Sabtu, 26 Oktober 2013

Ironi Investasi Sundoro di Trowulan

Ironi Investasi Sundoro di Trowulan
Effnu Subiyanto  ;   Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep), 
Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
JAWA POS, 25 Oktober 2013



Kualitas feasibility study (FS) dan validitas amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) pabrik baja PT Manunggal Sentral Baja (MSB) milik Sundoro Sasongko benar-benar diragukan. Sungguh ironis, tahap investasi seperti FS dan amdal bisa diloloskan, padahal lokasi pabrik berada tepat di wilayah cagar budaya Trowulan, Mojokerto. 

Investasi pabrik baja MSB yang konon bernilai Rp 70 miliar dengan kapasitas produksi baja untuk suku cadang kendaraan bermotor sampai 10 ton per hari itu kini dianggap melanggar UU Cagar Budaya. Urutan-urutannya sebetulnya prosedural. Sebab, mereka sudah melaporkan rencana upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Artinya, dokumen amdal sudah melalui sesi paparan publik. 

Bahkan, Sundoro sudah mengantongi izin prinsip dari Bupati Mustofa Kamal Pasa serta surat penjelasan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang menerangkan bahwa pabrik MSB dapat dibangun di areal 3,6 ha yang sudah dikuasai Sundoro. Kesalahan Sundoro, izin HO (hinder ordonantie) atau izin gangguan belum diperoleh, namun fondasi tiang pancang pabriknya sudah dimulai. 

Trial Error Pejabat 

Ketidakpastian para investor yang akan berinvestasi di Indonesia sebetulnya tidak mengherankan dan lumrah terjadi. Dalam kasus ini, Pemerintah Mojokerto terlihat tidak profesional karena izin prinsip pendirian pabrik bahkan sudah didapat Sundoro. Namun, di sisi lain, Sundoro juga harus transparan apakah lolosnya amdal sampai diperolehnya izin prinsip itu sudah melewati prosedur yang benar. Jangan sampai menggunakan cara ''belakang'' saat hendak berinvestasi.

Sesi terberat investor ketika hendak berinvestasi adalah saat paparan publik untuk pengesahan amdal yang disusun. Melalui puluhan sidang komisi yang melelahkan, investor harus meyakinkan puluhan sampai ratusan wakil masyarakat yang hadir bahwa investasinya akan lebih banyak bermanfaat daripada mudlarat. Persoalannya, apakah Sundoro melewati prosedur itu atau menggunakan kekuatan ekonominya untuk mem-bypass prosedur?

Itulah pemerintah trial error yang kini menggejala di Indonesia. Pemerintah daerah berspekulasi mengambil keputusan yang sebetulnya tidak sah secara legal karena didorong kepentingan transaksional. 

Pelajaran Investor 

Penolakan pabrik baja MSB di Trowulan itu menjadi pelajaran bagi investor agar tidak menggunakan jalan pintas untuk mewujudkan keinginan. Pada zaman ini, ketika UU pun bisa di-MK-kan, izin prinsip dari pemerintah daerah pun bisa dianulir jika tidak melewati mekanisme yang benar.

Terlebih pabrik baja MSB berlokasi di episentrum wilayah cagar alam bekas Kerajaan Majapahit yang tidak bisa dikuantifikasikan nilainya. Pabrik MSB secara nyata melanggar UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya, khususnya pasal 31 ayat 5. Intinya, yang harus dilindungi bukan hanya benda, tapi juga situs dan kawasannya. Khusus situs di Trowulan, kawasan cagar budaya yang diusulkan ke pemerintah pusat mencapai radius 115 kilometer persegi dan fondasi pabrik Sundoro secara kebetulan berada di dalamnya. 

Masalah lahan untuk investasi memang masih menjadi konstrain utama penghambat investasi di Indonesia. Bahkan, investasi pemerintah untuk kepentingan umum mendapat perlawanan alot. Proyek tol trans-Jawa pun belum mampu bergerak karena persoalan lahan. 

Bahkan, kendati Peraturan Presiden Nomor 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diteken pada 7 Agustus 2012, masalah tersebut tidak seketika selesai. Dari urutan peraturan tertinggi, ada pula UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (pasal 53 dan pasal 59) dan semua masih mandul di sisi implementasi.

Bagi pabrik Sundoro yang bukan untuk kepentingan umum, tentu tekanannya lebih hebat. Praktis hampir tidak ada dasar legal yang memberikan privilege dalam hal kepemilikan tanah. Sundoro harus mengupayakan sendiri lahan untuk pabriknya, tidak sekadar manut perintah ''pejabat'' agar membangun pabriknya di Trowulan. Investor pun harus paham mana wilayah yang potensial bakal mendapat resistansi tinggi dan mana yang tidak.

Sundoro dalam hal ini sudah menjadi korban permainan pejabat, selalu patuh disuruh apa pun, termasuk saran untuk membuat pabrik di wilayah cagar alam Trowulan. Kini saat pabriknya sudah tahap tiang pancang, menghabiskan sebagian biaya dan mendapat perlawanan dari elemen masyarakat, ironisnya si pejabat tersebut cuci tangan. Sundoro pun harus mencari jalan keadilannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar