Selasa, 01 Oktober 2013

DPR Mengkorupsi Anggaran?

DPR Mengkorupsi Anggaran?
Hifdzil Alim  ;  Peneliti PUKAT Korupsi FH UGM;
Ketua Bidang Non-Litigasi LPBH PWNU DI Yogyakarta
TEMPO.CO, 01 Oktober 2013


Akhirnya, semua kelit-kelindan korupsi anggaran salah satunya berasal dari ketentuan hukum yang tercantum dalam UU MD3 dan UU Keuangan Negara. Jika ingin mengoreksi bablas kewenangan, koreksilah dulu dasar hukumnya.
 
Badan Pemeriksa Keuangan menyerahkan laporan hasil pemeriksaan tahap II terkait dengan pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional di Hambalang kepada KPK (23/8/2013). Salah satu substansi pemeriksaan menyuratkan ada kenaikan dugaan kerugian keuangan negara. Sebelumnya sekitar Rp 243,60 miliar menjadi Rp 463,6 miliar.

Selain bertambahnya jumlah duit negara yang ditengarai raib, konon laporan BPK juga memuat 15 inisial nama anggota Komisi X DPR periode 2009-2014 yang disangka memberikan persetujuan terhadap pencairan dana proyek Hambalang. Ada inisial MNS, RCA, HA, AHN, APPS, WK, KM, JA, MI, UA, AZ, EHP, MY, MHD, dan HLS. Hanya, keberadaan inisial ini dibantah oleh Ketua Komisi Olahraga DPR (Koran Tempo, 28/8/2013).

Katakanlah masih ada kontroversi seputar keterlibatan oknum anggota Dewan dalam kasus Hambalang, ada sesuatu yang merusak pikir. Jika dilihat dari sudut eksistensi DPR dalam kekuasaan anggaran, muncul pertanyaan, kenapa banyak oknum legislator di bidang olahraga yang begitu rentan tercebur-atau menceburkan diri-dalam kasus ini? Apa pemicunya?

Bablas kewenangan

Mengenai kekuasaan membahas anggaran, UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menggariskan kewenangan DPR melalui Pasal 157 ayat (1) huruf c. Pasal tersebut mengatakan pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan APBN dilakukan segera setelah pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan.

Sepertinya Pasal 157 ayat (1) huruf c itu yang mendasari rentannya anggota DPR terjebak dalam soal pembahasan anggaran. Tak cukup berhenti di satu pasal, Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 juga menyebut kewenangan legislator untuk menyetujui pembahasan duit negara sampai lingkup yang lebih kecil. "APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja." Aturan ini persis sama dengan yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Padahal, kalau ditelaah lebih lanjut, tampaknya ada frasa yang bertentangan dalam bunyi Pasal 157 ayat (1) huruf c UU MD3. Apabila kewenangan eksekutif dalam penyusunan APBN hanya menyampaikan bahan dalam batas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, artinya dalam lingkup besar saja, mengapa kemudian ada frasa rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan? Bukankah frasa ini bermakna eksekutif harus menyampaikan bahan dalam kerangka ekonomi mikro, dalam lingkup lebih kecil dan rigid? Di sinilah hulu bablas kewenangan DPR.

Garis pasal yang memberikan kewenangan sangat besar kepada anggota DPR dalam membahas anggaran sampai lingkup kecil membuatnya rentan menyalahgunakan kekuasaan. Akibatnya, legislator bisa dengan mudah mengacak-acak anggaran, membolak-balik duit. Belum lagi, dengan adanya mekanisme APBN Perubahan, anggaran dapat diutak-atik berkali-kali, atau minimal dua kali. Pola ini juga menjadi senjata bagi DPR untuk menyandera kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah, dan instansi. Misalnya, KPK pernah merasakannya. Anggaran pembuatan gedung baru untuk menunjang kinerja pemberantasan korupsi ditawan oleh DPR dengan skema perbintangan.

Mengalir ke partai?

Di sisi lain, ketentuan yang diterapkan dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) UU MD3, dan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara ada kemungkinan juga memudahkan anggota Dewan mengontrol anggaran agar mengalir ke beberapa pihak. Asumsi ini memang harus dibuktikan terlebih dulu. Meski demikian, ada satu kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap yang menggambarkan sangkaan aliran dana negara ke pihak tertentu.

Sekadar mengingatkan, dalam Putusan Nomor 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin pada halaman 151 dan 160 terdapat keterangan saksi Yulianis yang membawa uang US$ 5 juta, terdiri atas US$ 2 juta uang Grup Permai dan US$ 3 juta uang hasil sumbangan, ke kongres Partai Demokrat pada 2010. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa uang Grup Permai kemungkinan besar diperoleh dari uang proyek yang dianggarkan dalam APBN. Keterangan saksi ini menyiratkan, ada uang dari pemotongan anggaran proyek yang didanai negara mengalir ke partai, atau setidaknya ke kepentingan partai.

Yang lebih penting lagi, pemotongan dana proyek APBN tak dirancang sendirian. Terdapat beberapa anggota Dewan yang disangka bermanuver mengalokasikan anggaran. Selain Muhammad Nazaruddin, ada nama Angelina Pinkan Sondakh, mantan anggota Dewan, yang sudah divonis bersalah karena tindak pidana korupsi. Hal ini menandakan, korupsi yang bermula dari pembahasan anggaran, seperti kasus Hambalang, dipicu oleh bablas kewenangan yang kebetulan diatur dalam undang-undang.

Lalu, bagaimana pemeriksaan atas korupsi anggaran seperti ini mesti dilakukan? Meski belakangan mulai kabur mengenai keberadaan 15 inisial nama anggota Dewan dalam hasil audit II Hambalang, anggota Komisi X DPR menginginkan agar BPK mengklarifikasi inisial nama yang disebut-sebut ada dalam laporan pemeriksaan investigatif. Sebenarnya, muncul atau tak munculnya nama, KPK sebagai lembaga yang menangani kasus Hambalang harus bergerak cepat menelusuri dugaan keterlibatan oknum anggota Dewan.

Di samping itu, teori keuangan negara yang juga dimaktubkan dalam undang-undang paket pembahasan keuangan negara menyatakan pembahasan anggaran melibatkan pihak eksekutif. Artinya, KPK juga tak boleh melepaskannya. Akhirnya, semua kelit-kelindan korupsi anggaran salah satunya berasal dari ketentuan hukum yang tercantum dalam UU MD3 dan UU Keuangan Negara. Jika ingin mengoreksi bablas kewenangan, koreksilah dulu dasar hukumnya. Untuk ini, Koalisi Penyelamatan Uang Rakyat telah mengajukan judicial review dua undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Inilah bentuk perjuangan paling kecil yang dapat dilakukan dalam keturutsertaan memberantas korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar