|
OPERASI tangkap tangan yang
dilakukan KPK pada Rabu (2/10) pukul 22.00 WIB merupakan kabut kelam bagi
kehidupan dan pembelajaran serta penegakan hukum di Indonesia. Ya, malam itu
seluruh rakyat Indonesia terperanjat dan seolah tidak percaya breaking news
beberapa stasiun televisi nasional yang menayangkan peristiwa tertangkapnya
Akil Mochtar (AM), Ketua Mahkamah Konstitusi, di kompleks pejabat negara di
Jalan Widya Chandra III No 7, Jakarta Selatan. Akil ditangkap bersama CHN
(anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar) dan CN (seorang pengusaha) karena
diduga di rumah tersebut tengah terjadi ‘penyuapan’ atas proses sengketa pemilu
kada di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah.
Tak berapa lama operasi tangkap tangan dilanjutkan dengan
menangkap HB (Bupati petahana Gunung Mas) dan DH (seorang pengusaha). Belum
genap 24 jam sejak penangkapan AM dkk dalam operasi yang dipimpin Noval
Baswedan tersebut, publik kembali dikejutkan dan diguncang kembali dengan
penangkapan Tubagus Chaery Wardhana atau Wawan (adik kandung Ratu Atut Chosiyah--Gubernur
Banten) dan Susi Tur Andayani yang akan memberikan ‘tanda/ucapan terima kasih’
kepada AM yang tengah memeriksa sengketa pemilu kada di Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten.
Hampir tidak ada yang percaya operasi tangkap tangan dan
penyerahan ‘tanda terima kasih’ tersebut melibatkan AM sang Ketua MK, lembaga
yudikatif bentukan Pasal 24e Ayat (1) UUD 45 yang selama dipimpin dua orang
terdahulu, Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD, sangat diperhitungkan kredibilitas
dan integritas dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia.
Oleh karena itu, penangkapan AM pada malam menjelang
pertandingan Liga Champions Manchester City versus Bayern Muenchen itu
merupakan tragedi di dunia hukum. Peristiwa ‘Rabu Kelabu’ tersebut telah
menjungkirbalikkan integritas dan mencoreng kredibilitas MK serta merupakan
tragedi memilukan terhadap MK yang 10 tahun sejak berdirinya tetap eksis
sebagai penjaga benteng konstitusi. Atas peristiwa penangkapan AM yang
dilanjutkan dengan peningkatan status sebagai tersangka, publik bertanya
mengapa hal ini bisa terjadi.
Ada beberapa alasan mengapa ‘hukum penawaran dan
permintaan’ dalam penanganan di MK itu berlaku. Pertama, sifat putusan yang
bersifat final dan mengikat. Makna dari sifat putusan ini memang luar biasa,
putusan hakim MK memang mujarab, tidak ada upaya hukum biasa maupun luar biasa
ditambah dengan kata ‘mengikat’ sehingga pihak yang beperkara mau menempuh
dengan cara apa saja untuk menghasilkan sehelai kertas dari MK berwujud
‘kemenangan’ dalam memenangkan perkara di MK.
Kedua, tidak ada pengawasan atas kinerja hakim MK (putusan
hakim MK) maka ada perasaan MK menjadi lembaga yang invisible hand. Soal pengawasan itu UU Komisi Yudisial lama pada
2006 telah dianulir MK dengan KY tidak bisa melakukan pengawasan atas kinerja
hakim MK dengan dalih karena MK ini telah mempunyai sistem pengawasan internal.
Ketiga, penanganan sengketa pemilu kada merupakan kasus yang paling banyak
ditangani jika dibandingkan dengan kewenangan menguji apakah suatu UU itu
bertentangan dengan UUD, menyelesaikan pembubaran partai politik, menyatakan
pendapat bahwa presiden/wakil presiden telah melanggar konstitusi, dan
menyelesaikan sengketa antarlembaga negara.
Data dari MK menunjukkan pada 2012 telah diajukan lebih
dari 260 perkara sengketa pemilu kada dan lebih dari 300 perkara hingga
September 2013 yang diajukan ke MK. ‘Tambunnya’ jumlah perkara pemilu kada jika
dibandingkan dengan perkara/sengketa yang menjadi otoritas MK ini bisa dimaklumi
dengan alasan, dengan mengonsentrasikan dan memilih MK sebagai lembaga
penyelesaian sengketa pemilu kada, hasilnya lebih optimal dan maksimal.
Tidak perlu biaya banyak jika dibandingkan dengan melakukan
‘pertarungan’ sesungguhnya melalui pemilu kada di daerah yang melelahkan, boros
karena biaya banyak, melibatkan partisipasi publik yang belum pasti menang. Ada
peluang putusan KPUD yang menyatakan siapa pemenang pemilu kada dapat dianulir
MK.
Keempat, sifat keanggotaan hakim MK yang berjumlah sembilan
orang merupakan kombinasi tiga jatah `trio' eksekutif, yudikatif, dan
legislatif. Pola rekrutmen hakim yang secara konstitusional benar tersebut
ternyata dalam praktik tidak semulus yang diharapkan. Hujatan dan cacian publik
atas kombinasi `tiga pilar' tersebut sampai kini masih berlangsung, terutama
hakim konstitusi yang berasal dari politikus.
Kelima, MK sebagai lembaga dan gerbang penjaga konstitusi,
tetapi lembaga dan gerbang itu diruntuhkan penjaganya sendiri. AM sebagai hakim
MK sekaligus Ketua MK untuk kesekian kali menambah deretan panjang aparat
penegak hukum yang tidak taat pada hukum dan melanggar hukum.
Pemulihan
kepercayaan
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan
citra MK dan meningkatkan serta memulihkan kepercayaan publik ialah sebagai
berikut.
Pertama, MK tetap menjalankan proses peradilan dengan
hati-hati agar jangan terjadi penyimpangan baru, dan para pemimpin lembaga
tinggi negara menyerahkan sepenuhnya keputusan menunda atau meneruskan sidang
yang sudah dijadwalkan dalam waktu dekat kepada MK. Jatuhnya wibawa MK karena
kecerobohan AM telah meruntuhkan wibawa MK yang selama 10 tahun `mulai'
dipercaya publik dengan putusan putusan dan perilaku hakimhakim MK yang dirasa
sesuai dengan keadilan masyarakat.
Ibarat pohon yang tumbuh condong bertahun-tahun, untuk
mengembalikan pohon agar tumbuh normal diperlukan waktu yang bertahun-tahun
pula. Publik akan kembali pulih dan percaya hanya dengan putusan-putusan
berdasarkan atas asas keadilan masyarakat dan bukan putusan untuk kepentingan
pribadi, golongan, ataupun pertimbangan yang bersifat materiil semata.
Kedua, KPK diharapkan melakukan proses penegakan hukum
terkait dengan kasus suap yang melanda Ketua MK dkk dengan cepat dan konklusif.
Penanganan perkara ini bisa dilakukan KPK untuk menyegerakan dan mengajukan
proses pidana tersebut ke pengadilan serta berani mengajukan hukuman pidana
maksimal atau bahkan pidana mati pada AM karena AM sebagai pejabat negara
sekaligus penjaga benteng konstitusi Indonesia telah melakukan tindakan pidana
yang amat menodai makna keadilan masyarakat.
Pada bagian lain, saat ini sedang berlangsung sidang kode
etik Dewan Kehormatan MK atas dugaan pelanggaran etika oleh AM. Menurut
penulis, sidang etika tersebut kurang bermanfaat jika dilihat dari sisi urgensi
permasalahan karena hasilnya jelas bahwa telah terjadi upaya suap atas diri AM
maka perbuatan itu jelas merupakan perbuatan pidana murni yang juga
bertentangan dengan etika.
Ketiga, pemerintah akan mengajukan peraturan pemerintah
pengganti undang undang (perppu) MK kepada DPR yang di antaranya mengubah
sistem rekrutmen hakim. Harus diakui, UU MK yang memberikan porsi sama antara
lembaga eksekutif, yudikatif,dan legislatif sangat kental dengan muatan politis
daripada muatan kemanfaatan atas hakim konstitusi itu sendiri. Di samping itu
perppu tersebut juga mestinya mengatur sistem pengawasan eksternal terhadap
proses persidangan dan MK. Komisi Yudisial seharusnya diaktifkan kembali.
Ditunjuk untuk mengawasi kinerja hakim MK sehingga output ialah putusan-putusan
yang bersandarkan atas keadilan.
Keempat, dengan adanya kekarut-marutan manajerial di
lembaga MK, dipandang ada audit eksternal oleh lembaga yang berwenang selain
audit internal yang telah diumumkan MK. Di samping itu, dirasa perlu untuk
segera dicari jalan keluar atas kekurangan hakim MK yang kini tinggal delapan
orang. Tentu langkah itu harus diambil secara hati-hati sebab jika salah
memilih satu hakim pengganti AM, akan menyebabkan kredibilitas MK yang kini
pada titik nadir yang terendah akan semakin terpuruk.
Kelima, dengan mengikuti teori sistem hukum dari Lawrent
Friedman, substansi hukum yang diajukan untuk membenahi MK dari segi
penyempurnaan perundangan hanyalah sepertiga bagian dari pembenahan sistem itu
sendiri. Masih diperlukan dua pertiga amunisi yang terdiri dari struktur hukum
yang akan dijalankan mesin birokrasi (hakim, panitera, lawyer, dll) dalam suatu
perkara dan budaya hukum, suatu budaya yang hidup, berkembang dan selalu dibina
masyarakat.
Untuk mengakhiri tulisan ini, pembenahan dari substansi
hukum atas UU MK merupakan komponen komplementer sebab pembenahan mentalitas,
integritas, serta moralitas para pelaku birokrasi yang bersinggungan dengan
dinamika MK jauh lebih penting. Di samping itu masyarakat sebagai bagian yang
sangat sentral dari proses penegakan hukum akan memberikan kontribusi yang
sangat signifi kan terhadap proses pembelajaran penegakan hukum di Indonesia. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar