|
Bandara
Internasional Kualanamu di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, sudah
dioperasikan walaupun belum diresmikan. Bandara yang rencananya diresmikan
September 2013 ini termasuk satu dari empat bandara modern di Indonesia. Tiga
yang sudah resmi beroperasi adalah Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Juanda
Surabaya, dan Ngurah Rai Denpasar.
Dibandingkan
dengan tiga bandara lainnya, Kualanamu bisa jadi lebih unggul. Dengan fasilitas
bagasi otomatis (baggage handling system),
penumpang dapat mendaftarkan bagasi di konter mana pun tanpa takut bagasinya
salah masuk pesawat. Kereta api bandara dioperasikan untuk memberi pilihan moda
transportasi ke dan dari bandara.
Di tengah
kemodernan dan keunggulan yang tentu saja membanggakan otoritas bandara atau
masyarakat Sumatera Utara pada umumnya, pertanyaan pun muncul. Apakah pada
beberapa tahun ke depan kemodernan dan keunggulan itu tidak tersapu oleh
kekumuhan? Suatu pertanyaan yang harus dijawab oleh otoritas bandara atau
Menteri BUMN.
Mengelola bandara
Belajar dari pengalaman
dua bandara modern di Pulau Jawa, kekumuhan Kualanamu cenderung menjadi
keniscayaan sehingga perlu strategi jitu agar keniscayaan itu tidak menjadi
kenyataan.
Kekumuhan
Bandara Soekarno-Hatta muncul dalam berbagai bentuk. Mulai dari kesemrawutan
penerbangan akibat listrik padam, kesemrawutan penumpang akibat banyaknya
masyarakat pengguna pada hari-hari tertentu, serta kesemrawutan lalu lintas dan
perparkiran. Di luar lingkungan bandara, kekumuhan terlihat dari tumbuhnya
permukiman, pabrik, dan fasilitas industri yang semakin dekat atau berdampingan
dengan pagar bandara.
Kumuh pun
menjadi kesan buruk dari Bandara Juanda. Di depan pintu keberangkatan,
masyarakat pengguna bergerombol tak teratur. Di ruang tunggu sekitar pintu
keberangkatan, para perokok seenaknya mengepulkan asap serta tak peduli kepada
pengguna bandara yang tidak merokok. Di selasar masuk setelah check in, kedai makanan dan toko penjual
oleh-oleh terus bertambah dan mempersempit ruang bebas calon penumpang. Di kiri
kanan akses jalan ke arah bandara atau di luar (pagar) lingkungan bandara,
persawahan disulap menjadi hutan beton untuk permukiman, penginapan, hotel, dan
perkantoran.
Kekumuhan dalam
lingkungan bandara bisa diatasi dengan relatif cepat dan mudah. Otoritas
bandara adalah penanggung jawab lingkungan (dalam) bandara sehingga (sudah
sepantasnya) otoritas diberi wewenang ”boleh berbuat apa saja” demi keamanan dan
kenyamanan calon penumpang.
Transaksi oksigen
Namun,
mengatasi kekumuhan di luar lingkungan bandara tidak secepat dan semudah itu.
Transaksi oksigen perlu dipertimbangkan. Transaksi oksigen adalah model
transaksi untuk memperoleh oksigen yang dihasilkan oleh vegetasi atau hutan
yang ditanam pada lahan (masyarakat) di luar lingkungan bandara, tepatnya di
sekeliling bandara dan pada jarak minimal 100 meter dari batas terluar atau
pagar.
Lahan untuk
transaksi masih tetap dikuasai masyarakat dan tidak dibeli oleh otoritas. Hal
ini berbeda dengan lahan dalam lingkungan bandara yang sepenuhnya dikuasai
otoritas dan bisa dimanfaatkan sesuka otoritas.
Masyarakat
memanfaatkan lahan hanya untuk ditanami. Berbagai jenis tanaman bisa
dikembangkan, apakah itu tanaman pangan (seperti padi, jagung, dan kedelai),
tanaman hortikultura (seperti jeruk dan rambutan), atau tanaman kehutanan
(seperti jati, kemiri, dan meranti).
Sebaliknya,
otoritas wajib melaksanakan tanggung jawab sosialnya (corporate social responsibility) kepada masyarakat. Otoritas
membeli oksigen dengan perhitungan yang berbasis pada jenis tanaman, membeli
produk tanaman, dan juga memberdayakan masyarakat pada kegiatan pertanian yang
mendukung pengembangan produk pascapanen atau kegiatan lainnya dalam kerangka
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Transaksi
oksigen bermanfaat ganda. Siklus oksigen terpelihara. Kadar karbon dioksida
yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan di bandara pun bisa ditekan. Suasana
teduh, segar, dan menyenangkan diperoleh. Kesan kumuh ketika memasuki
lingkungan bandara dikurangi. Korban jiwa pada masyarakat bukan penumpang
akibat kecelakaan pesawat seperti yang terjadi di Bandara Polonia Medan atau di
Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin dihindari. Kebisingan yang timbul akibat
pergerakan pesawat selama siap terbang di landasan pacu, lepas landas,
mendarat, dan menuju apron pun dapat diredam.
Pihak terlibat
dalam transaksi memang bukan hanya otoritas bandara. Pemerintah pusat berperan
serta menerbitkan peraturan perundang-undangannya. Pemerintah kota/kabupaten
bertugas menyadarkan masyarakat untuk berpartisipasi mengurangi pemanasan
global dan tidak sembarangan menumbuhkan hutan beton.
Lebih dari itu,
transaksi oksigen dapat diterapkan pada infrastruktur negara (seperti jalan
angkutan darat, apalagi jalan tol, terminal bus, dan pelabuhan) serta properti
masyarakat (seperti hotel dan penginapan). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar