Selasa, 01 Oktober 2013

Kapolri Baru dan Adaptasi Tantangan

Kapolri Baru dan Adaptasi Tantangan
Bambang Soesatyo ;  Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar
KORAN SINDO, 01 Oktober 2013


Keterbukaan tak hanya  melahirkan banyak manfaat,  tetapi juga beragam  ekses. Hampir semua alat kelengkapan  negara dan sistemnya  nyaris gagal mengendalikan ekses  keterbukaan.

Kini publik mengerang  karena kualitas tindak  pidana kriminalitas terus meningkat.  PrajuritPolridilapangan  sekalipunsudahberkali-kalimenjadi  sasaran aksi pembunuhan.  Dinamika kehidupan yang  dibentuk oleh era keterbukaan  masa kini melahirkan banyak  tantangan baru bagi masyarakat  Indonesia pada abad ini.  Konsekuensinya, tantangan  bagi Kepolisian Republik Indonesia  (Polri) pun mengalami  perubahan signifikan. Sesungguhnya  tantangan bagi Polri  bahkan terus tereskalasi sejalan  dengan dinamika keterbukaan  itu. Berbeda dengan abad sebelumnya.  

Hingga penghujung dekade  90-an atau sebelum memasuki  Orde Reformasi saat ini, rakyat  Indonesia kebanyakan bisa  dikatakan menikmati puncak  kenyamanan dan keamanan.  Pemerintahan Orde Baru yang  powerful dan represif mengambil  alih seluruh tanggung  jawab keamanan dalam negeri.  Segala bentuk gangguan keamanan  terhadap dinamika kehidupan  masyarakat langsung  diberangus. Untuk membangun  rasa aman dan rasa nyaman bagi  rakyat di ruang publik, sejarah  mencatat pemerintahan Orde  Baru berani menghalalkan penembakan  misterius (petrus)  terhadap pelaku tindak kriminal  pada paruh pertama  dasawarsa 80-an.  

Sepanjang era itu tindak  kriminalitas kualitas rendahan  memang selalu ada. Oknum  penguasa bahkan melakukan kejahatan  terhadap negara, termasuk  korupsi. Penguasa juga  melakukan teror terhadap kekuatanatauelemen-  elemenantipemerintah.  Namun, segala bentuk  dan skala kejahatan itu bisa  dilokalisasi sedemikian rupa sehingga  tidak menjadi teror bagi  kehidupanrakyat diruangpublik.  Negara tidak boleh dan tidak  pernah mau kalah terhadap  semua potensi dan anasir yang  mengganggu keamanan dan  ketertiban umum. Prinsip dasar  ini dipegang teguh oleh penguasa  pada era itu, berapa pun harga  yang harus dibayar. 

Negara cq  pemerintah memang menjadi  sangat sensitif dan cenderung  tertutup terhadap segala sesuatu  yang berpotensi merongrong kekuasaan  dan mengganggu keamanan  serta ketertiban umum.  Alergi penguasa terhadap  segala bentuk kebebasan memang  menimbulkan kekecewaan  dan ketidakpuasan. Tetapi,  pada era itu selalu ada jaminan  keamanan dan kenyamanan  terhadap dan di ruang publik.  Pemerintahan waktu itu tak  segan-segan mengerahkan  prajurit ABRI (kini TNI) untuk  menangkal, menghalau, bahkan  meredam berbagai potensi dan  aksi gangguan keamanan dan  ketertiban umum. 

Peranprajurit  Polri nyaris dinomorduakan.  Memasuki dekade 2000-an  suasana keamanan dan ketertiban  umum terasa berubah begitu  fundamental. Keterbukaan  dan kebebasan menyebabkan  ruang publik tidak hanya  sangat bising, tapi juga memunculkan  beragam ekses. Keterbukaan  dan kebebasan sering  diaktualisasikan atau diasumsikan  dengan boleh bertindak  “semau gue”. Dari perilaku  anarkistis, aksi-aksi yang  mengganggu dan merusak kepentingan  umum, menghalalkan  tindak kekerasan berdarah,  meluasnya penyalahgunaan  kebebasan berserikat, hingga  berkembangnya praktik mafia  di ruang publik.  

Di sela-sela beragam ekses  tadi, lahirlah modus-modus kejahatan  yang tak pernah terbayangkan  sebelumnya. Tidak  hanya kejahatan terorisme dengan  serangan yang mematikan,  masyarakat juga dikejutkan  oleh tingginya intensitas  perdagangan dan penyelundupan  narkoba oleh sindikat  internasional yang beroperasi  di dalam negeri. Perdagangan  dan penyelundupan senjata api  (senpi) ilegal pun tak terkendalikan  sehingga pemilikan  dan penguasaan senpi menjadi  sangat mudah saat ini.  

Kecepatan Beradaptasi  

Seperti itulah gambaran  sekilas mengenai tantangan  Polri era terkini. Tidak hanya  aksi terorisme yang membuat  masyarakat mengerang, tapi  juga aksi-aksi kejahatan lainnya  yang memuncak dengan rangkaian  peristiwa penembakan  dan pembunuhan prajurit Polri  akhir-akhir ini.  

Kalau seperti itu kecenderungannya,  patutlah untuk  bertanya tentang seberapa  cepat Polri mampu beradaptasi  dengan semua ekses keterbukaan  dan kebebasan itu? Institusi  Polri tentu punya versi jawaban  tersendiri terhadap pertanyaan  seperti ini. Tetapi, pada tempatnya  juga jika Polri mau menyimak  kesan atau opini publik.  Mengacu pada fakta-fakta kejahatan  berikut kualitas tindak  kriminal yang berkembang  hingga saat ini, berkembang  kesan di benak publik bahwa  Polri relatif terlambat beradaptasi.  Boleh jadi, bahkan  cukup kedodoran.  

Benar bahwa Polri mencatat  kinerja menakjubkan dalam  perang melawan terorisme di  dalam negeri. Menghadirkan  Detasemen Khusus (Densus) 88  Antiteror merefleksikan kesigapan  Mabes Polri beradaptasi  dengan tantangan global dan  lokal yang mulai mengemuka  pada awal dekade 2.000-an.  Namun, tantangan yang satu ini  belum dituntaskan karena selsel  terorisme masih bertebaran  di beberapa tempat. Dalam  beberapa kasus ledakan bom  belum lama ini justru fasilitas  Polri yang menjadi targetnya.  Tidak hanya ancaman terorisme  yang menggelisahkan.  

Maraknya perdagangan dan  peredaran narkoba serta senpi  ilegal dan bom rakitan di beberapa  pelosok daerah pun merongrong  keamanan dan ketertiban  umum. Kinerja Polri dalam  menanggapi dua kejahatan  ini dirasakan belum maksimal.  Masyarakat bisa melihat dan  merasakan bahwa peredaran  narkoba cukup leluasa, sementara  pasar gelap yang memperdagangkan  senpi ilegal terus  berlangsung.  Bukan rahasia lagi bahwa  pekerjaan memberangus jaringan  perdagangan dan peredaran  narkoba adalah perang berkelanjutan  melawan sindikat  internasional. 

Dengan demikian,  sangat jelas bahwa tantangan  terkini bagi Polri bukan  semata-mata memburu para  pengedar yang notabene berstatus  ‘pemain’ kelas teri atau  menggerebek para pemakai.  Demi melindungi masa  depan anak-anak dan generasi  muda kita, tugas Polri memerangi  jaringan perdagangan  narkoba jangan lagi melulu  difokuskan di dalam negeri.  Karena Indonesia sudah dijadikan  target pasar oleh sindikat  internasional, sudah waktunya  Polri mengerahkan intelijen  untuk melakukan pengintaian  di luar negeri agar pencegahan  di bandara atau pelabuhan  menjadi lebih efektif.  

Masyarakat juga berharap  Polri lebih bersungguh-sungguh  memberantas perdagangan  senpi ilegal. Rangkaian kasus  penembakan dan pembunuhan  terhadap prajurit Polri akhirakhir  ini diharapkan lebih  memotivasi Polri untuk benarbenar  membatasi penguasaan  senpi di tangan warga sipil.  Sangat berbahaya jika penyelundupan,  perdagangan  dan penguasaan senpi ilegal di  tangan warga sipil tidak diperangi.  

Jika semakin banyak  orang merasa terancam akibat  maraknya penguasaan senpi  ilegal, akan semakin banyak  pula orang yang terdorong  untuk memiliki senpi ilegal  untuk melindungi diri. Kalau  sudah seperti itu kecenderungannya,  keamanan dan ketertiban  umum akan semakin sulit  diwujudkan.  Belum lama ini kantor kepresidenan  telah mengirim  surat ke pimpinan DPR tentang  pengajuan calon tunggal untuk  jabatan Kapolri pengganti  Jenderal Timur Pradopo. 

Calon  tunggal itu adalah Komjen Pol  Sutarman yang sebelumnya  menjabat sebagai Kabareskrim  Mabes Polri. Mudah-mudahan,  di bawah kepemimpinan Sutarman,  Polri lebih cepat beradaptasi  dengan tantangan terkini.  Selamat bertugas Jenderal!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar