|
Politik itu melayani.
Di dalam dan melalui politik, sebagaimana diyakini Harry Truman, seseorang
menemukan kesempatan berharga melayani masyarakat dan negara. Kitab
Arthashastra yang ditulis Chanakya beberapa abad lampau menyebut seorang raja
hanyalah pelayan yang dibayar. Mereka dibayar didasarkan pelayanannya kepada
rakyat. Inilah kebajikan yang membuat politik itu menjadi penting.
Politik
kebajikan merupakan orkestra sekaligus oase. Ia menyejukkan dan menghibur,
menghilangkan dahaga dan mengisi kehidupan kita dengan harapan-harapan baru.
Melalui
politik, kita menyaksikan gagasan, virtue,
kecakapan, teknologi, uang, dan orang-orang berada dalam proses negosiasi guna
mewujudkan kebaikan hidup bersama. Politik adalah art of the impossible, seni membuat diri kita dan dunia menjadi
lebih baik, ujar dramawan dan mantan Presiden Cekoslovakia Vaclay Havel.
Menimbang ulang
Tahun 2013
menjadi tahun politik. Ada 152 pemilihan langsung kepala daerah, mulai dari
wali kota, bupati, sampai gubernur. Dilihat dari jumlah saja sudah mencengangkan,
belum lagi broad-based participation yang menakjubkan. Jutaan
pemilih, tua-muda, laki-laki dan perempuan, tersebar di berbagai pulau,
provinsi, kota, kabupaten, hingga desa.
Namun, broad-based participation yang
menakjubkan itu mengakar tidak di kesadaran berpolitik warga negara yang sehat.
Suksesi politik yang diyakini demokratis tidak lebih dari kompetisi para
saudagar membeli suara, bukan memenangkan simpatik pemilih.
Strategi political marketing bertumpu di
penetrasi uang, bukan program kerja kandidat yang bersentuhan dengan isu dan
preferensi pemilih. Personal branding adalah pamer kedermawanan,
bukan pertautan emosional pemilih dengan prestasi sosial kandidat.
Uang
mendongkrak elektabilitas tanpa kandidat perlu bermandi peluh menjangkau the swing voters, berdialog dengan
pemilih rasional yang disebut the saints, atau menyelami sentimen pemilih
pemula (young voter) dan merangkul
mereka.
Orientasi uang
menciptakan image dan model
komunikasi politik antara kandidat dan pemilih. Ia memberi suasana kebatinan
dan kata sifat pada suksesi politik. Ia membangun nalar politik publik.
Ujungnya, ia menjadi nilai takar kekuasaan politik dan mematikan politik
kebajikan dan kedaulatan publik pada sebatas aksesori.
Menimbang ulang
efektivitas pemilihan langsung kepala daerah merupakan PR pemerintahan yang
harus dituntaskan. Pemerintah harus berani mengoreksi secara terbuka. Menggeser
opsi pemilihan ke penetapan. Misalnya, penetapan gubernur seperti yang sudah
diwacanakan tidak serta-merta harus dimaknai pemerintah membunuh demokrasi dan
menghidupkan relasi kekuasaan otoritarian.
Minimal ada
tiga hal yang jadi pertimbangan. Pertama terkait cost sosial-politik
yang besar. Selain menyedot anggaran negara sampai ratusan miliar rupiah,
kompetisi pemilihan kepala daerah juga menyedot energi sosial tidak sedikit.
Namun, semua menguap dan jadi investasi gagal.
Kedua terkait
mekanisme kompetisi elektoral yang faktanya saat ini jadi ”jalan tikus” elite
antidemokrasi menyelundupkan kepentingan mereka.
Ketiga, produk
yang dihasilkan justru melestarikan kultur kepemimpinan yang korup, eksklusif
dan tidak responsif, cenderung ke arah penyalahgunaan wewenang (abuse of power), berlaku diskriminatif
dan tidak toleran, serta melembagakan ketidaksetaraan sosial.
Opsi untuk
demokrasi
Demokrasi tidak
semata soal hak politik seseorang merengkuh kekuasaan politik. Demokrasi bukan
juga ”konsensus” segelintir elite guna meredusir konflik dan memproteksi
kepentingan mereka. Demokrasi kita adalah juga keadaban bagaimana mendekati dan
mewarnai kekuasaan politik yang menuju cita-cita kemanusiaan dan keadilan
seperti dibunyikan Pasal 2 dan 5 Pancasila.
Memburu
predikat negara demokratis lewat memaksakan mekanisme pemilihan langsung justru
menghasilkan demokrasi yang salah arah, demokrasi dengan nama depan, tanpa nama
belakang. Demokrasi yang menghabiskan anggaran besar untuk belanja formal
politics dan nafsu berkuasa segelintir orang, sebaliknya menyisihkan
anggaran seirisan kulit bawang untuk informal politics dan
keberdayaan sosial kapital.
Informal
politics mengacu ke apa yang terjadi di tengah publik, keluarga,
komunitas, dan organisasi sosial. Menumbuhkan keadaban demokrasi di
wilayah informal politics tidak cukup dengan mencetak dan
membagi-bagikan kartu pemilih. Pendidikan, sosialisasi, exposure to politics dalam pengalaman keseharian, dan
menguatkan daya artikulatif warga negara selaku ”shaper” dan ”maker” akan
melahirkan kualitas partisipasi yang disebut Sherry R Arnstein sebagai cornerstone of democracy.
Hal yang sama
pada modalitas sosial yang ditandai Robert D Putnam sebagai sumber daya
demokrasi, sekaligus kunci guna membuat demokrasi bekerja dengan baik.
Demokrasi yang
hendak kita tuju ialah demokrasi yang diisi oleh gagasan cemerlang yang
merepresentasikan virtualitas setiap warga negara. Orientasi yang bersifat
historis ini menempatkan demokrasi sebagai satu ketegangan kreatif dengan
konsekuensi.
Pertama, bangsa
ini harus segera keluar dari terjebak berlama-lama dalam pluralitas konflik dan
kepentingan elite. Kedua, menggeser fokus dari formal
politics ke informal politics, dari seremoni ke substansi.
Ketiga, meninggalkan politik sebagai art
of possible ke politik sebagai art
of impossible. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar