|
Kalau saja Bung Karno dan Prof
Koentjaraningrat mengetahui bahwa di kemudian hari tempe mampu membuat kabinet
dan istana kalang kabut, mungkin mereka tak pernah menyindir bangsa Indonesia
”bangsa tempe”.
Saat ini tempe
bukan lagi sekadar lauk-pauk murah meriah, bergizi tinggi, yang akrab dengan
keseharian kaum miskin. Saat ini tempe telah naik kelas menjadi komoditas
politik yang mampu menggoyang simbol kedaulatan negara/ pemerintah.
Pertengahan
Januari 2008, ribuan perajin tempe se-Jakarta berunjuk rasa di depan Istana
Negara. Mereka menuntut pemerintah menstabilkan harga kedelai yang tidak
terkendali dan mengancam usaha mereka. Pada 2012, tempe kembali membuat
gonjang-ganjing. Pada 25-27 Juli 2012, 83.545 perajin tempe/tahu di 18 provinsi
mogok produksi. Tindakan tersebut dilakukan karena harga kedelai meroket,
sedangkan harga jual tempe/tahu tidak bisa dinaikkan.
Beberapa hari
terakhir, dipicu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga
kedelai kembali liar. Dilaporkan saat ini, bahan baku tempe/tahu menembus Rp
10.000/kg. Padahal, normalnya hanya Rp 7.000/kg. Melambungnya harga kedelai ini
tak dapat dihindari karena lebih dari 60 persen kebutuhan kedelai nasional
harus diimpor.
Akibatnya, para
pedagang tempe/tahu terpaksa mengurangi ukuran produk meski harga sudah
dinaikkan. Selain itu, omzet penjualan mereka sepi karena konsumen berkurang.
”Njomplang”
Ketergantungan
bangsa ini terhadap bahan pangan impor telah sampai pada tingkat
mengkhawatirkan. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan,
defisit neraca perdagangan komoditas pertanian meningkat 200 kali lipat hanya
dalam kurun waktu enam tahun. Jika pada 2006 mencapai 28,03 juta dollar AS,
pada 2011 menjadi 5,509 miliar dollar AS.
Pada 2011, Indonesia
mengimpor 2,08 juta ton kedelai. Dari jumlah itu, 1,7 juta ton berasal dari AS.
Permasalahan menjadi sangat krusial ketika sentra produksi kedelai di Midwest,
AS, dilanda kekeringan, yang membuat produksi turun, dari 81,25 juta ton
menjadi 76,25 juta ton. Harga kedelai di pasar internasional pun meroket,
memicu gonjang-ganjing tempe di Tanah Air pada 2012
Menurut Angka
Ramalan I Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kedelai nasional 2013 hanya
847.160 ton biji kering. Sementara kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri 2,2
juta ton. Terdapat selisih amat njomplangantara angka produksi dan
konsumsi: 1,35 juta ton per tahun.
Peluang
tersebut selama ini tak pernah menarik minat petani untuk membudidayakan
tanaman kedelai. Pasalnya, selama ini mereka tak memperoleh insentif memadai
dari usaha tani kedelai. Saat menanam kedelai, petani harus membeli benih Rp
7.000- Rp 8.000/kg. Tiba giliran menjual hasil panen, harga hanya sekitar Rp
4.000/kg (harga pembelian pemerintah Rp 7.000/kg baru ditetapkan pada 13 Juni
2013).
Menurut
analisis usaha tani, biaya yang dibutuhkan untuk usaha tani kedelai tidak
kurang dari Rp 8,5 juta/ha. Asumsi produktivitas rata-rata 1,5 ton/ha,
angka break even point (BEP) Rp 5.667/kg. Angka BEP akan makin besar
jika bilangan pembagi menggunakan angka produktivitas rata-rata nasional saat
ini yang hanya 1,4 ton/ha. Dengan harga jual Rp 4.000/kg, petani mengalami
tekor. Sampai kapan pun petani tidak akan tertarik untuk membudidayakan
kedelai.
Upaya
Guna
meningkatkan gairah petani menanam kedelai, pemerintah harus melakukan sejumlah
upaya mendasar. Pertama, membangun dan memperbaiki sarana infrastruktur
pertanian. Saat ini kondisi sarana irigasi seperti bendung, waduk, saluran
utama, saluran tersier, serta akses jalan produksi usaha tani sebagian besar
dalam keadaan rusak parah.
Kedua,
memperluas akses kredit kepada petani. Meski jadi pilar pembangunan, sektor
pertanian tetap mengalami kesulitan memperoleh pembiayaan perbankan.
Pertumbuhan kredit ke sektor pertanian relatif rendah. Mengacu data Bank
Indonesia per April 2013, total portofolio kredit bank umum sektor pertanian,
perkebunan, dan kehutanan hanya Rp 148,68 triliun atau 5,2 persen dari total
penyaluran kredit yang mencapai Rp 2.844,21 triliun.
Ketiga,
pemenuhan sejumlah sarana produksi yang dibutuhkan petani, seperti benih,
pupuk, obat-obatan, alat, dan mesin pertanian. Pemenuhan sarana produksi ini
harus memenuhi lima tepat dalam hal waktu, jenis, jumlah, harga, dan kualitas.
Keempat,
pengembangan riset dan teknologi pertanian. Produktivitas rata-rata nasional
kedelai saat ini baru mencapai 14,82 kuintal/hektar. Produksi dan produktivitas
nasional dapat ditingkatkan dengan upaya intensifikasi tanaman, ekstensifikasi,
serta rehabilitasi lahan. Penemuan varietas-varietas unggul baru dan sistem
pengelolaan tanaman terpadu sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi.
Saatnya lembaga-lembaga penelitian pertanian lebih diberdayakan untuk
melahirkan inovasi baru yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi petani.
Upaya tak kalah
penting adalah perlindungan pasar kepada petani. Harga jual yang wajar terhadap
hasil panen merupakan insentif paling signifikan terhadap kegairahan petani
untuk menanam komoditas tertentu. Pemerintah harus konsisten menjaga harga
pembelian pemerintah kedelai dari petani sebesar Rp 7.000/kg dan menjual kepada
perajin sebesar Rp 7.450/kg.
Tempe dan
istana telah menyadarkan kita akan arti penting menegakkan kedaulatan pangan
bangsa. Tempe dan istana telah membuka mata kita akan hak dan kewajiban rakyat
serta penguasa. Sudah sewajarnya keduanya bersinergi, menjadi mitra abadi,
bukan mitra sementara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar