|
Tentang
sifat narsis, Andrew Morisson berpendapat bahwa bila seorang manusia memiliki
sifat narsis dalam kadar yang cukup, akan membuat hidupnya seimbang.
Sebaliknya, jika berlebihan maka akan sangat mengganggu terhadap kehidupan
sosialnya. Karena, dengan sendirinya atau secara refleks, orang-orang
berpribadi narsis, baik secara perlahan maupun reaktif, akan dijauhi oleh lingkungan
sekeliling. Karena, orang-orang narsis terbiasa mengedepankan kepantasan
pribadi, habis-habisan memunculkan dan menjaga kharisma, menonjolkan harta,
membanggakan paras atau ketampanan, tampil dengan elegan, mencari perhatian
orang sekitar, serta terbiasa memastikan agar dirinya selalu lebih eye catching
dari orang lain walau dengan cara apapun mengupayakannya.
Dalam
konteks bangsa kita, terlihat dari permasalahan dan aneka kasus mengemuka dari
masa ke masa. Jika demikian keadaannya, bisa disimpulkan bahwa kadar narsisme
bangsa kita jelas-jelas sudah berkelebihan, dimana kerugian dan dampak
negatifnya lagi-lagi harus ditelan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali.
Tahun
2012, barangkali publik masih teringat dengan rencana DPR untuk merenovasi
gedung. Menyusul, rencana untuk memperbaiki toilet dengan estimasi dana sekian
miliar rupiah. Adapun motif dari rencana tersebut, konon untuk mengejar sebuah
kepantasan. Tidak jadi soal sebetulnya mengejar kepantasan sebuah lembaga
tinggi negara dengan berbagai upaya yang perfect. Tetapi, menjadi sangat ironis
akhirnya ketika rencana tersebut dibuat di atas sebuah kondisi permasalahan
negara yang belum tertuntaskan. Sebut saja, kemiskinan, ketidakberdayaan,
ketergantungan, dan kesimpangsiuran berbagai sistem di pemerintahan.
Memang
wajar adanya, ketika penyakit narsisme mewabah di negeri kita yang sudah jelas
kaya akan kasus. Karena, kalau terkait sifat narsis sendiri, sebetulnya sudah
menjangkiti individu manusia di hampir seluruh belahan dunia. Hal ini
dibeberkan oleh Jean M Twenge dan W Keith Campbel dalam buku, The Narcism Epidemic: Living in the Age of
Enlitlement. Ini artinya, jika di luar negeri saja yang konon pengelolaan
negaranya sudah jauh lebih sistematis dan mekanistis tetapi masih terjangkiti
wabah narsisme, apalah lagi dengan bangsa kita yang sudah jelas-jelas
pragmatis, massif dan obsesif tentu narsismenya menjadi sebuah epidemik
tersendiri.
Selanjutnya,
sudah bukan lagi cerita dari negeri dongeng ketika ada orang atau ada pihak
yang habis-habisan mengeluarkan dana untuk mendongkrak kemenangannya di
kompetisi pencalonan anggota legislatif. Untuk tujuan apalagi kalau bukan untuk
sebuah obsesi narsisme. Bahkan hal-hal tak wajar yang menyelingkuhi hukum pun
ditempuhnya dengan leluasa. Contoh sederhananya, politik uang, transaksi
posisi, memberi iming-iming yang menggiurkan, dan lain-lain.
Kedudukan,
jabatan, dan posisi-posisi penting lainnya memang telah menjadi obsesi narsisme
bagi sebagian besar masyarakat bangsa kita. Dan hanya sebagian orang atau
sebagian pihak saja yang motif utamanya adalah untuk sebuah pengabdian atau
untuk sekadar aktualisasi diri. Bahkan, kedudukan itu dengan sendirinya menjadi
batu loncatan menuju sebuah kepuasan materi.
Padahal
kalau direfleksi, negara kita sudah terlalu berbeban menanggung aneka
kebutuhan. Maka betapa semakin berbeban bangsa kita ketika ada tugas tambahan
untuk mengakomodir aneka kepentingan. Lebih ironis lagi ketika para elite yang
berkepentingan untuk menempati sebuah posisi pemerintahan, dengan mudahnya
mengatasnamakan ketimpangan dan keterpurukan yang ada untuk ia perjuangkan dan
tuntaskan. Seoalah-olah, mereka lah yang paling mampu mengembalikan kondisi
bangsa yang tengah carut cemarut,
paling mampu membenahi sistem pemerintahan terbaik, paling memungkinkan
mengentaskan kemiskinan yang bergelimpangan dimana-mana.
Cukup
mengerikan rasanya menyaksikan narsisme bangsa kita yang sudah mewabah ke
hampir semua lini. Ini sebuah penyakit kronis yang tak cukup hanya untuk
ditonton. Melainkan perlu banyak lakon-lakon perubahan yang dimunculkan, dimana
para lakon itu semangat berkarya dan ikhlas bekerja serta tidak sekadar cerdas
dalam retorika.
Maka
kita seharusnya terbuka pada peta politik yang ada. Jangan sampai terjebak pada
performa. Jangan pula terjebak pada retorika. Karena performa dan retorika
belum sepenuhnya bisa dijadikan indikator kualitas calon penegak pemerintahan
yang adil. Pertimbangkan kembali pilihan kita, sehingga tidak jatuh pada elit
yang keberadaannya laksana Narcis yang melegenda dalam The Alchemist-nya Paolo Coelho. Narcis habis-habisan menjaga
kharismatiknya, walau dengan cara-cara arogan sekalipun. Ia menghabiskan
waktunya hanya untuk mematut-matut diri, mencermati bayangan diri dan melakukan
penolakan terhadap setiap perempuan cantik yang mengaguminya sebagai pertanda
kegagahan dan keeksklusifannya.
Barangkali
kita semua sepakat untuk menolak pemerintahan yang berkutat pada panggung
narsis, dimana para lakonnya sibuk mematut-matut citra dirinya. Dan rupanya
kita perlu lebih analitis dalam mencermati fenomena yag ada. Dampak politik
narsis bersayap ke berbagai ranah kehidupan, mulai dari ranah hukum,
pendidikan, sosial, budaya, dan lain-lain. Cara berpikir narsis, melahirkan
kebijakan-kebijakan publik yang seringkali tidak bersubstansi. Perubahan
kurikulum, perubahan mekanisme ujian nasional, perubahan manajemen pelayanan
kesehatan, dan lain-lain, malah cenderung membingungkan dan berdampak pada
tumbuh suburnya sifat-sifat pragmatis dan kekanak-kanakkan.
Sedangkan
pengembangan yang dilakukan lebih berupa pengembagan fisik yang hanya polesan,
bukan pengembangan sumber daya manusia yang keterandalannya jelas-jelas
diperlukan untuk mengorkrestasi negeri ini menjadi negeri yang gemah ripah loh
jinawi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar