|
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono,
awal September ini, berkunjung ke Polandia. Kunjungan ini menandai babak baru
hubungan kedua negara yang sebelumnya naik-turun.
Kedua negara
pernah menikmati kehangatan persahabatan pada era 1960-an ketika untuk pertama
kali Presiden Soekarno berkunjung ke Polandia pada 1959. Namun, hubungan kedua
negara sempat pula jatuh ke titik nadir pascatragedi nasional 1965. Sejak itu
Indonesia memainkan politik luar negeri minimalis dengan Polandia.
Meski tetap
mempertahankan hubungan diplomatik, hubungan bilateral dengan Polandia sebatas
untuk menjustifikasi citra politik luar negeri bebas-aktif dan pemimpin
negara-negara non-blok. Dapat dimaklumi, fluktuasi hubungan seperti ini adalah
efek dinamika politik internasional saat itu yang masih pekat dibayangi Perang
Dingin. Ketika Perang Dingin usai, sejak 1990 terbentang tataran luas bagi
kedua negara untuk merevitalisasi hubungan. Tetapi apa yang harus
direvitalisasi? Mengapa perlu?
Pionir demokrasi
”Mengangkat
batang terendam”, pepatah ini mungkin pas menggambarkan hubungan RI- Polandia.
Tapi bukankah batang terendam justru kuat dijadikan tiang untuk bangunan yang
kokoh? Metafora ini menyimpan sugesti: potensi yang tidak tergarap selama ini
justru bisa jadi basis untuk merevitalisasi hubungan RI-Polandia ke depan.
Setidaknya ada
tiga aspek yang dapat direvitalisasi. Pertama, aspek sosial politik. Diplomasi
tidak saja dimulai dari kesamaan, tetapi juga perbedaan. Postulat ini relevan
untuk Indonesia dan Polandia.
Sebagai pionir
demokrasi di kawasan Eropa Timur yang dulu sosialis-komunis, Polandia dapat
jadi mitra bagi Indonesia dalam mengembangkan nilai-nilai demokrasi. Dalam hal
pengembangan demokrasi, kedua negara sama-sama memiliki credential: sebagai pionir demokrasi di
kawasan masing-masing: Polandia di Eropa Timur dan Indonesia di ASEAN. Status
pionir demokrasi sudah ditabalkan kedua negara, yaitu dengan pembentukan
Komunitas Demokrasi di Polandia dan Forum Demokrasi Bali di Indonesia. Melalui
kerja sama kedua lembaga inilah kiranya kerja sama RI-Polandia dapat
dikembangkan.
Perbedaan agama
mayoritas di kedua negara juga instrumental untuk merevitalisasi hubungan
RI-Polandia. Isu terorisme menumbuhkan mispersepsi yang tak perlu antara Barat
dan Islam. Barat mencurigai Islam sebagai biang teroris, Islam mengecam Barat
yang memusuhi Islam. Polandia yang mayoritas Katolik dan Indonesia yang
mayoritas Islam moderat dapat bersinergi untuk
menjadi bridge-builder dalam menumbuhkan saling pengertian
Barat-Islam.
Dalam konteks
inilah kedua negara menyelenggarakan dua kali konferensi interfaith dialog, masing-masing di
Polandia (Oktober 2011) dan di Indonesia (Mei 2013). Dialog agama dan peradaban
oleh para elite dan pemimpin agama perlu ditularkan ke akar rumput dan generasi
muda. Sejalan dengan pendekatan ini, Indonesia mengundang pemuda/i Polandia
untuk mengikuti program Pesantren Homestay
awal September ini. Melalui program ini diharapkan tumbuh pemahaman di kalangan
generasi muda negara masing-masing bahwa agama tak selalu memisahkan, tapi
justru mengajarkan menghargai perbedaan.
Kedua, aspek
ekonomi. Ketika Polandia bertransformasi dari sistem ekonomi
tertutup/sosialis-komunis menjadi terbuka/liberal-kapitalis pada 1990-an,
terbuka kesempatan mengembangkan kerja sama ekonomi bagi kedua negara. Namun,
pada awal era itu Polandia masih disibukkan oleh proyek keanggotaan Uni Eropa.
Dapat dipahami, dalam perspektif geopolitik, Eropa adalah lahan terdekat bagi
Polandia untuk mengembangkan ekonominya. Pilihan kebijakan ini ternyata tak
sia-sia. Ekspor Polandia ke Eropa lebih dari 75 persen.
Berkat
keanggotaannya di Uni Eropa, ekonomi Polandia tumbuh pesat dan
menerima cohesion fund (dana yang disiapkan Uni Eropa untuk anggota
baru untuk mengejar ketertinggalan) terbesar untuk pembangunan infrastruktur di
kawasan Eropa Timur. Namun, krisis keuangan global 2008 dan krisis zona euro
2010 menumbuhkan kesadaran baru: bergantung pada Eropa bukan pilihan terbaik.
Pada titik inilah pengambil kebijakan di Polandia mulai melirik Asia.
Bagi Polandia,
ketika bicara Asia, ada tiga negara yang dirujuk: China, India, dan Indonesia.
Orientasi dan kesadaran baru yang berkembang di elite Polandia ini harus
dijadikan momentum bagi Indonesia untuk menggenjot kerja sama ekonomi dengan
Polandia.
Ketiga, aspek
sosial budaya. Bangsa Polandia mencintai seni, budaya, dan pendidikan.
Pemerintah Indonesia mulai mengirim mahasiswa untuk belajar di Polandia pada
1960-an. Pada era ini peminat studi Indonesia berkembang pesat. Namun karena
perubahan politik di Indonesia pada 1965, minat belajar ke Polandia menurun
drastis. Di Polandia, peminat studi Indonesia pun susut. Ini berlangsung hingga
1995 ketika Indonesia mulai memberikan beasiswa kepada generasi muda Polandia
untuk belajar bahasa, seni, dan budaya Indonesia.
Agen persahabatan
Selama
1965-1995, peminat studi dan bahasa Indonesia di Polandia hilang satu generasi.
Kini, dengan jumlah alumni beasiswa Indonesia lebih dari 300 orang yang
tergabung dalam Asosiasi Persahabatan Indonesia-Polandia, Indonesia dan
Polandia memiliki agen persahabatan yang dapat meningkatkan saling pengertian
kedua negara.
Pelan tapi
pasti peminat bahasa Indonesia meningkat. Hanya dalam dua tahun, jumlah peserta
kursus bahasa Indonesia di sejumlah universitas mencapai 210 orang. Tingginya
minat itu mendorong dua universitas terkemuka di Polandia memasukkan bahasa
Indonesia ke dalam kurikulumnya sejak 2012.
”Batang
terendam” berupa potensi kerja sama di bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya harus dibangkitkan, dijadikan tiang bagi bangunan kerja sama di masa
depan. Untuk itu dibutuhkan komitmen kedua pemerintah. Kunjungan Presiden RI ke
Polandia kali ini menjadi momentum yang baik untuk merevitalisasi hubungan
kedua negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar