Rabu, 23 Oktober 2013

Keluar dari Darurat Pilkada

Keluar dari Darurat Pilkada
Sulardi  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
SINAR HARAPAN, 19 Oktober 2013



Pemilihan kepala daerah (pilkada) di satu pihak merupakan masalah yang sampai hari ini belum juga ditemukan formula penyelenggaraan secara tepat. Bahkan perdebatan sengit untuk menentukan pilkada itu diselenggarakan tidak hanya terjadi pada penyelenggara negara, dalam hal ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah selaku lembaga yang mempunyai otoritas mengatur melalui undang-undang. 

Perdebatan untuk menemukan cara terbaik juga terjadi di kalangan akademikus maupun para pemerhati pemerintahan. Di sisi lain kini muncul masalah yang tak kalah peliknya, yaitu terdelegitimasinya lembaga penyelesaian sengketa pilkada, yaitu Mahkamah Konstitusi, menyusul tertangkap tangannya Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara penyuapan yang berkaitan dengan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas.

Penangkapan Ketua MK tersebut tak pelak mengguncang dunia peradilan di negara ini. Tentu saja berimbas pada penyelesaian sengketa pilkada sebelumnya. Tak tertutup kemungkinan penyelesaian sengketa pilkada sebelumnya juga terjadi penyuapan serupa dengan sengketa Pilkada Gunung Mas. Perlu diketahui bahwa menurut catatan MK, sejak 2008 hingga Desember 2011 ada 440 pilkada. Dari jumlah total itu terdapat 392 pilkada yang disengketakan di MK dan dari jumlah tersebut hanya 45 perkara yang permohonannya dikabulkan, tidak sampai 15 persen.

Perlu Peradilan Pilkada
Untuk meredakan keguncangan terhadap masalah tertangkapnya Ketua MK, yang sekaligus mengurangi delegitimasinya MK, dibentuk peradilan pilkada. Harus diingat bahwa pada awalnya sengketa pilkada menjadi kewenangan Mahkamah Agung yang kemudian dilimpahkan kepada pengadilan tinggi wilayah di hukum pilkada diselenggarakan. 

Setelah bergesernya rezim pilkada dari domain pemerintah daerah menjadi domain pemilu, berdasarkan Pasal 163 poin c UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, penyelesaian sengketa pilkada menjadi kewenangan MK. Namun untuk perkara – perkara di luar sengketa hasil pilkada masih menjadi kewenangan peradilan umum untuk pelanggaran pidana yang terjadi selama proses pilkada, dan peradilan administrasi untuk pelanggaran administrasi. 

Jadi, tanpa adanya peradilan khusus pilkada maka apa yang terjadi selama ini sangat mungkin menimbulkan rasa ketidakadilan bagi semua pihak, baik itu para bakal calon gubernur, bupati/wali kota dan pasangannya, serta masyarakat pendukung, mengingat proses pilkada tetap akan berjalan walau perkara pidana maupun perkara adminsitrasi sedang berjalan. Hal ini bisa terjadi sebab proses pilkada hanya dapat ditunda apabila ada peristiwa bencana alam sehingga tidak memungkinkan penyelenggaraan pilkada.

Dari titik ini, ada spirit untuk melakukan perombakan penyelenggaraan pilkada yang lebih berkeadilan. Gagasan yang ingin dibangun adalah proses pilkada berhenti apabila terjadi perkara yang apabila perkara itu diputus akan berpengaruh terhadap penyelenggaraan pilkada. Contohnya, apabila ada salah satu bakal calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPUD setempat, jika pihak yang dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah atau wakilnya mengajukan gugatan ke pengadilan khusus pilkada, maka proses pilkada harus dihentikan. Proses pilkada baru dapat dilanjutkan lagi jika majelis hakim pengadilan khusus pilkada telah mengambil keputusan. 

Demikian halnya dengan pelanggaran pidana, yang apabila diputus majelis hakim pengadilan pilkada melahirkan akibat hukum, yakni menjadi tidak sahnya calon kepala dan dan/atau wakilnya untuk mengikuti kelanjutan pilkada.

Gagasan terbentuknya peradilan khusus pilkada sepertinya harus segera diwujudkan sebab gagasan ini merupakan antitesis dari lunturnya kepercayaan kepada MK. Memang untuk segera mewujudkan gagasan ini sangat diperlukan dukungan dari pemerintah, KPU, DPR. Itu karena payung hukum yang diperlukan dalam pembentukan pengadilan khusus pilkada bentuknya adalah undang-undang. Undang-undang yang akan mengatur pengadilan khusus pilkada, yang dapat diwujudkan jika pemerintah dan DPR menyetujuinya. Bagaimanapun pemerintah mempunyai kepentingan atas terselenggaranya pilkada.

Proses pembentukan majelis hakim di tiap tiap tingkat peradilan: peradilan pertama, peradilan banding, hingga peradilan kasasi, memerlukan mekanisme yang cukup rumit. Mulai dari perekrutan calon hakim, pendirian kantor peradilan, piranti hukum dan infrastruktur pendukung berdirinya peradilan sengketa pilkada. 

Jadi, untuk merealisasi hadirnya peradilan pilkada saat ini memerlukan tindakan yang cepat. Pembahasan undang-undangnya di DPR harus segera menjadi agenda prioritas. Dengan demikian bisa segera dibahas bersama pemerintah, disetujui, disahkan terus diundangkan. Selagi menunggu payung hukum yang akan memayungi pengadilan pilkada, pemerintah segera bertindak cepat untuk mengadakan moratorium pilkada sampai terbentuknya peradilan pilkada. Bagi kepala daerah yang telah habis masa jabatannya, presiden selaku kepala negara bisa saja menunjuk kepala daerah, sampai terpilihnya kepala daerah melalui pilkada setelahnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar