Rabu, 23 Oktober 2013

Bebaskan Wilfrida Soik!

Bebaskan Wilfrida Soik!
R Valentina Sagala  ;   Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN, 19 Oktober 2013


Putri tercinta saya akan berulang tahun yang ke-12 minggu depan. Ditilik dari fisik, dia memang jauh lebih kecil dibanding teman seusianya. Bertemu dengan teman-temannya, saya dan suami sadar bahwa perkembangan fisik dan penampilan anak sekarang berbeda dibandingkan kami seusia mereka dulu.

Ketika beberapa bulan sebelumnya diminta menghadiri acara wisuda sekolah dasar tempatnya bersekolah, kami terkesima melihat penampilan “remaja” sekarang di atas panggung. Dengan kostum bebas dan usapan make-up tipis di wajah, mereka bergaya bak orang dewasa. Dengan polesan apa pun, bagi kami, anak tetaplah anak. Di usianya yang meremaja, anak tetap mesti diperlakukan khusus, sejalan dengan Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang menegaskan pada seseorang berusia di bawah 18 tahun, melekat hak khusus sebagai anak.

Saya lalu teringat Wilfrida Soik, perempuan asal Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tengah terancam hukuman mati oleh Mahkamah Tinggi Kota Bharu, Kelantan, Malaysia. Ia adalah seorang di antara 300-an tenaga kerja Indonesia (TKI) yang sedang terancam hukuman mati di Malaysia.
Senin, 30 September lalu yang mulanya menjadi sidang terakhir sebelum hakim memutus perkara, akhirnya ditunda hingga 17 November mendatang, sebagai respons permintaan waktu dari tim pengacara Wilfrida untuk mengajukan bukti baru.

Saya sungguh berharap bukti baru yang diajukan mengarahkan juga bahwa Wilfrida adalah korban perdagangan manusia (human trafficking). Itu karena dari unsur “proses” dan “tujuan”, kasusnya memenuhi kategori anak sebagai korban perdagangan manusia.

Protokol Palermo yang merupakan instrumen fundamental, tidak hanya menegaskan unsur “proses” (seperti perekrutan, penampungan, pemindahan, atau penerimaan seseorang), “cara” (seperti ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan), dan “tujuan” (eksploitasi atau mengakibatkan tereksploitasi) sebagai syarat kasus dikategorikan perdagangan manusia, tetapi lebih jauh menekankan perlindungan khusus bagi anak (seseorang berusia di bawah 18 tahun) sebagai korban.

Setidaknya terdapat dua hal. Pertama, dalam kasus anak, unsur “cara” tidak diperhitungkan. Artinya, bila memenuhi unsur “proses” dan “tujuan”, cukuplah sebuah kasus dikategorikan perdagangan manusia. Kedua, persetujuan dari anak sebagai korban, harus diabaikan.
Dimensi lain Protokol menyatakan, korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku perdagangan manusia, tidak dipidana.

Mari telaah kasus Wilfrida. Melalui sponsor di Kupang, anak perempuan dari keluarga miskin ini diterbangkan ke Jakarta, hingga diberangkatkan ke Malaysia, 23 Oktober 2010. Meski berusia 17 tahun, oleh agen, usianya dipalsukan sehingga di paspor tertera 21 tahun, guna memenuhi syarat menjadi TKI penata laksana rumah tangga (PLRT). Ironisnya, ketika itu moratorium TKI-PLRT ke Malaysia sedang berlangsung (mulai Juli 2009).

Sejak itu, Wilfrida dieksploitasi. Ia diterima Agensi Perekrut (AP) Master Sdn Bhd, kemudian dipekerjakan keluarga Yeoh Meng Tatt Albert (28 Oktober-24 November 2010). Dengan alasan tak nyaman, Yeoh “mengembalikan” Wilfrida ke AP Master Sdn Bhd.

Kemudian Wilfrida dipekerjakan pada keluarga Lee Lai Wing, anak Yeap Seok Pen, hingga 7 Desember 2010 Kepolisian Kelantan menerima laporan pembunuhan Yeap. Kepolisian menangkap dan menahan Wilfrida di Penjara Pengkalan Chepa hingga menjalani peradilan. Wilfrida adalah korban perdagangan manusia. Hukuman mati terhadapnya tentu tidak adil. Ia harus dinyatakan sebagai anak atau masih di bawah umur ketika pembunuhan terjadi, sehingga tidak diancam hukuman mati.

Jika putri kami berulang tahun 24 Oktober ini, beberapa hari sebelumnya, tepatnya 12 Oktober, Wilfrida—sebagaimana disebutkan surat baptis dari Gereja Paroki Roh Kudus Kolo Ulun, Belu—merayakan ulang tahunnya yang ke-20. Sekarang Wilfrida bukan lagi anak. Ia juga mesti kuat menerima kenyataan ayahandanya meninggal dunia 6 Oktober lalu.

Betapa gentarnya saya menyaksikan pengalaman getir hidup di akhir usia anak-anaknya. Sebuah masa di mana ia semestinya menikmati hak-haknya sebagai anak dan terlindungi dari kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Pemerintah harus memastikan keadilan bagi Wilfrida. Sejauh ini jajaran eksekutif saling lempar tanggung jawab, sementara politikus Prabowo Subianto terkesan tanpa malu-malu mencoba membela Wilfrida.


Apapun caranya, jelas dan sangatlah jelas, Wilfrida harus dibebaskan dari hukuman mati! Amin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar