Rabu, 02 Oktober 2013

Gerwani dan Tragedi 1965

Gerwani dan Tragedi 1965
Idham Khalid dan Erwin Dariyanto  ;  Wartawan detikNews
DETIKNEWS, 30 September 2013


Srikandi Indonesia dalam Mimpi Bung Karno
“Bukan saja kaum laki-laki, tetapi kaum wanita juga harus siap menghadapi gerbangnya maut di dalam usahanya membuat natie (bangsa),”. 

Pernyataan Sarojini Naidu, aktivis nasionalis India itu dikutip kembali oleh Bung Karno, melalui koran 'Suluh Indonesia Muda', edisi awal Desember 1928.

Sukarno yang waktu itu menjadi redaktur di koran 'Suluh Indonesia Muda' berharap, agar gerakan wanita tak hanya menuntut persamaan hak, namun juga terlibat langsung dalam perjuangan nasional. Kebetulan pada saat bersamaan di Yogyakarta, -yang saat itu masih bernama Mataram-, sedang berkumpul 600 perempuan dari 22 organisasi perempuan di Jawa dan Sumatera.

Ada Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Aisjijah, Poetri Boedi Sedjati, Darmo Laksmi, Roekoen Wanodijo, Jong Java, Wanita Moelyo, dan Wanita Taman Siswa. Pertemuan kemudian menghasilkan gagasan dari tiga aktivis perempuan, yakni Soejatin, Nyi Hadjar Dewantoro, dan R.A Soekanto agar dilakukan kongres perempuan.

Wacana perlunya kongres perempuan juga sempat dibahas dalam kongres pemuda I pada tahun 1926. Rencana itu kembali menguat saat digelar kongres pemuda II pada 28 Oktober 1928. Maka pada 22 Desember 1928 digelarlah Kongres Perempuan I di Yogyakarta.

“Kongres ini untuk pertama kalinya menggunakan bahasa Melayu, sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda,” kata sejarawah I Gusti Agung Ayu Ratih kepada detikcom, Senin (16/9) lalu melalui surat elektronik.

Padahal saat itu banyak perempuan yang kesulitan menggunakan bahasa Melayu. Wal hasil kongres pun riuh oleh penggunaan bahasa campuran antara Jawa, dan Belanda.
Kongres Perempuan Indonesia I waktu itu membahas tentang kedudukan perempuan dalam institusi perkawinan dan masyarakat. Antara lain menyangkut poligami, pendidikan perempuan, perkawinan paksa dan perkawinan anak-anak, talak dan pisah tak berjangka, prostitusi, dan kemiskinan perempuan. 

Meski baru pertama kali digelar, kongres sempat diwarnai perdebatan keras antara wakil-wakil dari organisasi-organisasi perempuan sekuler, dengan sebagian wakil organisasi perempuan yang berafiliasi dengan organisasi keagamaan, seperti Aisjijah, Wanito Moeljo, dan sayap perempuan Jong Islamieten Bond (Jong Islamieten Bond Damesafdeling).

Dua organisasi perempuan Islam yang progresif saat itu adalah sayap perempuan Sarekat Islam dan Natdatoel Fataat, yang didirikan oleh Walfadjri, organisasi Islam progresif berkedudukan di Yogyakarta, yang mendorong pembaharuan hukum perkawinan dalam Islam.

Pasca Kongres Perempuan Indonesia pertama kemudian lahirlah sejumlah organisasi gerakan wanita. Kontribusi mereka begitu besar dalam perjuangan memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bahkan peran para 'Srikandi' tak kalah dengan perjuangan kaum pria. 

Di zaman Bung Karno gerakan perempuan dipandang sebagai mitra dalam perjuangan nasional. Posisi dan kedudukannya setara dengan pria sebagai warga negara.

“Soal wanita itu perlu dengan segera didjelaskan dan dipopulerkan. Sebab kita tidak dapat menjusun negara dan tidak dapat menjusun masjarakat, djika (antara lain-lain soal) kita tidak mengerti soal wanita.” kali ini Sukarno menuliskannya dalam buku berjudul 'Sarinah'.

Lawan Belanda, Bung Karno Mengumpankan Pelacur

Pada kurun waktu tahun 1926 sampai 1927 ketegangan antara pejuang-pejuang revolusi, -yang dipelopori Sukarno dan kawan-kawannya-, dengan pemerintah kolonial Belanda kian meningkat. Para pelopor revolusi bertekad menggulingkan pemerintah Belanda.

Sukarno pun dianggap menjadi duri paling besar bagi Belanda. Dia menjadi tokoh yang paling diburu. Dua detektif sengaja dikerahkan Belanda untuk memata-matai kegiatan sehari-hari Sukarno. 

Walhasil Sukarno harus menggelar sejumlah pertemuan penting dengan kaum pemuda pergerakan secara sembunyi-sembunyi. Antara lain di bagian belakang sebuah mobil sambil menundukkan kepala. 

“Tempat lain yang kami pergunakan untuk pertemuan adalah rumah pelacuran. Jadi berapatlah kami di sana, di tempat pelacuran, sekitar jam delapan dan sembilan malam,” Kata Sukarno seperti dikisahkan dalam buku 'Penjambung Lidah Rakjat' yang ditulis Cindy Adam.

Rumah pelacuran dipilih agar aman dari tuduhan akan menggulingkan pemerintah Belanda. Dalam perkembangannya, Sukarno akhirnya merekrut juga para wanita penghibur itu dalam gerakan kemerdekaan. 

Bagi Sukarno, pelacur adalah mata–mata paling baik di dunia. Terdapat 670 orang pelacur yang masuk ke dalam PNI di Bandung. Sukarno mengakui bahwa para pelacur ini adalah angggota yang paling setia dan patuh dari pada anggota lain yang pernah ia ketahui.

“Kalau menghendaki mata – mata yang jempolan, berilah aku seorang pelacur yang baik. Hasilnya mengagumkan sekali dalam pekerjaan ini (mata – mata ),” kata Sukarno Sukarno dapat menyuruh mereka menggoda polisi belanda untuk menggali rahasia. Sebab, jalan apa lagi yang lebih baik supaya melalaikan orang dari kewajibannya selain mengadakan percintaan yang bernafsu dengan dia. Hasilnya, sejumlah informasi rahasia Belanda bisa didapat oleh Sukarno. 

Tak hanya informasi, dari para pelacur itulah organisasi PNI yang didirikan Sukarno mendapat pasokan dana. “Sokongannya (pelacur) besar ditambah lagi dengan sokongan tambahan. Aku dapat menggunakannya lebih dari itu,” kata Sukarno.

Tindakan Sukarno yang memasukkan para pelacur ini mendapat tekanan hebat dan perdebatan luar biasa dari anggota pengurus lain. Salah satunya adalah Ali Sastromidjojo.

“Sangat memalukan,” keluh Ali seperti dikisahkan Sukarno kepada Cindy Adam. “Merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal,” 

“Kenapa? Mereka (pelacur) jadi orang revolusiner yang terbaik. Saya tidak mengerti pendirian Bung Ali yang sempit,” jawab Sukarno.

“Ini melanggar asusila,” kata Ali tak kalah galak. 

“Apakah Bung Ali pernah menanyakan alasan mengapa saya mengumpulkan 670 orang perempuan lacur?” tanya Sukarno kepada Ali. 

“Bagi saya persoalannya bukan soal bermoral atau tidak bermoral, tenaga yang ampuh, itulah satu-satunya yang kuperlukan” kata Sukarno. 

Direktur Institut Sejarah Sosial Indonesia I Gusti Agung Ayu Ratih, perdebatannya dengan Ali Sastroamidjojo soal kepantasan melibatkan pelacur menunjukkan kebesaran jiwa Sukarno sebagai pejuang. “Saya kira inilah kehebatan Sukarno ya. Sebagai pemimpin gerakan pembebasan dia tidak pandang bulu siapa yang dapat diajak berjuang bersama. Cerdas sekali,” kata Ayu kepada detikcom, Senin (16/9) lalu.

Sejarah Gerwis dan Munculnya Gerwani

Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) merupakan cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), salah satu organisasi perempuan yang sangat disegani. Gerwis didirikan pada 4 Juni 1950 oleh enam organisasi perempuan: Rupindo (Rukun Putri Indonesia, Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruan).

Tokoh-tokoh yang mendirikan Gerwis antara lain adalah S.K. Trimurti, bekas Menteri Perburuhan dan pimpinan Barisan Buruh Wanita yang tergabung dalam Partai Buruh Indonesia, Salawati Daud, wali kota Makassar yang berhadapan dengan Kapten Westerling, Umi Sardjono, Tris Metty, dan Sri Panggihan, anggota PKI ternama sebelum Peristiwa Madiun 1948.

“Pejuang-pejuang Gerwis rata-rata terlibat dalam gerilya kemerdekaan, apakah menjadi anggota Lasykar Wanita (Laswi), mendirikan dapur umum, atau menjadi kurir. Ketua Gerwis pertama adalah Tris Metty, tapi segera digantikan oleh S.K.Trimurti,” kata sejawaran I Gusti Agung Ayu Ratih kepada detikcom awal pekan lalu melalui surat elektronik.

Ayu Ratih, yang sedang menyelesaikan S3 bidang Sejarah di University of British Columbia, menjelaskan karena para pimpinan Gerwis semuanya aktif dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan sendirinya politik Gerwis sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka.

Sejak berdirinya, Gerwis antara lain aktif mendorong perubahan Undang-Undang Perkawinan yang dianggap tidak adil terhadap perempuan. Untuk itu Gerwis secara aktif memberi kursus-kursus penyadaran tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan.

Kendati demikian, tak ada satu cerita tentang perubahan Gerwis menjadi Gerwani. Satu versi menyebutkan Gerwis dianggap terlalu elitis dan hanya berurusan dengan perempuan-perempuan yang sudah 'sedar', sudah memahami politik, sementara sebagian besar perempuan miskin di Indonesia yang baru merdeka masih buta politik dan pendidikannya rendah. Gerwani berusaha untuk menjangkau lebih banyak perempuan yang belum 'sedar' ini.

Sedangkan versi lain melihat para pimpinan Gerwis, kecuali Trimurti, sangat dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di bawah pimpinan Trimurti, Gerwis kurang bisa dikendalikan oleh partai dan terlalu independen.

Ada pula yang mengatakan Gerwis didesak untuk segera menjadi partai massa, bukan partai kader yang kecil, pada 1954 karena PKI ingin memanfaatkan organisasi ini untuk menggalang suara bagi PKI pada Pemilu 1955. 

“Ideologi Gerwani, seperti juga organisasi-organisasi yang lahir dari rahim perang kemerdekaan, nasionalisme kerakyatan,” ujar Direktur Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) ini.

Ayu Ratih melanjutkan, bidang-bidang kegiatan Gerwani tak jauh berbeda dengan Gerwis seperti pendidikan, politik nasional, dan politik perempuan. “Setiap organisasi di masa itu biasanya terlibat dalam kegiatan kesenian karena dorongan pemerintah Sukarno untuk melakukannya di tingkat rakyat,” ujar Ayu Ratih. 

Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Komisi Nasional Perempuan yang berjudul "Kejahatan Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965" menyebutkan, pada Juli 1950, sekitar 500 pejuang yang tergabung dalam organisasi istri sedar dan enam organisasi perempuan lainnya membentuk Gerwis.

Pada kongres Gerwis yang pertama pada tahun berikutnya atau setahun kemudian di Semarang, diputuskan untuk mengubah nama organisasi menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

“Tapi baru pada 1954 nama itu (Gerwani) baru dipakai secara resmi,” ujar Laporan yang dicetak pada 2007 dengan tim penulis Ita F Nadia dan kawan-kawan tersebut.

Dengan semangat revolusioner pada masa itu, Gerwani aktif memperjuangkan hak-hak perempuan di wilayah politik di antaranya mereformasi undang-undang perkawinan yang mensahkan poligami.

Gerwani Menentang Poligami tapi Diam Saat Sukarno Nikah Lagi

Isu kesetaraan gender dan poligami merupakan permasalahan yang diperjuangkan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia, termasuk Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Muhadjir Darwin dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7, Nomor 3, Maret 2004 (283-294) menyebutkan isu poligami muncul ketika Sukarno yang merupakan simbol bapak bangsa dan telah beristri Fatmawati menikahi Hartini. 

Perbuatan Sukarno ketika itu mendapat penentangan dari organisasi perempuan yaitu Persatuan Wanita Indonesia (Perwani). Dalam Jurnal berjudul Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa itu, menurut Muhadjir .

Gerwani yang merupakan sebuah organisasi massa dan berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak menunjukkan pembelaannya terhadap perempuan dalam masalah poligami atau dalam memperjuangkan lahirnya undang-undang perkawinan karena kedekatan politik Gerwani/PKI dengan Sukarno.

“Mungkin Presiden RI pertama tersebut dianggap sebagai sekutu strategis bagi perjuangan komunis di Indonesia ketika itu untuk menghadapi politisi Islam yang anti- komunis. Perlu juga dicatat bahwa Sukarno pada awalnya sangat mendukung kaum perempuan,” kata Muhadjir dalam tulisannya.

Dari Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Komisi Nasional Perempuan yang berjudul "Kejahatan Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965" menyebutkan hubungan Gerwani retak dengan anggota federasi organisasi-organisasi perempuan di tingkat nasional, yaitu Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan juga dengan Gabungan Organisasi Wanita (GOW) di tingkat daerah lain yang berlatar belakang politik untuk mereformasi undang-undang perkawinan yang mensahkan poligami.

“Hubungan Gerwani dengan organisasi-organisasi perempuan lain, terutama di tingkat pusat, tampaknya memiliki masalah sejak Gerwani memutuskan untuk tidak mengecam pernikahan Sukarno dengan Hartini pada tahun 1954 walaupun sebelumnya Gerwani mengambil posisi yang tegas menentang poligami,” sebut Laporan yang dicetak pada 2007 dengan tim penulis Ita F. Nadia dan kawan-kawan tersebut.
Sementara itu, sejarawan I Gusti Agung Ayu Ratih mengatakan keengganan Gerwani untuk mengkritik Sukarno antara lain karena tekanan dari pihak organisas-organisasi kiri lainnya, terutama PKI, untuk tidak memperlemah pemerintahan Sukarno. 

Pilihan organisasi-organisasi kiri pada saat itu adalah sepenuhnya mendukung Sukarno dalam membangun Front Nasional untuk menghadapi kekuatan Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat (sekarang Papua Barat).

“Pilihan Gerwani membuat organisasi-organisasi perempuan lainnya, terutama Persatuan Wanita RI (Perwari), kecewa dan jengkel terhadap aktivis-aktivis Gerwani karena mereka sebenarnya berharap kekuatan massa Gerwani akan dapat menekan Sukarno untuk tidak melanjutkan praktik poligaminya,” ujar Ayu Ratih yang sedang menyelesaikan S3 bidang Sejarah di University of British Columbia kepada detikcom, awal pekan lalu, melalui surat elektronik.

Sri Sulistyawati, seorang aktivis Gerwani mengatakan saat itu Gerwani juga mengkritik rencana Bung Karno nikah lagi. Namun, menurut dia keputusan Bung Karno menikahi Hartini adalah masalah pribadi. “Itu tanggung jawab pribadi,” kata Sri kepada detikcom, Sabtu (14/9) di Kramat VII, Jakarta Pusat.

Apalagi, dia menegaskaan, saat itu Bung Karno berjuang keras untuk mengajak kaum perempuan terlibat aktif dalam perjuangan melawan neo-kolonialisme dan imperialisme.

Diburu Orde Baru Setelah Geger 1965

Hingga kini belum ada bukti tertulis tentang keterkaitan antara organisasi Gerakan Wanita Indonesia dengan Partai Komunis Indonesia. Gerwani tak pernah secara resmi menyatakan sebagai organisasi sayap PKI. 

“Gerwani tidak pernah menyatakan secara resmi sebagai sayap dari PKI. Perbincangan tentang kemungkinan itu ada, tetapi secara formal tak pernah diputuskan dalam kongres organisasi,” kata sejarawan dari Institut Sosial Sejarah Indonesia (ISSI), I Gusti Agung Ayu Ratih kepada detikcom, Senin (16/9) lalu melalui surat elektronik. 

Memang, pada tahun 1958 Partai Komunis Indonesia menyerahkan delapan kursinya di Dewan Perwakilan Rakyat kepada anggota Gerwani. Ini untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan di parlemen. 

“Tapi kami (Gerwani) bukan organisasi sayap PKI,” kata Lestari, 81 tahun, mantan pengurus cabang Gerwani Bojonegoro, Jawa Timur kepada detikcom, Sabtu (14/9) di Kramat VII, Jakarta. 

Cita-cita Gerwani saat itu menurut Lestari, adalah pemberantasan buta huruf. Salah satunya dengan mendirikan sekolah taman kanak-kanak, dan penitipan anak gratis di pelosok pedesaan. Pendidikan politik diberikan kepada kadernya melalui lagu-lagu perjuangan. 

Lestari mengisahkan, tak mudah merekrut kader perempuan saat itu. Apalagi sebagian besar masyarakat pedesaan belum melek politik. Beruntung pada waktu itu Gerwani banyak menjalin kerjasama dengan organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakjat (PR).

“Kami minta istri-istri pengurus BTI, PR itu peduli dengan nasib rakyat kecil, berjuang bersama kami (Gerwani) memberantas buta huruf,” kata Lestari.
Nilai-nilai perjuangan kemerdekaan disampaikan melalui lagu-lagu perjuangan. “Misalnya dalam lagu 'Sorak-sorak Bergembira', kami tanamkan arti kemerdekaan,” kata Lestari. 

Usaha itu pun sukses. Sampai tahun 1960-an Lestari menyebut jumlah kader makin bertambah besar. Organisasi ini pun berhasil membangun tak kurang dari 1500 balai penitipan anak gratis untuk buruh dan petani. Masyarakat yang awalnya tak mengerti baca tulis akhirnya bisa membaca. 

Namun perjuangan Gerwani ini seolah sia-sia setelah meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sejumlah anggota Gerwani dituduh berada di Lubang Buaya saat peristiwa pembunuhan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat. 

Padahal menurut I Gusti Agung Ayu Ratih, saat itu Lubang Buaya adalah salah satu tempat pelatihan sukarelawan dan sukarelawati. Mereka akan dikirim ke daerah perbatasan di Kalimantan dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia. Pelatihan ini berlangsung di sejumlah daerah di Indonesia. 

Bahkan pesertanya tak hanya anggota Gerwani, ada juga organisasi perempuan lain. “Ada juga ibu pejabat ikut pelatihan karena ini program resmi pemerintah,” kata Ayu Ratih. 

Namun pemerintah orde baru di bawah mantan Presiden Soeharto menganggap Gerwani terlibat dalam peristiwa berdarah 30 September 1965. Banyak anggota Gerwani diburu dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan, dengan status tahanan politik. Baru pada tahun 1979 mereka dibebaskan.

Kisah Wartawati Kesayangan Bung Karno

Sri Sulistyawati (72 tahun), hanya bisa tertegun di depan kantornya di jalan Asemka nomor 29-30, Jakarta Barat pada awal Oktober 1965. Kantor koran Warta Bhakti tempat dia bekerja sebagai penulis itu dijaga ketat oleh tentara.

Sejumlah aparat keamanan menjaga kantor Koran Warta Bhakti karena dianggap ikut menyiarkan isu Dewan Jenderal. 

Awalnya Sri adalah wartawan Warta Bhakti yang bertugas meliput isu-isu ekonomi. Dia sering menjelajah pasar-pasar untuk menulis soal harga kebutuhan pokok masyarakat. Namun di awal tahun 1965 Presiden Sukarno meminta Sri meliput isu-isu politik. 
“Kamu tulis masalah politik, temani itu Soebandrio,” kata Presiden Sukarno kepada Sri. Soebandrio saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri I. Sri, yang oleh Presiden Sukarno biasa dipanggil Cenil pun meliput mulai menulis soal isu-isu politik. 

Presiden Sukarno awalnya mengenal Sri sebagai penari di Istana Negara. Pada tahun 1951 dia sering membawakan tari topeng di hadapan presiden. Tak hanya tari, siswi salah satu sekolah menengah pertama di Cirebon, Jawa Barat itu juga mahir bermain angklung. 

Dua kemahiran itu lah yang menyebabkan nama Sri begitu dikenal oleh Sukarno. Dia pun menjadi salah satu wartawati kesayangan Bung Karno. Bahkan Bung Karno yang biasanya ceplas-ceplos kalau bicara soal wanita, begitu ada Sri langsung mengalihkan pembicaraan.

“Awas-awas ada Cenil, kita ngomong yang lain aja,” kata Sukarno seperti ditirukan Sri kepada detikcom, di Kramat VII, Jakarta Pusat Sabtu (14/9) lalu.

Tak hanya di bidang kesenian, Sri juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia. Kegiatannya di bidang organisasi ini lah yang kemudian mempertemukan dia dengan Sukatno, Ketua Pemuda Rakjat. Mereka berdua akhirnya menikah. 

Sukatno aktif di Pemuda Rakjat, sementara Sri disebut turut membidani lahirnya Gerwani cabang Jakarta. Setelah tragedi 1965 meletus, pemerintah Orde Baru menjebloskan pasangan suami istri itu ke dalam penjara. Sri yang dianggap pendukung setia Sukarno dimasukkan ke penjara Bukit Duri.

Sebelum ke Rumah Tahanan Bukit Duri, Sri ditahan di Gang Buntu, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di Gang Buntu ini lah Sri mengalami berbagai penyiksaan. “Ini gigi saya habis karena disiksa, pernah disetrum,” kata Sri. 

Dari Gang Buntu, Sri dipindahkan ke Rumah Tahanan Bukit Duri, di Jakarta Selatan. Tak ada lagi penyiksaan tapi para tahanan diperlakukan secara tidak manusiawi. "Di Bukit Duri tak ada penyiksaan, tapi kami makan dengan pinset karena nasinya dicampur dengan beling dan pasir,” kata Sri. 

Menurut dia, pemerintah Orde Baru memang ingin tahanan politik ini mati secara pelan-pelan. Tahun 1979 Sri dan semua tahanan politik dibebaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar