Kamis, 17 Oktober 2013

Lima Langkah Recovery of Trust MK

Lima Langkah Recovery of Trust MK
Jamal Wiwoho  ; Guru Besar Fakultas Hukum UNS Bidang Ilmu Hukum,
Pembantu Rektor II UNS
MEDIA INDONESIA, 16 Oktober 2013


OPERASI tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Rabu (2/10) pukul 22.00 WIB merupakan kabut kelam bagi kehidupan dan pembelajaran serta penegakan hukum di Indonesia. Ya, malam itu seluruh rakyat Indonesia terperanjat dan seolah tidak percaya breaking news beberapa stasiun televisi nasional yang menayangkan peristiwa tertangkapnya Akil Mochtar (AM), Ketua Mahkamah Konstitusi, di kompleks pejabat negara di Jalan Widya Chandra III No 7, Jakarta Selatan. Akil ditangkap bersama CHN (anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar) dan CN (seorang pengusaha) karena diduga di rumah tersebut tengah terjadi ‘penyuapan’ atas proses sengketa pemilu kada di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Tak berapa lama operasi tangkap tangan dilanjutkan dengan menangkap HB (Bupati petahana Gunung Mas) dan DH (seorang pengusaha). Belum genap 24 jam sejak penangkapan AM dkk dalam operasi yang dipimpin Noval Baswedan tersebut, publik kembali dikejutkan dan diguncang kembali dengan penangkapan Tubagus Chaery Wardhana atau Wawan (adik kandung Ratu Atut Chosiyah--Gubernur Banten) dan Susi Tur Andayani yang akan memberikan ‘tanda/ucapan terima kasih’ kepada AM yang tengah memeriksa sengketa pemilu kada di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Hampir tidak ada yang percaya operasi tangkap tangan dan penyerahan ‘tanda terima kasih’ tersebut melibatkan AM sang Ketua MK, lembaga yudikatif bentukan Pasal 24e Ayat (1) UUD 45 yang selama dipimpin dua orang terdahulu, Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD, sangat diperhitungkan kredibilitas dan integritas dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia.

Oleh karena itu, penangkapan AM pada malam menjelang pertandingan Liga Champions Manchester City versus Bayern Muenchen itu merupakan tragedi di dunia hukum. Peristiwa ‘Rabu Kelabu’ tersebut telah menjungkirbalikkan integritas dan mencoreng kredibilitas MK serta merupakan tragedi memilukan terhadap MK yang 10 tahun sejak berdirinya tetap eksis sebagai penjaga benteng konstitusi. Atas peristiwa penangkapan AM yang dilanjutkan dengan peningkatan status sebagai tersangka, publik bertanya mengapa hal ini bisa terjadi.

Ada beberapa alasan mengapa ‘hukum penawaran dan permintaan’ dalam penanganan di MK itu berlaku. Pertama, sifat putusan yang bersifat final dan mengikat. Makna dari sifat putusan ini memang luar biasa, putusan hakim MK memang mujarab, tidak ada upaya hukum biasa maupun luar biasa ditambah dengan kata ‘mengikat’ sehingga pihak yang beperkara mau menempuh dengan cara apa saja untuk menghasilkan sehelai kertas dari MK berwujud ‘kemenangan’ dalam memenangkan perkara di MK.

Kedua, tidak ada pengawasan atas kinerja hakim MK (putusan hakim MK) maka ada perasaan MK menjadi lembaga yang invisible hand. Soal pengawasan itu UU Komisi Yudisial lama pada 2006 telah dianulir MK dengan KY tidak bisa melakukan pengawasan atas kinerja hakim MK dengan dalih karena MK ini telah mempunyai sistem pengawasan internal. Ketiga, penanganan sengketa pemilu kada merupakan kasus yang paling banyak ditangani jika dibandingkan dengan kewenangan menguji apakah suatu UU itu bertentangan dengan UUD, menyelesaikan pembubaran partai politik, menyatakan pendapat bahwa presiden/wakil presiden telah melanggar konstitusi, dan menyelesaikan sengketa antarlembaga negara.

Data dari MK menunjukkan pada 2012 telah diajukan lebih dari 260 perkara sengketa pemilu kada dan lebih dari 300 perkara hingga September 2013 yang diajukan ke MK. ‘Tambunnya’ jumlah perkara pemilu kada jika dibandingkan dengan perkara/sengketa yang menjadi otoritas MK ini bisa dimaklumi dengan alasan, dengan mengonsentrasikan dan memilih MK sebagai lembaga penyelesaian sengketa pemilu kada, hasilnya lebih optimal dan maksimal.

Tidak perlu biaya banyak jika dibandingkan dengan melakukan ‘pertarungan’ sesungguhnya melalui pemilu kada di daerah yang melelahkan, boros karena biaya banyak, melibatkan partisipasi publik yang belum pasti menang. Ada peluang putusan KPUD yang menyatakan siapa pemenang pemilu kada dapat dianulir MK.

Keempat, sifat keanggotaan hakim MK yang berjumlah sembilan orang merupakan kombinasi tiga jatah `trio' eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pola rekrutmen hakim yang secara konstitusional benar tersebut ternyata dalam praktik tidak semulus yang diharapkan. Hujatan dan cacian publik atas kombinasi `tiga pilar' tersebut sampai kini masih berlangsung, terutama hakim konstitusi yang berasal dari politikus.

Kelima, MK sebagai lembaga dan gerbang penjaga konstitusi, tetapi lembaga dan gerbang itu diruntuhkan penjaganya sendiri. AM sebagai hakim MK sekaligus Ketua MK untuk kesekian kali menambah deretan panjang aparat penegak hukum yang tidak taat pada hukum dan melanggar hukum.

Pemulihan kepercayaan

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan citra MK dan meningkatkan serta memulihkan kepercayaan publik ialah sebagai berikut.

Pertama, MK tetap menjalankan proses peradilan dengan hati-hati agar jangan terjadi penyimpangan baru, dan para pemimpin lembaga tinggi negara menyerahkan sepenuhnya keputusan menunda atau meneruskan sidang yang sudah dijadwalkan dalam waktu dekat kepada MK. Jatuhnya wibawa MK karena kecerobohan AM telah meruntuhkan wibawa MK yang selama 10 tahun `mulai' dipercaya publik dengan putusan putusan dan perilaku hakimhakim MK yang dirasa sesuai dengan keadilan masyarakat.

Ibarat pohon yang tumbuh condong bertahun-tahun, untuk mengembalikan pohon agar tumbuh normal diperlukan waktu yang bertahun-tahun pula. Publik akan kembali pulih dan percaya hanya dengan putusan-putusan berdasarkan atas asas keadilan masyarakat dan bukan putusan untuk kepentingan pribadi, golongan, ataupun pertimbangan yang bersifat materiil semata.

Kedua, KPK diharapkan melakukan proses penegakan hukum terkait dengan kasus suap yang melanda Ketua MK dkk dengan cepat dan konklusif.
Penanganan perkara ini bisa dilakukan KPK untuk menyegerakan dan mengajukan proses pidana tersebut ke pengadilan serta berani mengajukan hukuman pidana maksimal atau bahkan pidana mati pada AM karena AM sebagai pejabat negara sekaligus penjaga benteng konstitusi Indonesia telah melakukan tindakan pidana yang amat menodai makna keadilan masyarakat.

Pada bagian lain, saat ini sedang berlangsung sidang kode etik Dewan Kehormatan MK atas dugaan pelanggaran etika oleh AM. Menurut penulis, sidang etika tersebut kurang bermanfaat jika dilihat dari sisi urgensi permasalahan karena hasilnya jelas bahwa telah terjadi upaya suap atas diri AM maka perbuatan itu jelas merupakan perbuatan pidana murni yang juga bertentangan dengan etika.

Ketiga, pemerintah akan mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang undang (perppu) MK kepada DPR yang di antaranya mengubah sistem rekrutmen hakim. Harus diakui, UU MK yang memberikan porsi sama antara lembaga eksekutif, yudikatif,dan legislatif sangat kental dengan muatan politis daripada muatan kemanfaatan atas hakim konstitusi itu sendiri. Di samping itu perppu tersebut juga mestinya mengatur sistem pengawasan eksternal terhadap proses persidangan dan MK. Komisi Yudisial seharusnya diaktifkan kembali. Ditunjuk untuk mengawasi kinerja hakim MK sehingga output ialah putusan-putusan yang bersandarkan atas keadilan.

Keempat, dengan adanya kekarut-marutan manajerial di lembaga MK, dipandang ada audit eksternal oleh lembaga yang berwenang selain audit internal yang telah diumumkan MK. Di samping itu, dirasa perlu untuk segera dicari jalan keluar atas kekurangan hakim MK yang kini tinggal delapan orang. Tentu langkah itu harus diambil secara hati-hati sebab jika salah memilih satu hakim pengganti AM, akan menyebabkan kredibilitas MK yang kini pada titik nadir yang terendah akan semakin terpuruk.

Kelima, dengan mengikuti teori sistem hukum dari Lawrent Friedman, substansi hukum yang diajukan untuk membenahi MK dari segi penyempurnaan perundangan hanyalah sepertiga bagian dari pembenahan sistem itu sendiri. Masih diperlukan dua pertiga amunisi yang terdiri dari struktur hukum yang akan dijalankan mesin birokrasi (hakim, panitera, lawyer, dll) dalam suatu perkara dan budaya hukum, suatu budaya yang hidup, berkembang dan selalu dibina masyarakat.


Untuk mengakhiri tulisan ini, pembenahan dari substansi hukum atas UU MK merupakan komponen komplementer sebab pembenahan mentalitas, integritas, serta moralitas para pelaku birokrasi yang bersinggungan dengan dinamika MK jauh lebih penting. Di samping itu masyarakat sebagai bagian yang sangat sentral dari proses penegakan hukum akan memberikan kontribusi yang sangat signifi kan terhadap proses pembelajaran penegakan hukum di Indonesia. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar