|
Perkembangan dunia menunjukan bahwa komunisme telah lama
ditinggal para penganutnya. Lihat saja runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu
soko guru komunis karena krisis internal dan gagal mewujudkan janji-janji muluk
kesejahteraan penganutnya. Begitu pula dengan China yang memodifikasi
komunismenya menjadi semakin ke kanan dan akomodatif terhadap kapitalisme
pasar.
Sedangkan Korea Utara, meski tidak mengalami kebangkrutan dan bersikukuh dengan doktrin komunismenya, namun hampir dipastikan warganya dihimpit kemiskinan yang esktrim dalam belenggu sistem politik yang totaliter. Fakta-fakta itu memperkuat keyakinan bahwa komunisme sebagai paham dan praktek politik mengalami kegagalan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan.
Pengalaman di Indonesia memperlihatkan bahwa komunisme di bawah PKI pernah menjadi kekuatan politik yang diakui dan memiliki pengikut yang cukup besar. Pengorganisasian dan propaganda politik PKI yang demikian manipulatif berhasil memperdaya dan menarik perhatian masyarakat, terutama janji penghapusan kelas dan kesejahteraan dalam slogan sama rasa sama rata yang kerap dilancarkan PKI.
Radikalisasi gerakan, aksi sepihak, penetrasi pada seluruh sektor masyarakat serta ditambah dengan kelihaian mengeksploitasi serta menciptakan kontradiksi-kontradiksi sosial di dalam masyarakat menjadi strategi PKI dalam memperkuat basis massa dukungan. Langkah PKI tersebut merupakan konsekuensi dari keyakinan dogmatis komunisme tentang sejarah sebagai produk dari pertentangan kelas antara proletar dan borjuis.
Pertentangan kelas hanya dapat dimenangkan oleh kaum proletar jika mereka bersatu guna melakukan revolusi sosial, merebut secara paksa faktor produksi, menghancurkan tatanan sistem dan norma yang ada, serta membentuk pemerintahan diktatur proletariat (Karl Marx, 1818-1883). Implikasinya, PKI bertransformasi menjadi kekuatan politik radikal yang dalam aksinya kemudian mengancam nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan dan persatuan di dalam masyarakat.
Doktrin pertentangan kelas dan revolusi sosial kemudian menjadi teror dan menyemai permusuhan di dalam masyarakat. Begitu pula dengan konsepsi materialisme dalam komunisme yang bertentangan dengan spritualitas dan religiusitas sebagai nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Sehingga, memperbincangkan PKI dan komunisme di Indonesia akan senantiasa lekat dengan fakta sejarah pengkhianatan, kekerasan dan teror, seperti pemberontakan PKI tahun 1948 maupun peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Karena itu tepat jika PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang, dan ajarannya dilarang untuk disebarluaskan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS. No. XXV Tahun 1966.
Memanfaatkan Momentum
Sedangkan Korea Utara, meski tidak mengalami kebangkrutan dan bersikukuh dengan doktrin komunismenya, namun hampir dipastikan warganya dihimpit kemiskinan yang esktrim dalam belenggu sistem politik yang totaliter. Fakta-fakta itu memperkuat keyakinan bahwa komunisme sebagai paham dan praktek politik mengalami kegagalan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan.
Pengalaman di Indonesia memperlihatkan bahwa komunisme di bawah PKI pernah menjadi kekuatan politik yang diakui dan memiliki pengikut yang cukup besar. Pengorganisasian dan propaganda politik PKI yang demikian manipulatif berhasil memperdaya dan menarik perhatian masyarakat, terutama janji penghapusan kelas dan kesejahteraan dalam slogan sama rasa sama rata yang kerap dilancarkan PKI.
Radikalisasi gerakan, aksi sepihak, penetrasi pada seluruh sektor masyarakat serta ditambah dengan kelihaian mengeksploitasi serta menciptakan kontradiksi-kontradiksi sosial di dalam masyarakat menjadi strategi PKI dalam memperkuat basis massa dukungan. Langkah PKI tersebut merupakan konsekuensi dari keyakinan dogmatis komunisme tentang sejarah sebagai produk dari pertentangan kelas antara proletar dan borjuis.
Pertentangan kelas hanya dapat dimenangkan oleh kaum proletar jika mereka bersatu guna melakukan revolusi sosial, merebut secara paksa faktor produksi, menghancurkan tatanan sistem dan norma yang ada, serta membentuk pemerintahan diktatur proletariat (Karl Marx, 1818-1883). Implikasinya, PKI bertransformasi menjadi kekuatan politik radikal yang dalam aksinya kemudian mengancam nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan dan persatuan di dalam masyarakat.
Doktrin pertentangan kelas dan revolusi sosial kemudian menjadi teror dan menyemai permusuhan di dalam masyarakat. Begitu pula dengan konsepsi materialisme dalam komunisme yang bertentangan dengan spritualitas dan religiusitas sebagai nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Sehingga, memperbincangkan PKI dan komunisme di Indonesia akan senantiasa lekat dengan fakta sejarah pengkhianatan, kekerasan dan teror, seperti pemberontakan PKI tahun 1948 maupun peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Karena itu tepat jika PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang, dan ajarannya dilarang untuk disebarluaskan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS. No. XXV Tahun 1966.
Memanfaatkan Momentum
Memang, aturan pelarangan PKI
dan ajarannya masih berlaku. Namun, harus disadari bahwa komunisme sebagai
suatu paham politik memiliki potensi laten dan dapat disebarluaskan melalui
gerakan yang bersifat klandestin.
Hancurnya mekanisme screening dan filterisasi politik sebagai instrumen pengamanan ideologi negara pasca reformasi, telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang demikian rentan dan terbuka. Demokratisasi tidak hanya menghadirkan keterbukaan dan kebebasan yang didambakan pasca Orde Baru, tetapi juga dapat membuka ruang bagi lawan-lawan ideologi Pancasila untuk kembali manifest dari potensi laten sebelumnya.
Demokratisasi yang mengusung isu kebebasan politik dan Hak Asasi Manusia yang menekankan perlindungan terhadap hak-hak sipil-politik dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk menyebarluaskan ajaran komunisme. Penyebarluasan ini menyusup dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, jejaring sosial, media publik, kelompok-kelompok masyarakat, dan tidak dimaksudkan sebagai sekedar wacana ilmiah atau pengetahuan publik.
Tujuan utamanya adalah untuk menanamkan kesadaran affirmasi terhadap ide-ide komunisme yang muaranya adalah tersedianya sumber daya politik bagi mobilisasi kekuatan untuk menopang pertentangan kelas dan revolusi sosial sebagaimana keyakinan doktrin komunisme. Sinyalemen bahwa demokratisasi politik yang saat ini berlangsung sangat potensial untuk disusupi komunisme setidaknya dapat dilihat dari sejumlah fenomena.
Pertama, maraknya gerakan buruh, baik dalam simbol-simbol, strategi gerakan, isu politik dan tuntutannya yang menyitir pola dan paham komunisme. Memang tidak semua kelompok buruh bergerak dalam pengaruh ajaran pertentangan kelas, masih banyak yang murni dalam spirit perjuangan kesejahteraan dan hubungan yang saling menguntungkan antara buruh dan pengusaha.
Namun, tuntutan sebagian kaum buruh yang terhimpun dalam sejumlah serikat buruh tertentu, kerap tidak masuk akal dan disertai dengan aksi-aksi rally serta pemogokan patut untuk diduga berada dalam skenario mematangkan konflik kelas dan bibit-bibit revolusi sosial. Karena itu, kaum buruh perlu waspada karena provokasi simpatisan komunis dapat menghancurkan dunia usaha yang merupakan sarana buruh untuk memperoleh penghidupannya dan kepentingan semua masyarakat.
Kedua, munculnya kelompok masyarakat, baik itu ormas, LSM maupun civil society yang dalam pola advokasinya menggunakan analisis pertentangan kelas dan mendorong konflik antara masyarakat dengan negara dalam intensitas dan eskalasi yang makin tinggi. Gerakan seperti ini biasanya menentang upaya-upaya dialogis yang dimediasi oleh negara dan memanfaatkan media massa untuk mengeksploitasi konflik yang terjadi guna mematangkan kontradiksi sosial.
Hancurnya mekanisme screening dan filterisasi politik sebagai instrumen pengamanan ideologi negara pasca reformasi, telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang demikian rentan dan terbuka. Demokratisasi tidak hanya menghadirkan keterbukaan dan kebebasan yang didambakan pasca Orde Baru, tetapi juga dapat membuka ruang bagi lawan-lawan ideologi Pancasila untuk kembali manifest dari potensi laten sebelumnya.
Demokratisasi yang mengusung isu kebebasan politik dan Hak Asasi Manusia yang menekankan perlindungan terhadap hak-hak sipil-politik dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk menyebarluaskan ajaran komunisme. Penyebarluasan ini menyusup dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, jejaring sosial, media publik, kelompok-kelompok masyarakat, dan tidak dimaksudkan sebagai sekedar wacana ilmiah atau pengetahuan publik.
Tujuan utamanya adalah untuk menanamkan kesadaran affirmasi terhadap ide-ide komunisme yang muaranya adalah tersedianya sumber daya politik bagi mobilisasi kekuatan untuk menopang pertentangan kelas dan revolusi sosial sebagaimana keyakinan doktrin komunisme. Sinyalemen bahwa demokratisasi politik yang saat ini berlangsung sangat potensial untuk disusupi komunisme setidaknya dapat dilihat dari sejumlah fenomena.
Pertama, maraknya gerakan buruh, baik dalam simbol-simbol, strategi gerakan, isu politik dan tuntutannya yang menyitir pola dan paham komunisme. Memang tidak semua kelompok buruh bergerak dalam pengaruh ajaran pertentangan kelas, masih banyak yang murni dalam spirit perjuangan kesejahteraan dan hubungan yang saling menguntungkan antara buruh dan pengusaha.
Namun, tuntutan sebagian kaum buruh yang terhimpun dalam sejumlah serikat buruh tertentu, kerap tidak masuk akal dan disertai dengan aksi-aksi rally serta pemogokan patut untuk diduga berada dalam skenario mematangkan konflik kelas dan bibit-bibit revolusi sosial. Karena itu, kaum buruh perlu waspada karena provokasi simpatisan komunis dapat menghancurkan dunia usaha yang merupakan sarana buruh untuk memperoleh penghidupannya dan kepentingan semua masyarakat.
Kedua, munculnya kelompok masyarakat, baik itu ormas, LSM maupun civil society yang dalam pola advokasinya menggunakan analisis pertentangan kelas dan mendorong konflik antara masyarakat dengan negara dalam intensitas dan eskalasi yang makin tinggi. Gerakan seperti ini biasanya menentang upaya-upaya dialogis yang dimediasi oleh negara dan memanfaatkan media massa untuk mengeksploitasi konflik yang terjadi guna mematangkan kontradiksi sosial.
Celakanya, posisi media massa
dalam persaingan industri yang makin sengit telah membuat rating menjadi target utama. Dampaknya, media masa kemudian
menjadikan bad news is good news (Jeremy Iggers, 1998). Persoalan
kontradiksi dalam masyarakat kemudian menjadi sasaran empuk untuk dieksploitasi
sebagai sumber berita. Hal ini tidak hanya memberi keuntungan bagi rating
berita, tetapi juga secara tidak langsung memberikan ruang propaganda politik
bagi kelompok-kelompok yang potensial disusupi oleh ajaran komunis untuk
memanfaatkan ruang publik bagi eksistensinya.
Ketiga, maraknya terbitan maupun propaganda dalam media sosial maupun cyber yang mempromosikan ide-ide komunisme dan mulai mempertanyakan kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara. Berbagai terbitan, baik dalam bentuk cetak maupun virtual di satu sisi dapat memberikan khasanah informasi dan intelektual yang penting bagi masyarakat untuk memahami secara kritis konsep politik komunisme.
Dalam masyarakat yang matang dan telah mengalami pendewasaan politik, mereka dapat memfilter secara kritis dan menemukan sisi gelap dari ajaran komunis. Namun, harus pula disadari bahwa intensitas terbitan dan publikasi baik cetak maupun virtual dapat menjadi sarana propaganda dan hegemoni wacana bagi masyarakat yang awam terhadap bahaya laten komunis. Hegemoni wacana ini bekerja dengan cara manipulasi kognisi massa (Gramsci, 1891-1937) dan pada gilirannya menciptakan kesesatan pikir dan tindakan sebagai dampak dari kekaguman, pemujaan dan kepatuhan terhadap doktrin komunis.
Keempat, penetrasi dalam struktur politik baik partai politik dengan tujuan masuk ke kekuasaan. Komunisme melihat bahwa kekuasaan merupakan faktor determinan dalam perubahan sosial. Karena itu, masuk dalam kekuasaan secara konstitusional dan damai melalui sistem pemilu dengan menyusup dalam partai-partai politik peserta pemilu merupakan sarana antara sebelum mereka memiliki kekuatan yang matang untuk merebut kekuasaan melalui revolusi sosial. Kepentingan masuk dalam kekuasaan adalah untuk menciptakan berbagai kemandekan politik (political decay) dan kekisruhan. Hal ini diharapkan dapat semakin mematangkan kontradiksi sosial yang sedang mereka persiapkan.
Perlu Waspada
Jika kita membaca relief yang tertera di dinding monumen Pancasila Sakti terdapat kalimat berbunyi “waspada,...dan mawas diri agar peristiwa sematjam ini tidak terulang lagi”. Kalimat itu dimaksudkan untuk mengingatkan kepada seluruh bangsa Indonesia agar selalu mewaspadai bahaya laten komunis sehingga kekuatan komunis tidak sampai muncul kembali di bumi Indonesia dan melakukan pengkhianatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengkhianatan PKI telah menimbulkan kejahatan kemanusiaan yang biadab dan melukai hati seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, cukup sudah sejarah gelap itu terjadi di masa lalu dan tidak perlu terulang lagi karena hanya akan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi umat manusia.
Ketiga, maraknya terbitan maupun propaganda dalam media sosial maupun cyber yang mempromosikan ide-ide komunisme dan mulai mempertanyakan kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara. Berbagai terbitan, baik dalam bentuk cetak maupun virtual di satu sisi dapat memberikan khasanah informasi dan intelektual yang penting bagi masyarakat untuk memahami secara kritis konsep politik komunisme.
Dalam masyarakat yang matang dan telah mengalami pendewasaan politik, mereka dapat memfilter secara kritis dan menemukan sisi gelap dari ajaran komunis. Namun, harus pula disadari bahwa intensitas terbitan dan publikasi baik cetak maupun virtual dapat menjadi sarana propaganda dan hegemoni wacana bagi masyarakat yang awam terhadap bahaya laten komunis. Hegemoni wacana ini bekerja dengan cara manipulasi kognisi massa (Gramsci, 1891-1937) dan pada gilirannya menciptakan kesesatan pikir dan tindakan sebagai dampak dari kekaguman, pemujaan dan kepatuhan terhadap doktrin komunis.
Keempat, penetrasi dalam struktur politik baik partai politik dengan tujuan masuk ke kekuasaan. Komunisme melihat bahwa kekuasaan merupakan faktor determinan dalam perubahan sosial. Karena itu, masuk dalam kekuasaan secara konstitusional dan damai melalui sistem pemilu dengan menyusup dalam partai-partai politik peserta pemilu merupakan sarana antara sebelum mereka memiliki kekuatan yang matang untuk merebut kekuasaan melalui revolusi sosial. Kepentingan masuk dalam kekuasaan adalah untuk menciptakan berbagai kemandekan politik (political decay) dan kekisruhan. Hal ini diharapkan dapat semakin mematangkan kontradiksi sosial yang sedang mereka persiapkan.
Perlu Waspada
Jika kita membaca relief yang tertera di dinding monumen Pancasila Sakti terdapat kalimat berbunyi “waspada,...dan mawas diri agar peristiwa sematjam ini tidak terulang lagi”. Kalimat itu dimaksudkan untuk mengingatkan kepada seluruh bangsa Indonesia agar selalu mewaspadai bahaya laten komunis sehingga kekuatan komunis tidak sampai muncul kembali di bumi Indonesia dan melakukan pengkhianatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengkhianatan PKI telah menimbulkan kejahatan kemanusiaan yang biadab dan melukai hati seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, cukup sudah sejarah gelap itu terjadi di masa lalu dan tidak perlu terulang lagi karena hanya akan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi umat manusia.
Dalam sistem demokrasi, komunisme akan selalu
memanfaatkan celah adanya persoalan-persoalan pembangunan seperti kemiskinan,
ketidakadilan dan ketimpangan sebagai ajang menarik simpati dan propaganda
politik. Karena itu, negara perlu untuk menutup semua celah kemungkinan
tersebut dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap pembangunan dan
pemerataan kesejahteraan. Hal itu penting karena cara-cara otoriter ala Orde
Baru memang tidak dapat dibenarkan lagi untuk membelenggu kebebasan bagi
masyarakat untuk berinteraksi dengan berbagai paham politik yang muncul ke
permukaan sebagai konsekuensi dari demokratisasi.
Meskipun komunisme sebagai paham politik sah-sah saja untuk diperdebatkan, dibahas, maupun dipelajari dalam mimbar-mimbar akademik bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun demikian, negara harus tetap waspada karena memikul tanggungjawab melindungi kepentingan masyarakat dan menjaga keselamatan bangsa dan negara serta ideologi Pancasila. Negara harus mampu menunjukan otoritasnya ketika suatu saat potensi bahaya laten komunis itu menjadi realitas politik yang manifes, bergerak dari ide wacana dan propaganda menjadi gerakan politik yang faktual.
Begitupula dengan masyarakat yang perlu untuk selalu disadarkan tentang bahaya laten komunis. Kesadaran masyarakat ini penting sebagai mekanisme peringatan dini untuk mencegah muncul kembalinya sisa-sisa kekuatan komunis yang potensial menyusupi proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia dengan memanfaatkan persoalan-persoalan pembangunan yang sesungguhnya menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh elemen bangsa.
Kesadaran ini dapat terbentuk melalui transformasi fakta-fakta pengkhianatan PKI sekaligus transformasi ideologi Pancasila sebagai antitesis terhadap doktrin komunisme. Sehingga, kesadaran bahaya laten ini akan mengantarkan pada kesimpulan di benak masyarakat bahwa komunisme baik sebagai ajaran maupun praktek politik tidak punya tempat untuk dikembangkan dan dipraktekkan di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia. ●
Meskipun komunisme sebagai paham politik sah-sah saja untuk diperdebatkan, dibahas, maupun dipelajari dalam mimbar-mimbar akademik bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun demikian, negara harus tetap waspada karena memikul tanggungjawab melindungi kepentingan masyarakat dan menjaga keselamatan bangsa dan negara serta ideologi Pancasila. Negara harus mampu menunjukan otoritasnya ketika suatu saat potensi bahaya laten komunis itu menjadi realitas politik yang manifes, bergerak dari ide wacana dan propaganda menjadi gerakan politik yang faktual.
Begitupula dengan masyarakat yang perlu untuk selalu disadarkan tentang bahaya laten komunis. Kesadaran masyarakat ini penting sebagai mekanisme peringatan dini untuk mencegah muncul kembalinya sisa-sisa kekuatan komunis yang potensial menyusupi proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia dengan memanfaatkan persoalan-persoalan pembangunan yang sesungguhnya menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh elemen bangsa.
Kesadaran ini dapat terbentuk melalui transformasi fakta-fakta pengkhianatan PKI sekaligus transformasi ideologi Pancasila sebagai antitesis terhadap doktrin komunisme. Sehingga, kesadaran bahaya laten ini akan mengantarkan pada kesimpulan di benak masyarakat bahwa komunisme baik sebagai ajaran maupun praktek politik tidak punya tempat untuk dikembangkan dan dipraktekkan di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar