan nama "Allah" ini sebenarnya juga terdapat dalam kitab suci Hindu, yaitu Rigveda (Book 3 Hymn 30 V.10).
Pertama, keputusan pengadilan banding Malaysia sungguh penulis hargai. Maklum, polemik kata Allah di Malaysia kerap kali berujung pada kerusuhan. Tercatat ada sembilan gereja diserang gara-gara polemik ini (Koran Tempo, 9 hingga 13 Januari 2010). Jadi, secara tersirat, pengadilan banding Malaysia tampaknya punya motif menjaga agar polemik kata Allah itu tidak kontraproduktif dengan upaya pemerintah menjaga keutuhan negeri jiran ini.
Aliran Kristen
Bahkan beberapa aliran Kristen di Tanah Air ada yang pernah menggugat penggunaan kata Allah, sebagaimana kata itu dipakai dalam Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), yang dipakai secara luas oleh sebagian besar umat Kristiani (Protestan). Karena terus digugat, LAI sampai membuat penjelasan resmi pada 21 Januari 1999 bahwa: "Dalam terjemahan-terjemahan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, kata 'Allah' sudah digunakan terus-menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa Melayu yang pertama (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692), begitu juga dalam Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus Cornelius Klinkert, 1879) sampai saat ini."
Mereka yang tak puas dengan penjelasan LAI sampai menerbitkan Alkitab tersendiri, yang membuang semua kata Allah. Aliran kecil Kristen ini menerbitkan "Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru", Indonesian Literal Translation (ILT), terbitan Yayasan Lentera Bangsa, Jakarta, 2008. Argumentasi penolakan mereka didasarkan pada buku yang berjudul Allah dalam Kekristenan, Apakah Salah, karya Yakub Sulistyo, S. Th., M.A., (2009).
Untuk melawan aliran penentang kata Allah itu, seorang pendeta Kristen bernama A.H. Parhusip menerbitkan buku kecil berjudul Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh. Buku itu juga menjawab pertanyaan "Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita manusia hendak memanggil Pencipta itu? Buku itu menjawab: "Terserah pada Anda! Mau panggil 'Pencipta!', Boleh! Mau panggil 'Perkasa!', Silakan! Mau panggil 'Debata!', Boleh! Mau panggil 'Allah!', Boleh! Mau panggil 'Elohim' atau 'Theos' atau 'God' atau 'Lowalangi' atau 'Tetemanis...!', Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi... Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda di dalam hati kita masing-masing (Roma 2:14-15.").
Pendapat Nurcholish
Terkait dengan polemik kata Allah, menurut cendekiawan muslim Prof Dr Nurcholish Madjid (almarhum), kata "Allah" bukan hanya eksklusif milik umat Islam. Cak Nur menunjuk bahwa Quran juga menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen juga menyembah Allah (Q.S. Al-Hajj 22:40). Jika kita menengok sejarah ketiga agama Samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), ada cukup banyak bukti bahwa kata Allah itu sudah digunakan jauh sebelum agama Islam diproklamasikan oleh Nabi Muhammad pada abad VI Masehi. Artinya, ada banyak literatur yang menyebutkan bahwa kata Allah itu dipakai sebelum era Islam.
Dalam berbagai literatur yang berbahasa Ibrani, misalnya, ada dua nama untuk menyebut Tuhan. Yang pertama adalah Yahwe (Allah). Kedua, El sebagai awalan yang disusul dengan kata-kata seperti "El Elyon" (El atau Allah Yang Maha Tinggi, Kejadian 14:19), "El Shadai" (Allah Yang Maha Kuasa, Kejadian 17:1), dan "El Olam" (Allah Yang Maha Kekal, Kejadian 21:33). Nama-nama yang memakai "El" inilah yang semula dikenal oleh Ibrahim, Ishak, atau Yakub. Baru pada era Nabi Musa, nama Yahwe muncul. Namun, dalam perkembangannya, nama El yang mengandung sifat Ilahi itu diterapkan untuk Yahwe.
Sejumlah inskripsi Kristen yang muncul sebelum Islam juga membuktikan bahwa, dalam lingkup Kristen di Timur Tengah, kata Allah itu sudah lazim dipakai, khususnya dalam doa, kebaktian, atau misa. Pertama, inskripsi Zabad dari Suriah (512 Masehi) yang selalu diawali dengan rumusan "Bism al-Ilah" (dengan nama al-Ilah) yang lalu disusul dengan nama diri Kristen Suriah. Teks ini juga dimuat dalam buku Mukjizat Al-Qur'an oleh M. Quraisy Syihab, Mizan, Bandung, 1977, halaman 92-93). Kedua inskripsi "Umm al-Jimmal (dari abad VI Masehi) yang diawali dengan ucapan "Allah ghufran" (Allah memaafkan).
Bukti lain bisa dilihat dari nama penganut Kristen sebelum Islam datang. Bertepatan dengan Konsili Efesus (431), misalnya, ada seorang peserta konsili, yakni uskup wilayah Harits atau Aretas yang bernama Abdelas. Nama ini aslinya berasal dari kata "Abd-Allah" (hamba Allah) yang di-Yunani-kan. Terlebih bagi gereja-gereja rumpun Suriah yang mempertahankan bahasa Aram (bahasa asli yang dipakai Yesus), istilah Allah sudah dipakai dalam makna monoteis, jauh sebelum munculnya agama Islam (The History of Allah, Bambang Noorsena, PBMR Andi, Yogyakarta, 2004, hal 11).
Akhirnya, penulis memiliki banyak sahabat Yahudi dan muslim dari yang ahli agama sampai orang biasa. Tiap kali menyebut nama Allah, hal ini tidak pernah menjadi sumber salah paham. Justru nama ini mempersatukan. Pasalnya, dari-Nya-lah kita semua dan seluruh ciptaan berasal dan akan kembali. Berlomba-lomba untuk berbuat baik sebagaimana dipesankan Injil atau Quran, serta terus mempromosikan penghargaan dan toleransi, jauh lebih mulia daripada berdebat panjang-lebar tentang Sang Pencipta yang notabene mahabesar, sementara otak kita sangat sempit. Jadi, jangan coba memasukkan air laut yang luas dan besar dalam kolam kecil pikiran kita yang amat sempit dan terbatas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar