|
ADA fenomena politik menarik menjelang 2014, yakni banyak
orang bermimpi dan gila menjadi presiden. Banyak tokoh tak mengukur baju dan
lupa bercermin.
Untuk bisa maju sebagai capres tak ada jalan lain kecuali
ikut konvensi. Tak mengherankan peserta konvensi beragam tokoh. Dari sosok yang
memang diakui ketokohannya hingga tokoh abalabal.
Tampak banyak orang kehilangan rasionalitas. Siapa pun
mahfum, mustahil partai penyelenggara konvensi bisa mengusung sendiri capres
dan cawapres. Pasalnya, syarat untuk bisa mengajukan capres dan cawapres,
partai atau gabungan partai pengusung harus memenuhi 20% kursi di DPR. Minimal
memperoleh 25% dari total suara sah Pileg 2014 sebagaimana ketentuan UU Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pilpres.
Artinya, kalau tidak ada perubahan aturan dan perubahan
cuaca politik, diprediksi tahun 2014 hanya ada tiga jangkar pengusung capres
dan cawapres. Yakni, Golkar dan koalisinya, PDIP dengan koalisinya, dan
Gerindra bersama gabungan partai-partai kecil yang tak masuk koalisi Golkar
atau PDIP. Kemungkinan besar tahun 2014 hanya ada tiga pasangan
capres-cawapres.
Bahkan bukan tidak mungkin hanya dua jangkar, yaitu Golkar
dengan koalisinya dan PDIP plus Gerindra dengan sekutunya. Atau Golkar plus
PDIP, dan Gerindra ditambah PAN, PKB, PD, serta beberapa partai kecil lain.
Kita belum bisa menemukan jawaban di mana posisi capres pemenang konvensi.
Etape Krusial
Pilpres 2014 adalah etape krusial tahapan demokrasi. Tahun
itu merupakan grand final bagi elite politik kawakan untuk bisa memperebutkan
kursi nomor 1 di republik ini. Bagi yang sudah di atas 60-an tahun atau lebih,
tahun itu adalah kesempatan terakhir mengadu nasib.
Pada saat yang sama, sejumlah elite muda atau yang belum
pernah ikut berkompetisi politik menjadikan Pilpres 2014 sebagai sarana
mengukur kekuatan elektoral. Mereka itu sekian lama bersembunyi di balik
bayang-bayang elite sepuh. Partai Golkar bertekad mencalonkan ketua umum
Aburizal Bakrie (ARB) sebagai capres. Ada beberapa catatan yang mendukung
kelayakan Ical.
Pertama; suara kader di 500 kabupaten kota bulat
mendukungnya. Kedua; ia ketua umum partai sehingga dari sisi kepemimpinan tak
perlu diragukan. Ketiga; punya jaringan luas nasional dan internasional.
Keempat; ia salah satu politikus yang sukses secara bisnis, dan pada masa depan
kita butuh entrepreneur untuk memimpin. Kelima; berpengalaman dalam birokrasi
pemerintahan.
Ia pernah menjabat Menko Kesra dan Menko Perekonomian.
Keenam; Ical berani memerintah kadernya di DPR menggelindingkan pembentukan
pansus mafia pajak. Padahal nama dia selalu digandengkan dengan persoalan pajak
oleh lawan-lawan politik. Ia juga komit terhadap pemberantasan korupsi. Dalam
kasus Century misalnya, ia selalu mendorong saya untuk terus membongkar kasus
itu.
Terkait hasil sejumlah lembaga survei yang menyebutkan
elektabilitasnya rendah, Golkar menanggapi positif, yaitu menjadikan hasil
survei sebagai cambuk untuk memacu kinerja mesin partai. Partai tentu terus
berusaha mengambil langkah lebih tepat untuk meningkatkan elektabilitas. Selama
ini partai sudah menjalankan program politik, baik roadshow ke daerah,
penyegaran anggota legislatif, maupun membentuk badan pemenangan pemilu.
Sosialisasi
Program
Golkar juga memiliki strategi kampanye ”3 in1”, memadukan
kampanye pilkada, pileg, dan pilpres. Selain itu, banyak program unggulan
partai yang belum diketahui rakyat.
Ini tugas seluruh caleg untuk menyosialisasikan program
demi kemenangan partai sekaligus meningkatkan elektabilitas capresnya. Akankah
kasus lumpur Lapindo menjadi batu ganjalan buat pencalonan Ical? Kasus itu
tidak akan menjadi bumerang karena dia konsisten untuk menyelesaikan. Mengenai
beberapa tokoh Golkar yang belum cocok mengenai pencalonannya, itulah dinamika
politik.
Bagaimana wacana koalisi dengan partai lain? Ada sejumlah
tokoh yang layak digandengkan. Memang lebih baik seandainya Golkar menggaet
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Sosok Jokowi yang disukai rakyat, bisa lebih
mendongkrak elektabilitas Ical. Kita berharap PDIP mau bekerja sama, menugaskan
Jokowi untuk mendampingi Ical. Seandainya PDIPdan Golkar bergabung, bisa
terbentuk koalisi pemerintahan mini yang efektif dan parlemen yang kuat.
Tokoh lain yang cocok untuk diduetkan dengan ARB adalah
Mahfud MD. Mahfud merupakan sosok tegas dan berani, juga sukses ketika menjabat
ketua Mahkamah Konstitusi dan Menteri Pertahanan. Elektabilitasnya cukup
tinggi. Bisa juga tokoh pengusaha muda yang kini menjabat Ketua Kadin Jateng,
Kukrit Suryo Wicaksono.
Calon lain di luar partai politik, sebagai cawapres ideal
adalah salah satu pimpinan KPK, seperti Abraham Samad, Bambang Widjoyanto, atau
Busyro Muqqodas. Hingga hari-hari ini, tidak ada hari tanpa pimpinan KPK muncul
dalam pemberitaan media, dan pemberantasan korupsi adalah isu paling seksi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar