Kamis, 17 Oktober 2013

Kleptokrasi Berganti Menjadi Glandokrasi

Kleptokrasi Berganti Menjadi Glandokrasi
Winarta Adisubrata ;  Wartawan Senior
SINAR HARAPAN, 16 Oktober 2013


Memang siapa pun tak menyangkal, “kenyataan itu suci”, dan “pendapat” bisa diberikan siapa pun secara gratis. Demikian halnya dengan secuil pendapat yang terangkum kurang dari 1.000 kata ini.
Pernyataan ini dicomot dari petatah-petitih jurnalistik: Facts are sacred, and opinions are free. Kata free mungkin bukan harus diartikan tanpa ongkos yang harus bayar, melainkan karena setiap saat Anda bisa berpendapat (atau berubah pendapat) secara bebas merdeka, atas suatu fakta yang Anda tidak bisa ubah, kecuali jika Anda mau dan mampu mengubahnya.

Adalah fakta, jika kita mengatakan, Menteri Dalam Negeri menyatakan “309 kepala daerah di Indonesia terlibat perkara pidana”.

Kepala Daerah di sini bisa berarti gubernur, wali kota, bupati, atau peringkat lebih rendah. Kita bisa menghitung jumlah gubernur di negeri ini belum mencapai 40, karena baru ada 34 provinsi.
Artinya, jika angka 309 kita bagi 40, lebih dari tujuh kepala daerah berbuat korupsi di tiap provinsi. Tetapi kenapa harus pusing dengan fakta yang cukup mencolok ini. Bukankah selama ini sedikitnya sudah dua menteri terpaksa harus masuk bui?

Setidaknya, Anda tentu ingat Menteri Agama dan menteri yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal, yang sempat dipenjarakan sebab terbukti bersalah. Sekarang pun KPK akan memeriksa seorang menteri kabinet yang sedang menjalankan pemerintahan.

Bukan hanya itu, seorang eks duta besar yang juga seorang mantan Kapolri juga terkena vonis hukuman karena dinyatakan bersalah, ketika masih sedang menjalankan tugasnya sebagai duta besar di negeri jiran, yang hanya terpisah Selat Malaka.

Jangan jauh-jauh mencari lagi, sekarang pun dua orang dengan jabatan atau kedudukan sebagai pemimpin partai politik nomor paling depan, sedang mengantre untuk diproses KPK karena dugaan korupsi.

Syukur alhamdulillah, seorang Ketua Mahkamah Konstitusi baru beberapa waktu lalu tertangkap tangan KPK sebab terbukti menerima suap miliaran rupiah, dan kini harus undur diri. Patut diperhatikan, jabatan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi tidak mudah dibesar-besarkan, nyaris tidak lebih adhiluhung ketimbang Presiden.

Sekadar Gangguan Kelenjar?

Memang, manusia seperti mahluk hidup yang mana pun secara umum dapat disebut “mahluk berkelenjar”. Entah, ada berapa banyak jenis kelenjar yang dimiliki manusia.

Tidak semua kelenjar yang dimiliki manusia bisa langsung diperintah, contohnya kelenjar air mata yang memiliki otonomi, kepala daerah juga memiliki otonominya sendiri.

Anda boleh coba menangis, kecuali hanya pura-pura menangis, tanpa hujan tanpa angin, Anda tidak bisa mendadak sontak menangis tersedu-sedu. Ini satu bukti kelenjar yang satu ini dianggap “otonom”.
Lalu di mana wujud berkuasanya sang kelenjar pada diri kita? Mungkin contoh yang satu ini paling mudah kita sadari dan pahami, yakni kelenjar yang berkaitan dengan kelamin. Mungkin kelenjar ini pula yang paling dominan dalam “glandokrasi” atau pemerintahan yang diatur oleh kelenjar.

Kala kita sudah berada pada tingkat “berpemerintahan” ketika segala sesuatu yang mengatur diri kita adalah hasrat kekelaminan, maka sang kelenjar kelamin kitalah yang langsung mengatur diri kita.
Tidak usah terlalu berilmiah-ilmiahan, rasanya mudah kita tangkap sekaligus pahami, kala kelenjar kelamin berada pada posisi “di luar kendali” kita (baca: berhasil memerintah kita) sehingga berhasil menjungkir-balikkan akal sehat (atau sebutlah nurani kita), terjadilah malapraktik bernama glandokrasi yang menjadikan sang pejabat, tak peduli ia anggota DPR, menteri atau Ketua Mahkamah, bisa masuk bui.

Apa Obatnya?

Ulama dari agama mana pun akan dengan lancar meluncurkan surat-surat atau ayat-ayat kitab suci. Namun, jika sang kelenjar berhasil merebut kekuasaan atas dirinya, hasilnya akan sama saja. Jadi, kitab atau hadist tetap saja tidak menjamin menjadi antidote gangguan kelenjar, kala sang manusia lebih berkenan mengumbar kelenjar.

Kita tidak akan pernah tahu pasti, kapan kita benar-benar berada di dekat jangkauan Kasih Sang Hyang Widhi, atau Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Yang bisa kita niatkan dan mohon kepada-Nya melalui doa, semoga setiap perbuatan kita selalu sesuai dan tidak bertentangan dengan permohonan kita kepada-Nya.

Sadar atau tidak, kita hanya mampu jatuh dan bertekuk-lutut di hadapan sang kelenjar. Jika terjangkau oleh hamba hukum seperti KPK, bersiaplah untuk membayarnya. Nothing is free. Barangkali dengan satu pengecualian opinion is free dan kesucian fakta tidak tergoyahkan, bahkan oleh kata tobat sekalipun. Karena tobat pun bisa kumat-kumatan.


Kita ucapkan selamat bekerja kepada segenap dan seluruh jajaran KPK. Semoga menjelang pemerintahan yang baru pasca-Pemilu 2014, Indonesia akan menjadi makin bersih dari penyakit kelenjar, sehingga cita-cita kemerdekaan sebagai bangsa tidak kita cemari dengan kata dan perbuatan yang bertentangan dengan yang telah niatkan sebagai bangsa. Amin. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar