|
Memang
siapa pun tak menyangkal, “kenyataan itu suci”, dan “pendapat” bisa diberikan
siapa pun secara gratis. Demikian halnya dengan secuil pendapat yang terangkum
kurang dari 1.000 kata ini.
Pernyataan
ini dicomot dari petatah-petitih jurnalistik: Facts are sacred, and opinions are free. Kata free mungkin bukan harus diartikan tanpa ongkos yang harus bayar,
melainkan karena setiap saat Anda bisa berpendapat (atau berubah pendapat)
secara bebas merdeka, atas suatu fakta yang Anda tidak bisa ubah, kecuali jika
Anda mau dan mampu mengubahnya.
Adalah
fakta, jika kita mengatakan, Menteri Dalam Negeri menyatakan “309 kepala daerah
di Indonesia terlibat perkara pidana”.
Kepala
Daerah di sini bisa berarti gubernur, wali kota, bupati, atau peringkat lebih
rendah. Kita bisa menghitung jumlah gubernur di negeri ini belum mencapai 40,
karena baru ada 34 provinsi.
Artinya,
jika angka 309 kita bagi 40, lebih dari tujuh kepala daerah berbuat korupsi di
tiap provinsi. Tetapi kenapa harus pusing dengan fakta yang cukup mencolok ini.
Bukankah selama ini sedikitnya sudah dua menteri terpaksa harus masuk bui?
Setidaknya,
Anda tentu ingat Menteri Agama dan menteri yang bertanggung jawab di bidang
penanaman modal, yang sempat dipenjarakan sebab terbukti bersalah. Sekarang pun
KPK akan memeriksa seorang menteri kabinet yang sedang menjalankan
pemerintahan.
Bukan
hanya itu, seorang eks duta besar yang juga seorang mantan Kapolri juga terkena
vonis hukuman karena dinyatakan bersalah, ketika masih sedang menjalankan
tugasnya sebagai duta besar di negeri jiran, yang hanya terpisah Selat Malaka.
Jangan
jauh-jauh mencari lagi, sekarang pun dua orang dengan jabatan atau kedudukan
sebagai pemimpin partai politik nomor paling depan, sedang mengantre untuk
diproses KPK karena dugaan korupsi.
Syukur
alhamdulillah, seorang Ketua Mahkamah Konstitusi baru beberapa waktu lalu
tertangkap tangan KPK sebab terbukti menerima suap miliaran rupiah, dan kini
harus undur diri. Patut diperhatikan, jabatan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi
tidak mudah dibesar-besarkan, nyaris tidak lebih adhiluhung ketimbang Presiden.
Sekadar
Gangguan Kelenjar?
Memang,
manusia seperti mahluk hidup yang mana pun secara umum dapat disebut “mahluk
berkelenjar”. Entah, ada berapa banyak jenis kelenjar yang dimiliki manusia.
Tidak
semua kelenjar yang dimiliki manusia bisa langsung diperintah, contohnya
kelenjar air mata yang memiliki otonomi, kepala daerah juga memiliki otonominya
sendiri.
Anda
boleh coba menangis, kecuali hanya pura-pura menangis, tanpa hujan tanpa angin,
Anda tidak bisa mendadak sontak menangis tersedu-sedu. Ini satu bukti kelenjar
yang satu ini dianggap “otonom”.
Lalu
di mana wujud berkuasanya sang kelenjar pada diri kita? Mungkin contoh yang
satu ini paling mudah kita sadari dan pahami, yakni kelenjar yang berkaitan
dengan kelamin. Mungkin kelenjar ini pula yang paling dominan dalam
“glandokrasi” atau pemerintahan yang diatur oleh kelenjar.
Kala
kita sudah berada pada tingkat “berpemerintahan” ketika segala sesuatu yang
mengatur diri kita adalah hasrat kekelaminan, maka sang kelenjar kelamin
kitalah yang langsung mengatur diri kita.
Tidak
usah terlalu berilmiah-ilmiahan, rasanya mudah kita tangkap sekaligus pahami,
kala kelenjar kelamin berada pada posisi “di luar kendali” kita (baca: berhasil
memerintah kita) sehingga berhasil menjungkir-balikkan akal sehat (atau
sebutlah nurani kita), terjadilah malapraktik bernama glandokrasi yang
menjadikan sang pejabat, tak peduli ia anggota DPR, menteri atau Ketua
Mahkamah, bisa masuk bui.
Apa
Obatnya?
Ulama
dari agama mana pun akan dengan lancar meluncurkan surat-surat atau ayat-ayat
kitab suci. Namun, jika sang kelenjar berhasil merebut kekuasaan atas dirinya,
hasilnya akan sama saja. Jadi, kitab atau hadist tetap saja tidak menjamin
menjadi antidote gangguan kelenjar, kala sang manusia lebih berkenan mengumbar
kelenjar.
Kita
tidak akan pernah tahu pasti, kapan kita benar-benar berada di dekat jangkauan
Kasih Sang Hyang Widhi, atau Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Yang bisa
kita niatkan dan mohon kepada-Nya melalui doa, semoga setiap perbuatan kita
selalu sesuai dan tidak bertentangan dengan permohonan kita kepada-Nya.
Sadar
atau tidak, kita hanya mampu jatuh dan bertekuk-lutut di hadapan sang kelenjar.
Jika terjangkau oleh hamba hukum seperti KPK, bersiaplah untuk membayarnya. Nothing is free. Barangkali dengan satu
pengecualian opinion is free dan kesucian fakta tidak tergoyahkan, bahkan oleh
kata tobat sekalipun. Karena tobat pun bisa kumat-kumatan.
Kita
ucapkan selamat bekerja kepada segenap dan seluruh jajaran KPK. Semoga
menjelang pemerintahan yang baru pasca-Pemilu 2014, Indonesia akan menjadi
makin bersih dari penyakit kelenjar, sehingga cita-cita kemerdekaan sebagai
bangsa tidak kita cemari dengan kata dan perbuatan yang bertentangan dengan
yang telah niatkan sebagai bangsa. Amin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar